Datang ke Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, tidak semudah yang dibayangkan. Begitu sampai di tepian sungai desa tersebut, Riau Pos disambut banyak warga. Tapi mereka hanya melihat dari kejauhan. Seorang warga, mengarahkan Riau Pos menuju kantor desa. Di sana, kepala desa, Datuk dan Ninik Mamak, menunggu dengan bersila.
Laporan: KUNNI MASROHANTI (Kampar)
"Kok salemo boghek, pulanglah ka Pokan. Jan lai kamari. Kami di kampuong ko sehat sodo. Kami ndak nio sakik pulo ndek ughang datang mbaok corona (Kalau flu berat, pulang sajalah ke Pekanbaru. Kami di kampung sehat semua. Kami tak mahu sakit gara-gara orang luar datang membawa corona, red)."
Inilah kata-kata yang disampaikan Pak Adam Kepala Desa Aur Kuning yang akrab disapa Pakcik kepada Riau Pos setelah beberapa saat duduk di ruang tengah kantor desa tersebut, pertengahan Januari lalu. Di sampingnya, duduk perangkat desa yang lain serta Datuk dan Ninik mamak.
Meski berkata demikian, Pakcik berkali-kali pula meminta karena maaf harus mengatakan hal tersebut. Semua itu dilakukan semata-mata hanya untuk kebaikan warganya. Bukan hanya Pakcik, Datuk dan Ninik Mamak yang hadir di kantor desa sore itu juga terlihat kurang menyambut baik. Sangat bisa dimaklumi. Apalagi sampai saat ini warga Aur Kuning belum ada yang terjangkit Covid-19. Sementara, beberapa desa yang tidak jauh dari Aur Kuning sudah ada yang terkena. Salah satunya Desa Domo.
Covid-19 memang membuat Pakcik takut dan harus bersikap lebih disiplin terhadap siapapun yang datang ke sana. Begitu juga dengan warganya dan warga di desa-desa lain. Desa Padang Sawah, misalnya. Ahkhir tahun lalu, warga desa ini dengan dipimpin Datuk dan Ninik Mamak menggelar Semah Kampung yang disebut dengan Manyanggai Sitawar. Ritual ini dilakukan hanya sekali-kali saja saat kampung dilanda wabah atau terancam oleh wabah yang akan masuk ke sana.
"Insyaallah ambo sehat, Pakcik." Riau Pos berusaha meyakinkan kembali meski sebelum berangkat ke Aur Kuning sudah menginformasikan kedatangan terlebih dulu.
"Ya, okelah kalau memang sehat. Silakan saja berkegiatan dan mencari informasi di kampung ini," jawab Pakcik yang sekali-kali menggunakan Bahasa Indonesia dan sekali-kali menggunakan bahasa kampung. Sebelum menjawab, Pakcik terlebih dulu meminta pendapat kepada Datuk dan Ninik Mamak yang ada di sebelahnya.
Cair. Setelah berbincang dan duduk bersama beberapa jam, suasana benar-benar menjadi lebih santai. Bahkan, sore itu, Datuk Pucuk, mengajak Riau Pos berjalan-jalan keliling kampung melihat suasana kampung hingga ke Makam Datuk Darah Putih yang diyakini sebagai orang sakti di sana.
"Jan lai dipakai tutuik muluik tu. Ndak apo. Kami lah yakin anak ko sehat. Bukalah (jangan lagi di pakai masker, tu. Tak apa. Kami sudah yakin anak dalam keadaan sehat. Bukalah, red)," kata Datuk Pucuk.
Alhamdulillah, akhirnya lepas masker.
Meski warga Desa Aur Kuning takut dengan Covid-19, tapi tidak ada satu pun yang mengenakan masker. Begitu juga dengan warga desa di sepanjang kawasan tersebut. Selama 2,5 jam perjalanan menyusuri Sungai Subayang menggunakan piaw (perahu mesin, red), saat menuju Desa Aur Kuning, tidak ada warga yang mengenakan masker. Baik warga yang lalu lalang dalam piaw, warga yang mandi atau beraktivitas di tepi sungai.
Malam itu Riau Pos menginap di Aur Kuning, tepatnya di rumah Pakcik. Meski hanya semalam, tidak hanya informasi seputar Covid yang didapatkan, tapi juga silaturrahmi yang begitu hangat. Ngopi, berbincang tanpa masker, duduk bersebelahan, tidak lagi dipersoalkan seperti saat pertama Riau Pos datang. Pakcik kembali menjelaskan, warganya memang tidak diwajibkan memakai masker saat berkegiatan di kampung atau sekitar kampung. Mengapa begitu, karena Pakcik meyakini warganya tidak ada yang terjangkit Covid. Orang yang datang pun dipastikan bebas dari Covid.
Agar kampungnya tetap terhindar dari Covid, Pakcik juga mengurangi kegiatan yang menimbulkan kerumunan massa. Apalagi kegiatan yang dilaksanakan orang lain di kampungnya. Bahkan banyak sekali kegiatan dari luar yang ditolaknya, baik kegiatan sosial atau pariwisata. Kecuali jumlah warga yang datang terbatas dan dengan syarat-syarat yang harus dipatuhi. Salah satunya membawa surat rapid test atau dipastikan memang benar-benar sehat. Hal ini sudah dilakukan Pakcik sejak awal Covid atau sejak setahun lalu.
"Sudah banyak kegiatan dari luar yang Pakcik Tolak. Walaupun kegiatan sosial seperti sunat massal, berobat gratis dan sebagainya. Banyak juga komunitas yang mahu membuat kegiatan di Aur Kuning. Macam-macam. Ada juga persatuan mahasiswa. Semuanya Pakcik tolak. Ini untuk sementara. Kita benar-benar takut dengan korona ini. Nanti kalau sudah aman, baru kita laksanakan lagi," kata Pakcik malam itu.
Berjam-jam Susuri Sungai
Pagi itu Pakcik sedikit tergopoh-gopoh menuju piaw yang tertambat di Sungai Subayang, tidak jauh dari rumahnya. "Ambulance", inilah tulisan yang tertera di salah satu sisi piaw tersebut. Piaw ini memang milik desa. Meski namanya Ambulance, tapi tidak hanya untuk membawa orang sakit, digunakan juga untuk berbagai keperluan desa. Piaw ambulance tersebut diberikan pemerintah kabupaten untuk pemerintah desa agar bisa melayani warganya.
Berkali-kali Pakcik melihat jam tangannya. Pukul 10.00 WIB. Cukup siang untuk perjalanan menuju Desa Gema, ibu kota kecamatan yang terletak jauh di hilir. Memerlukan waktu hampir 2 jam. Tapi karena sorenya harus kembali ke desa, maka Pakcik harus bergerak lebih cepat. Tanpa toleh kanan dan kiri, Pakcik menghidupkan mesin Johnson pada piaw tersebut. Dan, melajulah piaw ke hilir.
Pagi itu, Riau Pos ikut naik piaw bersama Pakcik setelah menginap semalam di sana. Sungguh, semalam di Aur Kuning terasa sangat singkat meski harus berkerja keras meyakinkan pemerintah desa dan Ninik Mamak kalau diri dalam keadaan sehat. Memang, sejak pandemi Covid-19, siapapun yang datang dicurigai. Tidak semua orang pula bisa masuk ke Desa Aur Kuning. Kalaupun bisa, harus memenuhi banyak persyaratan.
Desa ke tujuh setelah Desa Gema ini dibelah Sungai Biawik yang bermuara ke Sungai Subayang. Di atas Sungai Biawik itu pula tergantung jembatan baja yang menghubungkan Aur Kuning seberang dengan Aur Kuning pusat desa. Bentang alam desa dengan perbukitan di sekelilingnya, membuat desa ini teduh dan sejuk. Belum lagi air Sungai Subayang dan Biawik yang mengalir jernih dengan bebatuan menghampar di sepanjang tepian. Di sungai inilah, segala aktivitas masyarakat sehari-hari bertumpu; mandi, mencuci, memandikan anak baru lahir atau yang dikenal turun mandi, dan memandikan jenazah.
Desa Aur Kuning dan tujuh desa lainnya di sepanjang Sungai Subayang ini masuk dalam kawasan Suaka Margasatwa (SM) Bukit Rimbang Bukit Baling atau yang dikenal dengan Rimbang Baling. Hingga kini, kawasan ini masih menyimpan kekayaan alam dan budaya yang terjaga rapi. Tujuh desa lainnya tersebut yakni, Desa Muara Bio, Batu Songgan, Tanjung Beringin, Gajah Betalut, Terusan, Subayang Jaya dan Pangkalan Serai. Semua desa ini berada di bawah kaki Bukit Barisan yang berbatas langsung dengan Provinsi Sumatera Barat.
Sungai Subayang menjadi satu-satunya jalur transportasi di kawasan ini. Jika dari Desa Gema ke Aur Kuning memerlukan waktu 2 jam, maka sampai ke Pangkalan Serai atau desa paling ujung memerlukan waktu minimal 3,5 jam. Itupun jika air dalam keadaan tidak rusak atau tidak dangkal. Jika dangkal, bisa lebih dari lima jam. Perjalanan yang jauh. Inilah yang menjadi alasan mengapa saat ini pemerintah merintis jalur darat sebagai jalur interpretasi sepanjang 36 kilo. Proses ini sedang berlangsung dan memerlukan waktu yang cukup panjang mengingat tekstur tanah berupa perbukitan dan bebatuan.
Selain tidak ada jalur darat, signal juga tidak ada di seluruh desa ini. Maka, mau tidak mau, untuk mendapatkan informasi apapun, masyarakat harus ke ulak atau ke hilir yakni ke Desa Tanjung Belit atau Desa Gema.
"Kok ndak ka ulak, kami ndakkan tontu ndek korona ko (kalau tak ke Gema, kami tak tau korona, red)," kata Pakcik kepada Riau Pos tiba-tiba. Meski laju piaw sudah diperlambat agar raung suara Johnson lebih kecil dan suaranya bisa lebih jelas didengar, Pakcik masih bicara dengan setengah berteriak.
Sebagai warga asli Desa Aur Kuning, Pakcik sangat piawai mengemudikan piaw ambulance tersebut. Padahal besar karena memakai mesin Johnson. Muatannya juga lebih banyak hingga 14 orang. Jauh lebih besar dibandingkan piaw dengan mesin Robin. Ukurannya lebih kecil dan muatannya maksimal hanya 7 orang. Meski namanya piaw ambulance, tapi piaw ini tidak hanya digunakan untuk membawa masyarakat yang sakit, tapi juga untuk berbagai keperluan desa lainnya.
"Kok sempat mudiak, mudiak wak. Kok indak, yo manginaplah di ulak. Bapiaw malam ko kadang sanang, banyak lo susahnyo. Apolai kok sadang bandang atau aie rusak (kalau sempat pulang, ya pulang. Tapi kalau tidak, terpaksa menginap di Gema. Naik piaw malam kadang senang, tapi banyak susahnya. Apalgi kalau sedang banjir besar atau dangkal)," cerita Pakcik lagi.
Susahnya signal di Desa Aur Kuning, membuat Pakcik harus bolak balik ke Desa Gema. Di sana, ia duduk, mendengarkan cerita orang lain tentang perkembangan Covid-19 atau membaca berita-berita tentang Covid di berbagai media online dan media sosial. Apapun berita yang diketahuinya, akan disampaikan kepada warganya di Aur Kuning. Paling tidak, seminggu dua kali Pakcik ke Gema. Selain Gema, di Desa Tanjung Belit yang terletak sebelum Desa Gema, juga ada signal. Tapi Pakcik memilih ke Desa Gema. Selain ada pasar mingguan, juga banyak warung-warung yang menyediakan kebutuhan barang harian sehingga bisa sekalian berbelanja.
Sesuai data yang tercantum dalam situs corona.riau.go.id per tanggal 29 Januari 2021 pukul 16:24 WIB tentang grafik suspek Covid-19 Provinsi Riau per kabupaten/kota, kasus di Kampar masih tergolong rendah dibandingkan dengan kabupaten lain. Total kasus tersebut yakni, Pekanbaru 10.233, Dumai 3.464, Bengkalis 6.328, Siak 2.252, Meranti 5.900, Pelalawan 5.435, Inhil 6.159, Inhu 3.732, Kuansing 7.595, Rohul 7.447, Rohil 4.878, dan Kampar 5.801.***