Sabtu, 23 November 2024
spot_img

41 Dokter PPDS Terkonfirmasi Covid-19

(RIAUPOS.CO) – Setidaknya tiga peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) RSUD dr Soetomo sedang terbaring di rumah sakit tersebut saat ini. Dua di antaranya menggunakan alat bantu napas atau ventilator. Berdasar data internal yang dihimpun Jawa Pos (JPG) terhitung sejak Maret sampai Sabtu (20/6) malam, tercatat ada 41 peserta PPDS yang terkonfirmasi Covid-19.

Bahkan, satu di antaranya meninggal pada Rabu (10/6), yakni Miftah Fawzy Sarengat, dokter PPDS penyakit dalam FK Universitas Airlangga (Unair). Sementara itu, 13 orang lainnya sudah sembuh dan sisanya dalam tahap pemulihan.

Tidak ada yang mengetahui pasti dokter-dokter itu tertular dari mana. Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab. Bisa dari pasien yang datang ke rumah sakit, rekan sesama tenaga medis, lingkungan rumah, hingga lingkar sosialnya.  

Namun, satu yang pasti, para dokter yang sebenarnya berstatus dalam pendidikan itu mendapatkan beban kerja yang kerap berlebihan sehingga membuat kondisi mereka sering tak fit. Selain itu, masalah ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang mestinya menjadi hal vital untuk melindungi mereka ketika bertugas. ”APD ini yang tidak sepenuhnya didukung dengan baik,” papar seorang peserta PPDS RSUD dr Soetomo, sebut saja namanya Fajar.

Dia mengatakan, ada program studi yang tidak mendapatkan dukungan APD sama sekali, bahkan hingga saat ini. Fajar menyebut rekannya sesama peserta PPDS di prodi itu sempat melayangkan protes. Padahal, menurut dia, prodi itu memiliki risiko penularan Covid-19 yang sama besar dengan prodi lain.

Fajar juga menyebut kondisi IGD tidak optimal. Padahal, tempat itu sering menjadi rujukan pertama orang-orang yang memiliki gejala Covid-19. ’’IGD Soetomo ini alurnya kurang baik. Mulai skrining untuk pasien yang masuk hingga manajemen ruangannya,” paparnya.

Dia menyayangkan kondisi itu. Apalagi status RSUD dr Soetomo yang menjadi rumah sakit rujukan. Menurut Fajar, RSUD dr Soetomo mestinya bisa menjadi contoh hospital safety, baik dari segi desain ruangan maupun ketersediaan tenaga kesehatan (nakes).

Menurut Fajar, para petugas yang bekerja di IGD, termasuk peserta PPDS-nya, memiliki hak khusus menjalani tes swab. Namun, hal tersebut tidak bagi peserta PPDS di ruangan lain. ’’Pihak rumah sakit beralasan pendapatan mereka turun hingga 70 persen. Kalau semua di-swab, tidak cukup. Sehingga di luar IGD, hanya yang bergejala yang diperiksa,” katanya.

Menurut dia, itu adalah hal yang membahayakan. Bagaimana jika nakes yang bertugas tersebut menjadi orang tanpa gejala (OTG). Namun, karena tidak ada hak swab, nakes jadi tidak tahu kondisinya. Tetap menjalani kegiatan biasa, termasuk pulang ke keluarga. ”Yang seperti itu apakah tidak diperhitungkan ketika mengambil kebijakan?” tanyanya.

Kekecewaan itu sempat disuarakan. Apalagi saat pihak direksi RSUD dr Soetomo menyebut hanya 1-2 persen peserta PPDS yang terpapar. ’’Kami mengharapkan pendekatan kemanusiaan yang dipakai. Perlindungan nakes, terutama peserta PPDS, juga diperhatikan. Uang dan insentif, menurut kami, itu poin kecil saja. Kalau dokter PPDS akhirnya mogok kerja, apa kabar nasib pasien se-Jawa Timur? Kalau kami aman, bukannya pasien akan aman?” ungkapnya.

Poin keamanan tersebut menjadi ketakutan tersendiri bagi dokter PPDS. Bekerja jadi tidak tenang. Fajar mengibaratkan seperti menunggu giliran kena. ”Karena harus bekerja di ruangan yang tidak standar,” ujarnya.

Baca Juga:  Ketua MUI Riau Tak Mendukung Rencana Kemenag

Persoalan itu bukannya tidak pernah dibahas. Fajar mengatakan, para peserta PPDS pernah diajak untuk bicara. Namun, hasilnya tidak memuaskan. Salah satu poin adalah bahasan ketika ada dokter PPDS yang meninggal dalam tugas.

Tidak ada insentif yang diberikan. Santunan hanya berlaku jika dokter PPDS tersebut memang benar-benar jaga di RIK. Besarannya maksimal Rp5 juta. Uang dukacita juga Rp5 juta.

Di sisi lain, Dekan FK Unair Prof Soetojo mengungkapkan soal kebutuhan APD bagi peserta PPDS sudah tersedia. Dia meyakinkan bahwa pihak RSUD dr Soetomo sudah memenuhi hal tersebut. ’’Sudah tersedia semua, apalagi bagi mereka yang menangani langsung Covid-19,” katanya.

Karena itu, pihaknya menganggap PPDS tidak perlu sampai menggalang APD dari publik. Menurut dia, FK Unair juga menerima banyak bantuan dari donatur. Soetojo menyebut bantuan itu didistribusikan ke rumah sakit yang membutuhkan, seperti RSUD dr Soetomo dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Unair.

Mengenai peserta PPDS yang sedang terpapar Covid-19, pihaknya berupaya memberikan perawatan optimal hingga sembuh. ’’Kami upayakan jaminan terbaik untuk peserta PPDS dan keluarga mereka,” ujarnya.

Direktur Utama RSUD dr Soetomo Dr dr Joni Wahyuhadi SpBS (K) menerangkan, jumlah pasien PPDS positif yang ditangani rumah sakit milik Pemprov Jatim itu hanya 12 orang. ’’Tidak benar 22 orang. Siapa yang menyebar informasi itu,’’ ucapnya, kemarin (20/6), menanggapi berita yang beredar sehari sebelumnya.

Para pasien, kata dia, sedang menjalani opname di ruang isolasi khusus (RIK) dengan pengawasan ketat. Pihaknya memastikan sudah dilakukan penanganan secara baik dan serius.  Dia tak tahu pasti di mana peserta PPDS itu terpapar. Saat ditanyai apakah di instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit, dia tak bisa menyimpulkan.

’’Belum tentu. Soalnya mereka praktik di tempat lain juga. Pindah-pindah. Tidak hanya di IGD. Ada juga yang di ruang isolasi khusus (RIK),’’ tuturnya. Kasus pertama dokter residen terkonfirmasi Covid-19 pada Maret lalu. ’’Setelah itu dilakukan pengecekan dan hasilnya muncul 12 orang ini,’’ ungkap dia.  

Kasus itu membuat rumah sakit terus mengecek nakes lain yang berkontak dengan mereka. ’’Tujuannya, memastikan kondisi nakes baik-baik saja,’’ ucap Joni.

Kasus tersebut meningkatkan kewaspadaan pihak RS, khususnya di IGD. ’’Di sini kan kumpul jadi satu. Akhirnya, susah dideteksi mana pasien positif Covid-19 atau tidak. Kan harus menjalani pemeriksaan lab, baru diketahui,’’ tuturnya.

Banyaknya rujukan pasien suspect corona ke rumah sakit itu memberi pekerjaan rumah tersendiri. ’’Pernah dalam sehari sampai 39 pasien yang dirujuk ke sini. Dokter spesialis dan dokter PPDS itu ya kelabakan. Meskipun sudah pakai APD level tiga, rasa khawatir tetap ada,’’ ungkapnya.

Karena itu, Joni menginstruksi petugas di IGD untuk membatasi pasien Covid-19 hanya 10 orang sejak Jumat (19/6). Kemarin, ada empat pasien suspect yang masuk IGD dan sedang menjalani pemeriksaan lab. ’’Kamar kami sudah penuh,’’ ujarnya.

Baca Juga:  Warga Anggap Tentara Keluarga Sendiri

Dia meminta ke Pemprov Jatim untuk membuat ruangan baru bagi pasien Covid-19. ’’Disetujui dan sudah dikerjakan. Ada lima ruangan. Empat sudah selesai. Satu lagi Ahad depan rampung. Bed-nya mencapai 200 unit,’’ tutur Joni.

Setelah itu, direncanakan ada tambahan 30 bed di satu ruangan lagi. ’’Cuma masih dibahas. Yang penting, lima ruangan itu selesai dulu,’’ ucapnya. Ruangan tersebut diperlukan untuk meng-cover pasien yang membeludak. Dengan begitu, tidak ada lagi pasien yang duduk di selasar menunggu jadwal pemeriksaan. ’’Dengan kata lain, menekan persebaran. Salah satunya ke dokter PPDS itu,’’ ucap dia.

Ditanya soal kabar jam kerja peserta PPDS yang tinggi dan bisa praktik hingga 12 jam, dia menepis. Menurut dia, jam kerja sudah disesuaikan dengan pembimbing. ’’Yang lebih tahu masalah ini pembimbingnya. Yang perlu dicatat, peserta PPDS itu bukan staf. Tapi, statusnya seperti magang. Maka, yang paling mengerti soal sistem praktik itu pembimbingnya. Dokter spesialis senior,’’ ujar Joni. Sepengetahuan dia, peserta PPDS bekerja dengan shift dan memperhatikan kebutuhan.

Lantas, berapa peserta PPDS yang saat ini bertugas? Dia menyebut ada 1.800 orang. Tersebar di beberapa unit. Antara lain, IGD, unit spesialis toraks, virologi, bedah umum, penyakit dalam, bedah anak, dan penyakit baru menular. ’’Di IGD ada 10-an. Mereka biasanya bertukar-tukar sesuai dengan pembagian dari pembimbing,’’ katanya.

Saat bertugas, mereka mengenakan APD level tiga yang diganti tiga kali selama 12 jam. ’’Saat ini bahkan kegiatan mereka dibatasi enam jam. Khususnya yang bertugas di IGD. Itu dilakukan karena timbul kasus ini,’’ kata Kepala IGD RSUD dr Soetomo Instalasi Gawat Darurat dr IGB Adriahariastawa SpBA.

Dia menuturkan bahwa IGD merupakan tempat abu-abu karena semua berkumpul di sana. Apalagi, banyak rumah sakit yang merujuk pasien tanpa berkoordinasi lebih dulu. ’’Pasien diantar begitu saja. Masuk IGD. Dilayani dokter PPDS dan nakes lain. Intinya, kami tak bisa menolak pasien kan,’’ ungkapnya.

Hal itulah yang membuat dilematis. Perlu waktu untuk memeriksa pasien. Adria berharap pasien yang tidak darurat berobat ke fasilitas kesehatan lain dulu. Dengan begitu, yang darurat bisa tertangani lebih cepat. Terutama yang mendapat rujukan.

’’Kadang kan masyarakat awam datang saja. Ini yang buat pemeriksaan jadi lama. Sementara kita tidak tahu apakah dia positif atau tidak. Kalau positif kan bahaya, padahal uji lab belum keluar,’’ tambahnya.

Di sinilah lemahnya penanganan Covid-19 yang dilihat Adria. Dia menyebutkan, seharusnya ada rumah sakit khusus yang menangani kasus itu seperti di Jakarta. Dengan begitu, penanganan pasien bisa maksimal. ’’Dokter PPDS dan nakes lain bisa lebih fokus dan energi pelayanan lebih terarah,’’ tuturnya.

Sebagai rumah sakit rujukan utama di Jawa Timur secara khusus, RSUD dr Soetomo tidak menangani pasien Covid-19 saja. ’’Dan itu campur di IGD. Kan deteksinya susah,’’ ujar Adria.

Sementara itu, Covid-19 kembali membawa korban nakes. Perawat  RSUD Sidoarjo bernama Sri Agustin meninggal dunia Sabtu (20/6)  dini hari pada usia 41 tahun.(gal/jar/uzi/c7/ayi/das)

Laporan JPG, Surabaya

 

(RIAUPOS.CO) – Setidaknya tiga peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) RSUD dr Soetomo sedang terbaring di rumah sakit tersebut saat ini. Dua di antaranya menggunakan alat bantu napas atau ventilator. Berdasar data internal yang dihimpun Jawa Pos (JPG) terhitung sejak Maret sampai Sabtu (20/6) malam, tercatat ada 41 peserta PPDS yang terkonfirmasi Covid-19.

Bahkan, satu di antaranya meninggal pada Rabu (10/6), yakni Miftah Fawzy Sarengat, dokter PPDS penyakit dalam FK Universitas Airlangga (Unair). Sementara itu, 13 orang lainnya sudah sembuh dan sisanya dalam tahap pemulihan.

- Advertisement -

Tidak ada yang mengetahui pasti dokter-dokter itu tertular dari mana. Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab. Bisa dari pasien yang datang ke rumah sakit, rekan sesama tenaga medis, lingkungan rumah, hingga lingkar sosialnya.  

Namun, satu yang pasti, para dokter yang sebenarnya berstatus dalam pendidikan itu mendapatkan beban kerja yang kerap berlebihan sehingga membuat kondisi mereka sering tak fit. Selain itu, masalah ketersediaan alat pelindung diri (APD) yang mestinya menjadi hal vital untuk melindungi mereka ketika bertugas. ”APD ini yang tidak sepenuhnya didukung dengan baik,” papar seorang peserta PPDS RSUD dr Soetomo, sebut saja namanya Fajar.

- Advertisement -

Dia mengatakan, ada program studi yang tidak mendapatkan dukungan APD sama sekali, bahkan hingga saat ini. Fajar menyebut rekannya sesama peserta PPDS di prodi itu sempat melayangkan protes. Padahal, menurut dia, prodi itu memiliki risiko penularan Covid-19 yang sama besar dengan prodi lain.

Fajar juga menyebut kondisi IGD tidak optimal. Padahal, tempat itu sering menjadi rujukan pertama orang-orang yang memiliki gejala Covid-19. ’’IGD Soetomo ini alurnya kurang baik. Mulai skrining untuk pasien yang masuk hingga manajemen ruangannya,” paparnya.

Dia menyayangkan kondisi itu. Apalagi status RSUD dr Soetomo yang menjadi rumah sakit rujukan. Menurut Fajar, RSUD dr Soetomo mestinya bisa menjadi contoh hospital safety, baik dari segi desain ruangan maupun ketersediaan tenaga kesehatan (nakes).

Menurut Fajar, para petugas yang bekerja di IGD, termasuk peserta PPDS-nya, memiliki hak khusus menjalani tes swab. Namun, hal tersebut tidak bagi peserta PPDS di ruangan lain. ’’Pihak rumah sakit beralasan pendapatan mereka turun hingga 70 persen. Kalau semua di-swab, tidak cukup. Sehingga di luar IGD, hanya yang bergejala yang diperiksa,” katanya.

Menurut dia, itu adalah hal yang membahayakan. Bagaimana jika nakes yang bertugas tersebut menjadi orang tanpa gejala (OTG). Namun, karena tidak ada hak swab, nakes jadi tidak tahu kondisinya. Tetap menjalani kegiatan biasa, termasuk pulang ke keluarga. ”Yang seperti itu apakah tidak diperhitungkan ketika mengambil kebijakan?” tanyanya.

Kekecewaan itu sempat disuarakan. Apalagi saat pihak direksi RSUD dr Soetomo menyebut hanya 1-2 persen peserta PPDS yang terpapar. ’’Kami mengharapkan pendekatan kemanusiaan yang dipakai. Perlindungan nakes, terutama peserta PPDS, juga diperhatikan. Uang dan insentif, menurut kami, itu poin kecil saja. Kalau dokter PPDS akhirnya mogok kerja, apa kabar nasib pasien se-Jawa Timur? Kalau kami aman, bukannya pasien akan aman?” ungkapnya.

Poin keamanan tersebut menjadi ketakutan tersendiri bagi dokter PPDS. Bekerja jadi tidak tenang. Fajar mengibaratkan seperti menunggu giliran kena. ”Karena harus bekerja di ruangan yang tidak standar,” ujarnya.

Baca Juga:  Bertambah 13 Kasus Covid di Dumai

Persoalan itu bukannya tidak pernah dibahas. Fajar mengatakan, para peserta PPDS pernah diajak untuk bicara. Namun, hasilnya tidak memuaskan. Salah satu poin adalah bahasan ketika ada dokter PPDS yang meninggal dalam tugas.

Tidak ada insentif yang diberikan. Santunan hanya berlaku jika dokter PPDS tersebut memang benar-benar jaga di RIK. Besarannya maksimal Rp5 juta. Uang dukacita juga Rp5 juta.

Di sisi lain, Dekan FK Unair Prof Soetojo mengungkapkan soal kebutuhan APD bagi peserta PPDS sudah tersedia. Dia meyakinkan bahwa pihak RSUD dr Soetomo sudah memenuhi hal tersebut. ’’Sudah tersedia semua, apalagi bagi mereka yang menangani langsung Covid-19,” katanya.

Karena itu, pihaknya menganggap PPDS tidak perlu sampai menggalang APD dari publik. Menurut dia, FK Unair juga menerima banyak bantuan dari donatur. Soetojo menyebut bantuan itu didistribusikan ke rumah sakit yang membutuhkan, seperti RSUD dr Soetomo dan Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) Unair.

Mengenai peserta PPDS yang sedang terpapar Covid-19, pihaknya berupaya memberikan perawatan optimal hingga sembuh. ’’Kami upayakan jaminan terbaik untuk peserta PPDS dan keluarga mereka,” ujarnya.

Direktur Utama RSUD dr Soetomo Dr dr Joni Wahyuhadi SpBS (K) menerangkan, jumlah pasien PPDS positif yang ditangani rumah sakit milik Pemprov Jatim itu hanya 12 orang. ’’Tidak benar 22 orang. Siapa yang menyebar informasi itu,’’ ucapnya, kemarin (20/6), menanggapi berita yang beredar sehari sebelumnya.

Para pasien, kata dia, sedang menjalani opname di ruang isolasi khusus (RIK) dengan pengawasan ketat. Pihaknya memastikan sudah dilakukan penanganan secara baik dan serius.  Dia tak tahu pasti di mana peserta PPDS itu terpapar. Saat ditanyai apakah di instalasi gawat darurat (IGD) rumah sakit, dia tak bisa menyimpulkan.

’’Belum tentu. Soalnya mereka praktik di tempat lain juga. Pindah-pindah. Tidak hanya di IGD. Ada juga yang di ruang isolasi khusus (RIK),’’ tuturnya. Kasus pertama dokter residen terkonfirmasi Covid-19 pada Maret lalu. ’’Setelah itu dilakukan pengecekan dan hasilnya muncul 12 orang ini,’’ ungkap dia.  

Kasus itu membuat rumah sakit terus mengecek nakes lain yang berkontak dengan mereka. ’’Tujuannya, memastikan kondisi nakes baik-baik saja,’’ ucap Joni.

Kasus tersebut meningkatkan kewaspadaan pihak RS, khususnya di IGD. ’’Di sini kan kumpul jadi satu. Akhirnya, susah dideteksi mana pasien positif Covid-19 atau tidak. Kan harus menjalani pemeriksaan lab, baru diketahui,’’ tuturnya.

Banyaknya rujukan pasien suspect corona ke rumah sakit itu memberi pekerjaan rumah tersendiri. ’’Pernah dalam sehari sampai 39 pasien yang dirujuk ke sini. Dokter spesialis dan dokter PPDS itu ya kelabakan. Meskipun sudah pakai APD level tiga, rasa khawatir tetap ada,’’ ungkapnya.

Karena itu, Joni menginstruksi petugas di IGD untuk membatasi pasien Covid-19 hanya 10 orang sejak Jumat (19/6). Kemarin, ada empat pasien suspect yang masuk IGD dan sedang menjalani pemeriksaan lab. ’’Kamar kami sudah penuh,’’ ujarnya.

Baca Juga:  Ketua MUI Riau Tak Mendukung Rencana Kemenag

Dia meminta ke Pemprov Jatim untuk membuat ruangan baru bagi pasien Covid-19. ’’Disetujui dan sudah dikerjakan. Ada lima ruangan. Empat sudah selesai. Satu lagi Ahad depan rampung. Bed-nya mencapai 200 unit,’’ tutur Joni.

Setelah itu, direncanakan ada tambahan 30 bed di satu ruangan lagi. ’’Cuma masih dibahas. Yang penting, lima ruangan itu selesai dulu,’’ ucapnya. Ruangan tersebut diperlukan untuk meng-cover pasien yang membeludak. Dengan begitu, tidak ada lagi pasien yang duduk di selasar menunggu jadwal pemeriksaan. ’’Dengan kata lain, menekan persebaran. Salah satunya ke dokter PPDS itu,’’ ucap dia.

Ditanya soal kabar jam kerja peserta PPDS yang tinggi dan bisa praktik hingga 12 jam, dia menepis. Menurut dia, jam kerja sudah disesuaikan dengan pembimbing. ’’Yang lebih tahu masalah ini pembimbingnya. Yang perlu dicatat, peserta PPDS itu bukan staf. Tapi, statusnya seperti magang. Maka, yang paling mengerti soal sistem praktik itu pembimbingnya. Dokter spesialis senior,’’ ujar Joni. Sepengetahuan dia, peserta PPDS bekerja dengan shift dan memperhatikan kebutuhan.

Lantas, berapa peserta PPDS yang saat ini bertugas? Dia menyebut ada 1.800 orang. Tersebar di beberapa unit. Antara lain, IGD, unit spesialis toraks, virologi, bedah umum, penyakit dalam, bedah anak, dan penyakit baru menular. ’’Di IGD ada 10-an. Mereka biasanya bertukar-tukar sesuai dengan pembagian dari pembimbing,’’ katanya.

Saat bertugas, mereka mengenakan APD level tiga yang diganti tiga kali selama 12 jam. ’’Saat ini bahkan kegiatan mereka dibatasi enam jam. Khususnya yang bertugas di IGD. Itu dilakukan karena timbul kasus ini,’’ kata Kepala IGD RSUD dr Soetomo Instalasi Gawat Darurat dr IGB Adriahariastawa SpBA.

Dia menuturkan bahwa IGD merupakan tempat abu-abu karena semua berkumpul di sana. Apalagi, banyak rumah sakit yang merujuk pasien tanpa berkoordinasi lebih dulu. ’’Pasien diantar begitu saja. Masuk IGD. Dilayani dokter PPDS dan nakes lain. Intinya, kami tak bisa menolak pasien kan,’’ ungkapnya.

Hal itulah yang membuat dilematis. Perlu waktu untuk memeriksa pasien. Adria berharap pasien yang tidak darurat berobat ke fasilitas kesehatan lain dulu. Dengan begitu, yang darurat bisa tertangani lebih cepat. Terutama yang mendapat rujukan.

’’Kadang kan masyarakat awam datang saja. Ini yang buat pemeriksaan jadi lama. Sementara kita tidak tahu apakah dia positif atau tidak. Kalau positif kan bahaya, padahal uji lab belum keluar,’’ tambahnya.

Di sinilah lemahnya penanganan Covid-19 yang dilihat Adria. Dia menyebutkan, seharusnya ada rumah sakit khusus yang menangani kasus itu seperti di Jakarta. Dengan begitu, penanganan pasien bisa maksimal. ’’Dokter PPDS dan nakes lain bisa lebih fokus dan energi pelayanan lebih terarah,’’ tuturnya.

Sebagai rumah sakit rujukan utama di Jawa Timur secara khusus, RSUD dr Soetomo tidak menangani pasien Covid-19 saja. ’’Dan itu campur di IGD. Kan deteksinya susah,’’ ujar Adria.

Sementara itu, Covid-19 kembali membawa korban nakes. Perawat  RSUD Sidoarjo bernama Sri Agustin meninggal dunia Sabtu (20/6)  dini hari pada usia 41 tahun.(gal/jar/uzi/c7/ayi/das)

Laporan JPG, Surabaya

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari