Teater hadir tidak hanya sebagai jalan untuk menyampaikan pesan, tapi juga jalan untuk mengenali diri.
(RIAUPOS.CO) – Kata-kata itu mengalir sedemikian rupa dari bibir aktor, sutradara dan penulis naskah Indonesia, Slamet Rahardjo. Ia datang ke Pekanbaru untuk menyaksikan proses pelantikan pengurus Pelaku Teater Indonesia (PTI) Korwil Riau karena Slamet adalah Pembina Yayasan PTI.
Perbincangan itu bermula saat para pelaku teater Riau duduk bersila di Rumah Singgah Tuan Kadi, Kecamatan Senapelan, Jumat malam (17/12), layaknya hendak kenduri. Di depan mereka terhidang makanan khas Riau; mie sagu, roti canai dan air mata pengantin. Para pelaku teater ini datang dari berbagai daerah. Ada dari Inhil, Dumai, Inhu, Pekanbaru dan lainnya.
Apapun yang disampaikan aktor kawakan ini, semuanya tentang seni, tentang teater dan hanya bermuara ke teater saja. Bahkan saat Madihin ditampilkan, Slamet sangat menikmati, gembira, ikut bermadihin sebisanya dan bertepuk tangan dengan ceria.
Kesederhanaan Slamet, membuat dia cepat akrab dengan siapa saya yang hadir dalam pelantikan tersebut. Bahkan orang-orang yang sedang bermain di taman Tuan Kadi dan meminta foto bersamanya, dilayani dengan ramah.
"Rumah Singgah Tuan Kadi ini rumah bersejarah, semacam ruang khusus atau ruang VIP untuk orang istimewa. Maka, kita yang duduk malam ini di sini adalah orang-orang istimewa, pelaku-pelaku teater yang istimewa," katanya.
Lelaki yang lahir 21 Januari 1949 dengan nama lengkap Slamet Rahardjo Djarot ini, berbagi cerita dan mengucapkan petuah-petuah serta semangat bagi pengurus PTI yang dilantik. Tak kelihatan lebih dalam dirinya meski ia seorang maestro dan aset Indonesia khususnya di dunia akting dan perfilman.
"Saya ini mulai berteater sejak usia 18 tahun, sampai sekarang masih berteater. Pertanyaannya, ngapain? Ada apa dengan teater? Karena di sini saya tahu bahwa saya tidak akan jadi apa-apa tanpa orang lain," katanya.
Slamet seperti mendongeng panjang, membawa angan kemana-mana khususnya tentang dunia teater, tapi tidak membuat para pendengar mengantuk atau tidur. Malah sebaliknya, mata semakin besar, semangat makin membara. Terlebih saat Slamet menceritakan banyak hal tentang perjalanan hidupnya.
Dikatakan adik kandung Eros Djarot ini, sejak usia 10 bulan hingga usia 11 tahun ia berpindah-pindah tempat tinggal katena ayahnya seorang tentara. Hal itu membuat dirinya tidak punya teman. Lalu ia memiinta tinggal bersama eyangnya di Yogyakarta. Maka sejak usia 11 tahun atau tahun 1960, ia tinggal di sana.
Yogyakarta membuka mata Slamet. Katanya, anak-anak di sana sangat luar biasa. Mereka tahu mana kidul, lor, wetan dan kulon, padahal mereka tidak punya kompas. Mereka anak-anak yang cerdas Slamet mulai terpikat dan tidak pernah memikirkan Jakarta lagi.