Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Mardianto Serukan Bentuk Otorita DAS Siak

(RIAUPOS.CO) – Sungai Siak sudah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat dan perkembangan Provinsi Riau. Namun kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan dengan status Sungai Strategis Nasional sekalipun, tidak berbanding lurus dengan perhatian yang diberikan.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan, baik oleh instansi berwenang maupun individu, Sungai Siak berada dalam ancaman kerusakan secara alami maupun nonalami. Di antaranya masalah pendangkalan atau sedimentasi yang mencapai delapan meter setiap tahun.  

Ataupun ancaman abrasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Penggerusan bantaran sungai rata rata mencapai 1,6 meter setiap tahun. Malah pada lokasi tertentu bisa mencapai 7,3 meter per tahun.

Ancaman nonalami berupa pencemaran limbah sebagai akibat ulah manusia. Baik  dalam bentuk perilaku masyarakat yang tidak peduli lingkungan maupun dalam bentuk praktik-praktik curang korporasi di sekitar DAS Siak.  Sehingga merusak kualitas air sungai yang mana BOD, COD dan TSS-nya sudah melebihi baku mutu.

BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik dalam air. COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah kebutuhan se nyawa kimia terhadap oksigen untuk mengurai bahan organik.

TSS (Total Suspended Solid) merupakan semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, dll). Ataupun komponen abiotik (detritus dan partikel-partikel anorganik). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan bergantung pada warna dan kekeruhan.

Kondisi ini menjadi kerisauan sekaligus obyek penelitian Ir Mardianto Manan MT untuk disertasi di Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Riau (Unri). ’’Selain pendangkalan, pencemaran yang terjadi juga mahadahsyat, sudah di luar ambang batas tolerasi. Sehingga kalau menunggu lebih lama lagi bisa menunggu Sungai Siak kiamat,’’ ujar dosen planologi Fakultas Teknik UIR itu, yang juga dikenal sebagai pengamat perkotaan kepada Riau Pos, Jumat (30/7).

Baca Juga:  Hendri Sandra Dapat Tambahan Dukungan

Namun persoalan DAS Siak tidak semata itu. Secara struktural perhatiannya juga tidak maksimal. Ditambah lagi sikap yang saling lempar tanggung jawab terhadap kelestarian salah satu DAS utama nasional tersebut.

Sebagai berstatus sungai strategis nasional maka pengelolaannya menjadi tangggung jawab pemerintah pusat. Termasuk anggaran yang berasal dari APBN atau dana vertikal lainnya. Tanggung jawab itu biasa ditumpangkan pada BP DAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) dan P3E (Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion) Sumatera.

Dari aspek anggarannya juga sangat minim. ’’Mungkin, saya memprediksi saja. Ya lebih kurang 10 persen dari yang diperlukan. Itupun tertatih-tatih menyanggupinya,’’ kata Mardianto lagi.

Perkiraan besaran dana itu, menurut anggota Komisi IV DPRD Riau tersebut, hanya sampai kegiatan kajian atau penelitian, survei-survei kondisi existing sekarang. Masih banyak hal yang perlu segera dilakukan seperti bagaimana manajemen, impelentasi kegiatan, edukasi, reboisasi dan kerja sama banyak pihak.

Karena itu ia berkesimpulan Sungai Siak harus cepat ditanga ni secara manajemen pengelolaan yang berkelanjutan. Jangan sampai seperti kasus Kali Code Jogya, Kali Ciliwung di Jakarta dan lainnya yang menjadi tong sampah besar. ’’Jangan sampai nanti Sungai Siak menjadi tempat pembuangan sampah yang abadi,’’ ujar peraih gelar MT di Fakultas Teknik UGM itu.

Satu dari tiga tiga skenario usulannya adalah optimalisasi penge lolaan kelembagaan DAS Siak. Dalam konteks ini lebih mengacu pada pembentukan menajemen satu pintu dalam bentuk lembaga atau otorita DAS Siak. Tentu saja ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Namun dimotori dan dipercayakan kepada orang tempatan.

Baca Juga:  DPR Menunggu Jawaban Kasus Novel

Pembangunan fisik dan nonfisik terhadap DAS Siak melalui otorita. Ini terdiri dari instansi terkait, pemerintah daerah, swasta, lembaga adat, dan tokoh masyarakat. Seluruh stakeholder yang berperan terhadap penyelamatan sungai tersebut.

Di sisi lain perlu juga perlu diberi keringanan kebijakan untuk partisipasi daerah termasuk masalah pendanaan. Dengan adanya otorita diharapkan bisa memfasilitasi guna mencari payung hukum dengan instansi berwenang.

‘’Sehingga partisipasi, gotong royong, mengeroyok anggaran tersebut tidak menjadi temuan yang membahayakan,’’ ujar dosen planologi Fakultas Teknik Univesitas Islam Riau ini.

Ditambahkan alumni FNGT Unri itu, seluruh badan Singai Siak, sub DAS dan DAS-nya berada di Provinsi Riau. Beda dengan DAS Kampar, DAS Rokan dan DAS Indragiri yang berada di antara dua provinsi. Sehingga secara logika manajemen pengelolaannya bisa lebih mudah.

Skenario kedua, membangun ekologi DAS Siak kembali secara alami melalui berbagai program kegiatan. Skenario ketiga, memaksimalkan monitoring dan evaluasi (monev). Diperlukan kajian-kajian secara berkala. Juga diberlakukan sistem reward and punishment (penghargaan dan sanksi). ‘’Sehingga apapun hentakan atau luka yang terjadi di Sungai Siak cepat dimonitor dan ditangani,’’ tukasnya lagi.

Disertasi bapak tiga anak ini, berjudul Strategi Pengelolaan DAS Siak yang Berkelanjutan dan dipertahankan pada ujian promosi terbuka doktoral yang berlangsung Kamis (29/7) di Program Pascasarjana Unri, Kampus Gobah. Ia sukses meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dan IPK sempurna, 4.0. Kini ia tercatat sebagai doktor ke-156 di UIR.(ali)

 

Laporan Zulkifli Ali, Pekanbaru

 

(RIAUPOS.CO) – Sungai Siak sudah menjadi urat nadi kehidupan masyarakat dan perkembangan Provinsi Riau. Namun kondisinya saat ini sangat memprihatinkan. Bahkan dengan status Sungai Strategis Nasional sekalipun, tidak berbanding lurus dengan perhatian yang diberikan.

Dari berbagai penelitian yang dilakukan, baik oleh instansi berwenang maupun individu, Sungai Siak berada dalam ancaman kerusakan secara alami maupun nonalami. Di antaranya masalah pendangkalan atau sedimentasi yang mencapai delapan meter setiap tahun.  

- Advertisement -

Ataupun ancaman abrasi di sepanjang daerah aliran sungai (DAS). Penggerusan bantaran sungai rata rata mencapai 1,6 meter setiap tahun. Malah pada lokasi tertentu bisa mencapai 7,3 meter per tahun.

Ancaman nonalami berupa pencemaran limbah sebagai akibat ulah manusia. Baik  dalam bentuk perilaku masyarakat yang tidak peduli lingkungan maupun dalam bentuk praktik-praktik curang korporasi di sekitar DAS Siak.  Sehingga merusak kualitas air sungai yang mana BOD, COD dan TSS-nya sudah melebihi baku mutu.

- Advertisement -

BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik dalam air. COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah kebutuhan se nyawa kimia terhadap oksigen untuk mengurai bahan organik.

TSS (Total Suspended Solid) merupakan semua zat padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam air berupa komponen biotik (fitoplankton, zooplankton, bakteri, fungi, dll). Ataupun komponen abiotik (detritus dan partikel-partikel anorganik). Kecerahan adalah ukuran transparansi perairan dan bergantung pada warna dan kekeruhan.

Kondisi ini menjadi kerisauan sekaligus obyek penelitian Ir Mardianto Manan MT untuk disertasi di Program Studi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Riau (Unri). ’’Selain pendangkalan, pencemaran yang terjadi juga mahadahsyat, sudah di luar ambang batas tolerasi. Sehingga kalau menunggu lebih lama lagi bisa menunggu Sungai Siak kiamat,’’ ujar dosen planologi Fakultas Teknik UIR itu, yang juga dikenal sebagai pengamat perkotaan kepada Riau Pos, Jumat (30/7).

Baca Juga:  Rizky Febian Rindu Mendiang Lina

Namun persoalan DAS Siak tidak semata itu. Secara struktural perhatiannya juga tidak maksimal. Ditambah lagi sikap yang saling lempar tanggung jawab terhadap kelestarian salah satu DAS utama nasional tersebut.

Sebagai berstatus sungai strategis nasional maka pengelolaannya menjadi tangggung jawab pemerintah pusat. Termasuk anggaran yang berasal dari APBN atau dana vertikal lainnya. Tanggung jawab itu biasa ditumpangkan pada BP DAS (Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai) dan P3E (Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion) Sumatera.

Dari aspek anggarannya juga sangat minim. ’’Mungkin, saya memprediksi saja. Ya lebih kurang 10 persen dari yang diperlukan. Itupun tertatih-tatih menyanggupinya,’’ kata Mardianto lagi.

Perkiraan besaran dana itu, menurut anggota Komisi IV DPRD Riau tersebut, hanya sampai kegiatan kajian atau penelitian, survei-survei kondisi existing sekarang. Masih banyak hal yang perlu segera dilakukan seperti bagaimana manajemen, impelentasi kegiatan, edukasi, reboisasi dan kerja sama banyak pihak.

Karena itu ia berkesimpulan Sungai Siak harus cepat ditanga ni secara manajemen pengelolaan yang berkelanjutan. Jangan sampai seperti kasus Kali Code Jogya, Kali Ciliwung di Jakarta dan lainnya yang menjadi tong sampah besar. ’’Jangan sampai nanti Sungai Siak menjadi tempat pembuangan sampah yang abadi,’’ ujar peraih gelar MT di Fakultas Teknik UGM itu.

Satu dari tiga tiga skenario usulannya adalah optimalisasi penge lolaan kelembagaan DAS Siak. Dalam konteks ini lebih mengacu pada pembentukan menajemen satu pintu dalam bentuk lembaga atau otorita DAS Siak. Tentu saja ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Namun dimotori dan dipercayakan kepada orang tempatan.

Baca Juga:  Kejari Rohil Bagi-Bagi Sembako

Pembangunan fisik dan nonfisik terhadap DAS Siak melalui otorita. Ini terdiri dari instansi terkait, pemerintah daerah, swasta, lembaga adat, dan tokoh masyarakat. Seluruh stakeholder yang berperan terhadap penyelamatan sungai tersebut.

Di sisi lain perlu juga perlu diberi keringanan kebijakan untuk partisipasi daerah termasuk masalah pendanaan. Dengan adanya otorita diharapkan bisa memfasilitasi guna mencari payung hukum dengan instansi berwenang.

‘’Sehingga partisipasi, gotong royong, mengeroyok anggaran tersebut tidak menjadi temuan yang membahayakan,’’ ujar dosen planologi Fakultas Teknik Univesitas Islam Riau ini.

Ditambahkan alumni FNGT Unri itu, seluruh badan Singai Siak, sub DAS dan DAS-nya berada di Provinsi Riau. Beda dengan DAS Kampar, DAS Rokan dan DAS Indragiri yang berada di antara dua provinsi. Sehingga secara logika manajemen pengelolaannya bisa lebih mudah.

Skenario kedua, membangun ekologi DAS Siak kembali secara alami melalui berbagai program kegiatan. Skenario ketiga, memaksimalkan monitoring dan evaluasi (monev). Diperlukan kajian-kajian secara berkala. Juga diberlakukan sistem reward and punishment (penghargaan dan sanksi). ‘’Sehingga apapun hentakan atau luka yang terjadi di Sungai Siak cepat dimonitor dan ditangani,’’ tukasnya lagi.

Disertasi bapak tiga anak ini, berjudul Strategi Pengelolaan DAS Siak yang Berkelanjutan dan dipertahankan pada ujian promosi terbuka doktoral yang berlangsung Kamis (29/7) di Program Pascasarjana Unri, Kampus Gobah. Ia sukses meraih gelar doktor dengan predikat cumlaude dan IPK sempurna, 4.0. Kini ia tercatat sebagai doktor ke-156 di UIR.(ali)

 

Laporan Zulkifli Ali, Pekanbaru

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari