JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terus mendalami temuan kerangkeng di rumah Bupati Langkat Nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin.
Tidak hanya bergerak sendiri, mereka sudah berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengungkap temuan tersebut kepada publik secara terang-benderang.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri, Komnas HAM sudah berkoordinasi secara langsung dengan KPK. Mereka meminta agar lembaga antirasuah memfasilitasi permintaan keterangan terhadap Terbit.
"Perihal dugaan adanya kerangkeng manusia di rumah pribadinya," ungkap Ali, kemarin (2/2). Dia pun memastikan, KPK mendukung langkah Komnas HAM.
Terbit memang sudah berstatus sebagai tersangka dan tahanan KPK. Dia kena tangkap tangan saat melakukan rasuah. Untuk memudahkan kerja-kerja Komnas HAM, KPK mempersilakan mereka meminta keterangan dari Terbit. "Permintaan keterangan oleh Komnas HAM terhadap TRP (Terbit, red) diagendakan pada pekan depan," beber Ali.
Ali memastikan langkah-langkah yang diambil oleh Komnas HAM tidak akan mengganggu jalannya penyidikan terhadap yang bersangkutan. Proses hukum di KPK tetap berjalan sebagaimana mestinya. Sesuai dengan strategi penyidik. Mereka berkomitmen untuk mengungkap dan membuktikan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan oleh Terbit.
Komisioner Komnas HAM Choirul Anam memang sudah menyampaikan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan KPK untuk mengungkap temuan tersebut. Mereka juga bakal mendalami dugaan terjadinya perbudakan modern di rumah pribadi Terbit. "Kami ucapkan terima kasih kepada KPK yang sudah membukakan pintu," ungkap Anam.
Lewat permintaan keterangan terhadap Terbit, Komnas HAM akan menggali lebih dalam data dan informasi yang sudah mereka temukan. Mulai dari apa yang sebenarnya terjadi di sana? Kapan persis dimulainya? Lantas bagaimana peristiwanya bisa terjadi? Semua pertanyaan itu akan coba dijawab oleh Komnas HAM dengan meminta keterangan secara langsung kepada Terbit.
Di sisi lain, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyatakan bahwa kasus perbudakan modern kini semakin nyata. Bukan hanya dugaan perbudakan modern di Langkat, mereka melihat kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebagai salah satu bentuk perbudakan modern. Karena itu, mereka mendorong supaya restitusi sebagai salah satu hak korban dilaksanakan.
Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menyampaikan bahwa sepanjang 2021, LPSK telah melakukan penghitungan restitusi bagi korban tindak pidana sebesar Rp11,7 miliar. Dari total perhitungan itu, yang masuk dalam tuntutan penuntut umum sekitar Rp5,5 miliar. "Sedangkan restitusi yang diputuskan atau dikabulkan hakim, berada di angka sekitar Rp3,7 miliar," jelas dia.
Melihat angka tersebut, LPSK memandang masih ada gap yang cukup jauh antara total hasil penghitungan restitusi oleh mereka dengan tuntutan dan putusan. Antonius menambahkan, idealnya jumlah restitusi yang diterima oleh korban sama dengan yang diputus atau dikabulkan hakim. Karena masih belum ideal, LPSK terus menegaskan lagi bahwa restitusi merupakan hak korban.(syn/jpg)