JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak resmi memperpanjang masa berlaku insentif pajak hingga Desember 2020. Sebelumnya, isentif pajak tersebut hanya berlaku hingga September 2020. Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86 tahun 2020. Aturan tersebut merupakan revisi dari PMK sebelumnya yakni Nomor 44 tahun 2020, berisi tentang insentif pajak untuk wajib pajak terdampak pandemi corona.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama juga menjelaskan bahwa insentif pajak bagi industri terdampak pandemi kini tersedia untuk lebih banyak sektor usaha. ”Prosedurnya juga lebih sederhana,” ujar Yoga, Sabtu (18/7).
Lima insentif yang diperpanjang tersebut adalah insentif PPh Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25, pajak UMKM, dan PPN. Lebih rinci Yoga menjelaskan, insentif PPh Pasal 21 akan diberikan kepada karyawan perusahaan yang bergerak di salah satu dari 1.189 bidang industri tertentu, perusahaan yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), dan pada perusahaan di kawasan berikat. ”Fasilitas ini sebelumnya hanya tersedia bagi 1.062 bidang industri dan perusahaan KITE,” tambahnya.
Selanjutnya, sambung Yoga, insentif pajak UMKM akan berupa pembebasan PPh final UMKM sebesar 0,5 persen. Pelaku UMKM yang ingin memanfaatkan fasilitas ini cukup menyampaikan laporan realisasi setiap bulan, tak perlu mengajukan surat keterangan yang sebelumnya diwajibkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018.
Sementara insentif PPh Pasal 22 Impor akan diberikan kepada wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 721 bidang industri tertentu, pada perusahaan KITE, dan pada perusahaan di kawasan berikat. Syaratnya, penerima fasilitas wajib menyampaikan laporan setiap bulan, dari yang sebelumnya setiap tiga bulan.
Yoga menegaskan bahwa fasilitas tersebut sebelumnya hanya tersedia bagi 431 bidang industri dan perusahaan KITE. Untuk insentif angsuran PPh Pasal 25 diberikan pada wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 1.013 bidang industri tertentu, perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat. Insentif ini berupa pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30 persen dari angsuran yang seharusnya terutang. ”Fasilitas ini sebelumnya hanya tersedia bagi 846 bidang industri dan perusahaan KITE,” kata dia.
Sedangkan insentif PPN akan diberikan kepada wajib pajak yang bergerak di salah satu dari 716 bidang industri tertentu, perusahaan KITE, dan perusahaan di kawasan berikat. Adapun fasilitas ini sebelumnya hanya diberikan kepada 431 bidang industri dan perusahaan KITE. ”Untuk menangani dampak Covid-19 saat ini, perlu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional,” ujarnya.
Pada kesempatan sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani sempat memberi catatan pada langkah pemberian insentif pajak yang dilancarkan pemerintah. Apindo menganggap bahwa stimulus-stimulus di atas belum maksimal terserap atau dirasakan oleh pelaku usaha. ”Pada intinya semua stimulus perlu terkait dengan meringankan beban biaya. Itu yang paling kami butuhkan untuk memperpanjang napas,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Kamdani turut menambahkan bahwa sedikitnya terdapat empat terobosan yang direkomendasikan Kadin Indonesia kepada pemerintah untuk mempercepat pendistribusian atau pencairan stimulus ekonomi. Pertama, peraturan teknis pendistribusian dan pelaksanaan stimulus ekonomi di lapangan harus diselesaikan setidaknya 1-2 pekan setelah stimulusnya sendiri diumumkan. ”Sehingga lag time-nya tidak terlalu lama,” tegas Shinta.
Kedua, lanjut Shinta, perlu ada transparansi dan sosialisasi yang memadai dari pemerintah kepada pelaku usaha terkait cara memperoleh/mengklaim stimulus tersebut. ”Misalnya, harus diminta ke mana, bagaimana, dan berapa lama prosesnya, dan lain-lain,” tambahnya.
Saran ketiga sambung Shinta, perlu ada target pencairan stimulus kepada lembaga-lembaga. pelaksana, misalnya bank-bank peserta dan bank pelaksana, agar output distribusi stimulus kepada pelaku usaha menjadi terukur dan terpacu untuk lebih cepat cair.
Kemudian terakhir, perlu ada penyederhanaan mekanisme distribusi stimulus sehingga lebih direct dan cepat kepada pelaku usaha. “Kami memahami bahwa ada concern atas moral hazard bila stimulus diberikan langsung kepada pelaku usaha oleh pemerintah. Namun, negara lain berhasil menghindari risiko tersebut dengan berbagai breakthrough mekanisme distribusi dan berhasil mempercepat distribusi stimulusnya,” tuturnya.
Dampak Ekonomi
Tren kasus Covid-19 yang terus meningkat berdampak pada berbagai parameter ekonomi. Mulai stabilitas nilai tukar, investasi, kinerja perdagangan ekspor-impor, pariwisata, hingga manufaktur. ”Ter kait dengan stabilitas nilai tukar, pastinya timbul kekhawatiran bahwa pemulihan ekonomi akan berjalan lebih lamban,’’ ujar ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira kepada Jawa Pos (JPG).
Beberapa hari terakhir, nilai tukar rupiah memang fluktuatif. Pada perdagangan Jumat (17/7), nilai tukar rupiah ditutup melemah ke level Rp 14.703 per dolar AS. Di sisi lain, lanjut Bhima, kinerja industri manufaktur cenderung menunggu sinyal permintaan dalam negeri. ”New normal atau adaptasi baru ini ternyata belum bisa meningkatkan aktivitas di luar rumah meskipun dengan protokol kesehatan,’’ imbuhnya.
Kondisi itu akan berujung pada indeks Purchasing Managers Index (PMI) Manufacturing Indonesia yang sulit mencapai angka 50. Juni lalu, indeks PMI Manufacturing Indonesia tercatat 39,1 atau naik 11 poin dari Mei yang mencapai 28,6. Meski mencatat kenaikan, saat ini PMI terbilang rendah karena dampak PSBB yang membuat aktivitas manufaktur terhenti.
Yang patut menjadi sorotan, meski pada kuartal I 2020 pertumbuhan ekonomi Cina tercatat 6,8 persen, pada kuartal II 2020 bisa tumbuh positif ke level 3,2 persen. Bhima menyebutkan, kondisi itu merupakan dampak keseriusan pemerintah Cina menangani pandemi. ”Untuk Indonesia, sepertinya kuartal III masih akan negatif pertumbuhan ekonominya. Justru puncaknya belum terlihat di kuartal III,” katanya.
Bahkan, lanjut dia, bisa sampai ke kuartal IV kalau jumlah kasusnya tinggi dan stimulus ekonominya kecil. Geliat ekonomi pun akan melambat. ”Kita harus belajar dari Cina yang berani melakukan disiplin ketat, tapi lantas ekonominya bisa rebound,’’ lanjut Bhima.
Sektor pariwisata, kata Bhima, akan pulih paling terakhir. Sebab, pemulihan pariwisata memerlukan waktu sampai penerbangan internasional dibuka seluruhnya lagi seperti sebelum pandemi. Kasus positif di titik-titik destinasi wisata juga harus dipastikan turun.
Sementara itu, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai bahwa poin yang juga patut menjadi perhatian adalah strategi penyelamatan isu ketenagakerjaan dan hubungan industrial.
Menurut Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani, kontraksi yang terjadi bakal berdampak pada kondisi pekerjaan dalam skala besar. Selain di Jakarta atau pusat bisnis lainnya, hal itu dikhawatirkan bisa berpengaruh ke daerah.(agf/dee/c7/fal/jpg)