JAKARTA (RIAUPOSCO) – Perjuangan elemen masyarakat sipil dan buruh untuk mempersoalkan Undang-Undang 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) melalui judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) membuahkan hasil. Dalam putusan yang dibacakan kemarin (25/11), MK menyatakan UU yang disusun dengan metode omnibus law itu inkonstitusional bersyarat.
Konsekuensinya, MK memerintahkan pemerintah dan DPR sebagai pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka dua tahun. Jika tidak, maka UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional secara permanen. Selain itu, MK juga memerintah untuk menghentikan semua kebijakan strategis yang terkait dengan UU Ciptaker.
"Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," ujar Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan.
Dalam putusan setebal 448 halaman itu, MK menilai UU Ciptaker perlu diperbaiki karena belum memenuhi tata cara yang baku dan standar sesuai asas-asas pembentukan undang-undang. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).
MK menilai, ‘jenis’ dari proses pembentukan UU Ciptaker masih belum jelas. Apakah UU baru atau revisi UU. Sebab dari aspek nomenklatur, UU Ciptaker merupakan UU baru. Namun substansi terbesar di dalam UU berisi perubahan-perubahan UU lama. Model tersebut tidak sejalan dengan ketentuan di UU PPP.
Oleh karenanya, kata MK, jika terdapat keperluan baru dalam penyusunan UU yang sesuai dengan dinamika zaman, pemerintah dan DPR bisa melakukan penyesuaian lebih dulu. "Maka terbuka ruang untuk melakukan perubahan terhadap Lampiran UU 12/2011 (UU PPP)," ujar Hakim MK Enny Nurbaningsih.
Perubahan tersebut, kata MK, dapat dirancang untuk dapat mengikuti perkembangan kebutuhan hukum. Termasuk jika akan dilakukan penyederhanaan peraturan perundang-undangan dengan metode apapun, termasuk omnibus law.
"Dengan demikian tetap tercipta kondisi tertib dalam pembentukan peraturan perundang-undangan," imbuhnya.
Lamanya waktu yang diperlukan untuk menyederhanakan banyak peraturan UU, tidak bisa dijadikan alasan untuk menyimpangi ketentuan UU. Selain ketidakjelasan jenis yang sesuai UU PPP, MK juga meminta tata cara atau prosedur penyusunan UU diperbaiki. Mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan hingga pengesahannya. Kemudian, prosesnya juga harus transparan dan melibatkan publik.
Persoalan lain yang ditemukan MK dalam UU Ciptaker adalah adanya pelanggaran dalam tahap pengudangan. Di mana ada banyak perubahan substansi pada draf pasca persetujuan DPR dan Presiden dengan draf pasca diundangkan. Setidaknya ada delapan norma yang substansinya berubah tidak sebatas typo atau redaksional yang dapat dimaklumi. Antara lain terdapat pada halaman 151-152, 388, 390, 391, 374, dan halaman 424. Kemudian, Mahkamah juga menemukan kesalahan pengutipan dalam rujukan pasal. Seperti pada Pasal 6.
"Sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan asas kejelasan rumusan," kata hakim MK Suhartoyo.
Lantas, mengapa waktu perbaikan dua tahun? Mahkamah berpendapat, dua tahun adalah waktu yang proporsional untuk membenahi berbagai kesalahan yang ada. Suhartoyo juga menjelaskan, meski secara drafting UU tersebut melanggar, pihaknya memutus inkonstitusional bersyarat karena menyadari adanya keperluan strategis pemerintah melalui UU tersebut.
Sementara itu, dalam putusan tersebut, empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda. Yakni Anwar Usman, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P. Foekh, dan Manahan M.P. Sitompul. Keempatnya menyatakan, meskipun UU Ciptaker memiliki banyak kelemahan dari sisi legal drafting, namun UU ini sangat diperlukan saat ini. "Sehingga menurut kami, seharusnya permohonan pengujian formil UU Ciptaker harus dinyatakan ditolak," ujar Arief membacakan pendapat berbeda.
Selain itu, keempatnya beralasan tahapan dibentuknya UU Ciptaker sudah sangat baik dan cermat dilihat dari aspek filosofis, sosiologis maupun pertimbangan yuridis. Tujuannya mewujudkan amanat pembukaan UUD 1945 yang merupakan arahan fundamental mengenai visi, misi, dan tujuan nasional yang harus diwujudkan.
Sementara itu, putusan MK diapresiasi kelompok buruh. Kuasa hukum Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) berharap, perbaikan UU Ciptaker tidak bebarengan dengan revisi UU PPP. Dia mengatakan UU PPP harus diselesaikan dahulu. Baru setelah itu pemerintah bersama DPR membahas perbaikan UU Ciptaker. Tantangannya adalah waktu yang terbatas. Dia mengatakan waktu dua tahun berpotensi tidak memadai untuk membahas kedua UU tersebut. Kecuali pembahasannya dikebut seperti pembuatan UU Ciptaker selama ini.
"Semua bergantung proses di DPR," jelasnya.
Tim hukum KSPI lainnya Imam Nassef mengingatkan salah satu amar putusan MK soal penangguhan pembuatan kebijakan atau tindakan. Dia menjelaskan penangguhan dengan tindakan berkaitan dengan penerapan sebuah peraturan perundang-undangan. Termasuk di dalamnya peraturan turunan. Dengan amar putusan tersebut, seluruh PP turunan UU Ciptaker ditangguhkan penerapannya. Sedangkan untuk penangguhan kebijakan, kaitannya dengan pembentukan aturan baru.
"Dengan demikian baik itu impelementasi maupun pembentukan kebijakan baru ditunda sampai ada perbaikan," tuturnya.
Nassef menambahkan, perubahan UU Ciptaker yang diamanatkan MK sifatnya totalitas. Jadi semuanya harus dari proses awal. Mulai dari tahapan perencanaan sampai perundangan.
Dia juga menekankan, dalam perubahan ulang UU Ciptaker nantinya wajib melibatkan partisipasi publik. Kemudian akses informasi harus dibuka secara luas. "Amar putusan MK sudah sangat detail dan jelas," kata dia.
Sementara itu, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi M. Isnur menilai putusan itu menunjukkan bawah pemerintah dan DPR sudah salah. "Yakni melanggar konstitusi dan melanggar prinsip pembuatan UU," ungkap dia.
Sikap Pemerintah dan DPR
Terpisah, usai pembacaan putusan, pemerintah langsung memberikan respons. Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan didampingi oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyelenggarakan Konferensi Pers secara hybrid untuk menyampaikan beberapa penjelasan Pemerintah atas Putusan MK dimaksud, Kamis (25/11).
"Setelah mengikuti sidang MK, saya ingin menyampaikan bahwa Pemerintah menghormati dan mematuhi putusan MK serta akan melaksanakan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan sebaik-baiknya sesuai dengan putusan MK dimaksud," ungkap Airlangga.
Sebagai suatu terobosan hukum yang dapat menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa undang-undang yang saling tumpang tindih ke dalam satu undang-undang yang komprehensif, UU Cipta Kerja kini telah melalui pengujian secara formil dan dinyatakan masih tetap berlaku. Hal ini sesuai dengan Putusan MK yang telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukannya sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan oleh MK, yaitu harus dilakukan perbaikan paling lama 2 tahun sejak putusan dibacakan.
Putusan MK juga menyatakan agar Pemerintah tidak menerbitkan peraturan baru yang bersifat strategis sampai dengan dilakukan perbaikan atas pembentukan UU Cipta Kerja.
"Dengan demikian peraturan perundang-undangan yang telah diberlakukan untuk melaksanakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku," tegas Airlangga.
Menutup konferensi pers kemarin, Airlangga juga menyampaikan bahwa Pemerintah akan segera menindaklanjuti Putusan MK dimaksud melalui penyiapan perbaikan undang-undang dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arahan lainnya dari MK sebagaimana dimaksud dalam Putusan MK tersebut.
Parlemen juga menyampaikan hal senada. Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan pihaknya baru mendengar putusan MK terkait UU Cipta Kerja. Tentu, DPR menghormati putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Namun untuk tindaklanjutnya masih akan mempelajari terlebih dahulu putusan tersebut. "Sebelum DPR mengambil langkah-langkah sesuai mekanisme yang ada untuk mentaati putusan tersebut," terangnya di gedung DPR Senayan, kemarin.
Oleh karena itu, kata Dasco, DPR memohon diberikan waktu untuk melakukan kajian secara mendalam. Sehingga pihaknya bisa mengambil langkah-langkah yang tepat untuk merespons putusan MK.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra itu menambahkan, karena putusan baru saja keluar, dirinya belum tahu secara detail poin-poin apa saja yang perlu diperbaiki. "Maka dari itu, DPR akan membaca dan mengkajinya secara detail," papar Dasco.(far/syn/wan/egp/ted)
Laporan: JPG, Jakarta