Rupat Utara sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) sejak 2011. Janji manis yang masih ditunggu. Kenyataannya, perkembangan pariwisata itu begitu lambat seiring infrastruktur yang juga lambat. Banyak warga yang kecewa. Tapi seorang warga, Zairi Efendi memilih realistis. Dia mulai berjualan kerupuk untuk menyambut pariwisata Rupat Utara. Padahal dia pernah jadi tekong pompong pembawa TKI yang terbilang mewah di masanya.
(RIAUPOS.CO) – SUATU petang pekan lalu, dua anak umur delapan dan sepuluh tahun bergerak lincah di depan tumpukan kerupuk. Dua pasang tangan-tangan kecil itu memasukkan kerupuk yang sudah kering ke dalam plastik kemasan, lalu ditimbang. Mereka juga yang membawa kerupuk-kerupuk itu dari halaman tempat dijemur ke dalam rumah. Ayah dan ibu keduanya hanya menyaksikan dari kejauhan sambil mengerjakan pekerjaan lain.
Di Desa Teluk Rhu, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis, terdapat beberapa produsen produk serupa. Tapi kebanyakan masih belum dikerjakan secara serius. Bahan baku berupa ikan yang kadang langka menjadi penyebab kenapa kadang industri kerupuk berbahan baku ikan dan udang ini macet.
“Saya mencoba serius membuat kerupuk ini,” ujar Zairi Efendi, ayah kedua bocah itu.
Keseriusan ini yang membedakan dia dengan beberapa pengusaha kecil kerupuk lainnya di Rupat Utara. Sebelumnya, Zairi dan beberapa nelayan lainnya pernah dilatih Pemkab Bengkalis untuk membuat usaha pembuatan kerupuk. Tujuan besarnya adalah mempersiapkan pariwisata di Rupat Utara. Tak hanya pelatihan pembuatan kerupuk ikan dan udang, tapi juga berbagai makanan khas hingga produk kerajinan. Selain itu, pembinaan dan pembentukan home stay juga dilakukan cukup masif. Kelompok sadar wisata (pokdarwis) pun didirikan dan dibina.
Hal itu dilakukan untuk mengantisipasi Rupat Utara sebagai salah satu destinasi wisata unggulan. Pariwisata diharapkan menjadi masa depan Rupat Utara menggantikan segala masa lalu yang penuh masalah. Di antaranya adalah penyeludupan. Tak hanya barang dengan smokel, tapi juga orang, yakni tenaga kerja Indonesia (TKI).
“Saya sudah melalui semuanya. Sekarang jual kerupuk saja,” ujar Zairi sembari tersenyum.
Sebenarnya berjualan kerupuk juga tidak mudah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah bahan baku. Ada masanya ikan banyak di Selat Melaka ini. Jika ikan banyak, maka sekali ke laut, nelayan bisa mendapatkan puluhan kilogram ikan. Harga jualnya kadang bisa hingga Rp5 juta sekali melaut. Cukup untuk makan sebulan. Tapi jika musim tak ada ikan, maka kadang hanya dapat kurang dari 3 kilogram. Tidak sesuai dengan bahan bakar yang dihabiskan. Terkadang, para nelayan biasa “puasa ikan” selama empat bulan. Selat Melaka memang sudah mengalami over fishing. Dalam kondisi seperti itu, banyak pengusaha kerupuk yang tidak berproduksi.
“Kalau saya, tetap saya cari sampai dapat. Kalau masih ada di sekitar Rupat Utara, saya cari terus. Yang penting harus tetap berproduksi tiap hari,” ujarnya.
Hal itulah yang membedakan kerupuk ikan Cik Delly kepunyaan Zairi dan keluarga dengan usaha kecil lainnya. Kerupuk ikan paling khas di Rupat Utara adalah ikan parang. Tapi ada juga ikan tamban, lomek, dan udang. Jika satu produk ikan tidak ada, maka ia tetap memproduksi yang lainnya. Kerupuk ini juga sudah mendapatkan sertifikasi halal MUI, dan berbagai izin lainnya dari Diskes, dan Disperindag. Selain dijual kepada wisatawan yang datang ke Rupat Utara, dia juga sudah memasarkan ke luar Rupat, misalnya ke Dumai, Batam, Tanjung Balai Karimun, dan Bengkalis. Harga di gerai depan rumahnya hanya Rp12,5 ribu per bungkus. Harga di luar Rp15 ribu.
“Cukuplah untuk hidup anak-beranak,” sebutnya.
Kerupuk ini dikemas dalam ukuran 200 gram. 1 kg bisa menghasilkan Rp60 ribu. Tiap pekan, dia bersama keluarga bisa membuat 17 hingga 18 kg. Itu merupakan perpaduan 10 kg ikan segar plus 15 kg tepung. Harga ikan parang segar di pasaran saat ini Rp20 ribu per kg. Udang kecil begitu juga. Kadang transaksi bisa juga menggunakan Ringgit. Saat ini ikan parang bernilai 6 Ringgit 50 sen di Tanjung Medang. Ikan tenggiri dijual 10 Ringgit.
Kebanyakan ikan-ikan yang dihasilkan nelayan Teluk Rhu dijual kepada pengepul di Tanjung Medang, ibu negeri Kecamatan Rupat Utara. Lalu ikan-ikan itu kebanyakan dibawa ke Malaysia. Jarak yang dekat dibanding Dumai atau Bengkalis jadi alasan. Hanya saja, penghasilan dari mencari ikan kian tidak pasti. Zairi sendiri merasa lebih nyaman dengan memproduksi kerupuk ikan dan udang ini. Ada penghasilan tetap dengan berjualan kerupuk ikan ini.
“Sebenarnya ini pekerjaannya orang rumah (istri, red). Saya bantu-bantu saja, terutama kalau bahan baku ikan tak ada,” ujarnya.
Tradisi Smokel
Jauh sebelum ini, Zairi merupakan nelayan dan pedagang yang lebih “lincah”. Perdagangan yang dilakukannya lintas negara. Dia masih mengalami smokel atau penyeludupan barang. Generasi sebelumnya bahkan mengalami perdagangan bebas ke Malaysia. Rupat Utara memang hanya satu setengah jam perjalanan dari Rupat Utara. Berjarak hanya 28 mil laut. Cahaya lampu Port Klang di seberang sana bisa terlihat dari Teluk Rhu jika cuaca cerah. Perdagangan dengan Ringgit pun biasa mereka lakukan. Di Tanjung Medang, Ringgit masih kerap digunakan hingga saat ini.
Sebagai pelaku penyeludupan, Zairi menyebutkan, di masa itu menjadi pelaku smokel memang jamak dilakukan. Smokel menjadi kebiasaan legendaris yang diteruskan sejak lama. Hampir semua warga Teluk Rhu melakukannya. Seperti perdagangan biasa saja. Makanya hampir semua produk Malaysia biasa didapatkan di Rupat Utara. Mulai dari makanan, pakaian, bahkan kendaraan kebanyakan merupakan produk Malaysia.
Belakangan, pengetatan demi pengetatan terus dilakukan. Tapi hingga tahun 2010, smokel masih dapat berjalan. Kedua negara mulai memiliki aturan yang ketat soal batas negara, perjalanan lintas batas dan transaksi dagang. Tapi nego-nego masih tetap bisa. Selama 2006-2010, smokel atau penyeludupan sepeda motor bahkan sangat marak. Lima sepeda motor bisa dibawa dengan satu boat pancung atau pompong bermesin, dengan lebar dua meter. Selat Melaka diarungi. Harganya ketika itu hanya 500 Ringgit. Motor-motor itu kemudian dijual di sekitar Rupat. Ada juga yang dijual hingga ke Dumai. Dari Batu Panjang, Rupat bagian selatan memang ada jalur roll on roll off (roro) menuju Dumai, sehingga mudah sekali menyeberangkan sepeda motor. Kendati bodong, tapi menurutnya kadang ada yang dapat membuatkan pelat kendaraan ketika sepeda motor itu sampai ke Dumai. Setelah sampai ke Dumai, peredaran di Pulau Sumatra lebih mudah. Tapi biasanya tidak di perkotaan. Kebanyakan di kawasan perkebunan yang memang luas di Riau.
“Dua malam sekali kami lakukan,” ujarnya ketika ditanyakan berapa banyak sepeda motor bodong Malaysia yang sempat masuk lewat Rupat Utara.
Tentu jumlahnya sangat fantastis. Kebanyakan motor-motor buatan Jepang itu digunakan untuk balapan. Jenisnya memang kebanyakan untuk crossing. Ada juga yang akhirnya hanya untuk ke kebun. Biasanya, motor yang dibawa merupakan motor baru dalam masa kredit. Sebagian digelapkan, lalu dijual ke Indonesia.
Motor yang dibawa itu tentunya cukup rawan selama di perjalanan. Bisa saja ada razia Bea Cukai Indonesia, Polairud, TNI AL, dan terutama aparat Malaysia. Yang lebih menakutkan tentunya aparat Malaysia. Aparat Indonesia sendiri ketika itu masih minim. Kebanyakan pos penjagaan hanya di Bengkalis. Petugas hanya sesekali patroli ke Rupat Utara. Jika ada razia petugas, terutama PDM, maka motor-motor itu kerap kali dibuang ke laut. Sebab, itu adalah bukti dan PDM sangat mengutamakan bukti. Begitu juga jika ada gelombang kuat yang tak bisa diperkirakan sebelumnya, pembuangan barang bawaan jadi keharusan.
“Macam itulah kalau mau selamat,” ujarnya.
Persaudaraan Serumpun
Mudahnya urusan dengan aparat Malaysia di masa lalu sudah terjalin sejak ratusan tahun, jauh sebelum ada dua negara. Bahkan banyak tradisi orang Rupat dan orang Port Dickson atau Port Klang yang sama. Dalam beberapa kegiatan tradisi, masyarakat kedua negara saling mengunjungi dan mengikuti berbagai kegiatan. Maklum, saudara serumpun dan berkerabat. Salah satunya adalah ritual mandi safar.