MERANTI (RIAUPOS.CO) – Pagi di Dusun Tanah Merah selalu dibuka dengan keheningan yang khas. Kabut tipis menggantung di atas air telaga berwarna kemerahan, memantulkan bayangan pepohonan gambut yang mengelilinginya. Tak banyak yang menyangka, telaga yang kini ramai dikunjungi wisatawan itu dulunya hanyalah kolam air terbengkalai, kotor, sunyi, dan nyaris terlupakan.
Di tengah krisis global akibat pandemi Covid-19, saat banyak usaha pariwisata terpuruk dan aktivitas ekonomi melambat, sekelompok pemuda Desa Tanjung, Kecamatan Tebingtinggi Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, justru memilih melawan keadaan. Dengan semangat gotong royong dan keyakinan kuat, mereka berupaya menghidupkan Telaga Air Merah tanpa modal besar.
Pada awalnya, Telaga Air Merah hanyalah kolam penampungan air gambut yang lama tak difungsikan. Rumput liar tumbuh meninggi, air tampak keruh, dan tak banyak yang melihat potensi wisata di tempat tersebut. Namun, para pemuda desa memandang telaga itu dengan cara berbeda.
Setiap akhir pekan, mereka datang membawa peralatan seadanya, mulai dari parang hingga cangkul. Tidak ada upah atau janji keuntungan cepat. Yang ada hanyalah kerja bersama, tangan-tangan yang kotor oleh lumpur, serta tekad untuk menjaga aset desa.
Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) sekaligus pengurus BUMDes Desa Tanjung, Selamat Riyadi, mengenang masa-masa awal pengelolaan telaga tersebut dengan penuh kesan.
“Kami bekerja dengan niat dan keikhlasan. Kadang hanya minum air putih dan makan roti. Tapi kami yakin, tempat ini bisa hidup dan memberi manfaat,” ujarnya, Sabtu (27/12).
Rencana pembukaan Telaga Air Merah sebenarnya telah disusun sejak akhir 2019. Namun, pandemi Covid-19 datang lebih cepat dari perkiraan. Pembatasan aktivitas dan ketidakpastian ekonomi menjadi tantangan besar. Meski demikian, semangat para pemuda tidak surut. Pada Juni 2020, di tengah segala keterbatasan, Telaga Air Merah akhirnya dibuka secara sederhana tanpa seremoni.
Perlahan namun pasti, telaga tersebut mulai dikenal. Informasi menyebar dari mulut ke mulut dan melalui unggahan media sosial sederhana. Kini, pada musim libur sekolah, Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, Telaga Air Merah dipadati wisatawan. Dalam satu pekan, jumlah pengunjung bisa mencapai 2.000 hingga 2.500 orang.
Dampak ekonomi pun mulai terasa. Berdasarkan Musyawarah Pertanggungjawaban BUMDes tahun 2024, pengelolaan Telaga Air Merah mencatat pendapatan sebesar Rp129 juta dan menyumbang Pendapatan Asli Desa (PADes) Rp52 juta. Angka tersebut meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Bagi warga Dusun Tanah Merah, capaian itu bukan sekadar angka. Kehadiran telaga memberi sumber penghidupan baru. Sedikitnya tujuh kios makanan dan minuman kini berdiri di sekitar telaga, membantu perekonomian keluarga setempat.
Kepala Desa Tanjung, Muhammad Anas, menilai Telaga Air Merah sebagai contoh keberhasilan pengelolaan aset desa berbasis partisipasi masyarakat.
“Lahan ini dulu terbengkalai bertahun-tahun. Sekarang, berkat inisiatif pemuda dan dukungan warga, Telaga Air Merah menjadi sumber pendapatan desa sekaligus ruang rekreasi,” ujarnya.
Meski berkembang sebagai destinasi wisata, para pengelola sepakat menjaga keseimbangan alam. Sejak awal, Telaga Air Merah dikelola dengan prinsip ramah lingkungan. Kerja bakti rutin dilakukan, sampah dikelola terpisah, dan pembangunan wahana dibatasi agar tidak merusak ekosistem gambut.
“Setiap wahana dibangun tanpa pengerukan berlebihan dan tanpa penebangan pohon sembarangan,” tegas Selamat.
Papan edukasi lingkungan dipasang dan pengunjung diimbau menjaga kebersihan serta dilarang membuang sampah ke perairan telaga. Bagi pengelola, menjaga alam adalah syarat mutlak agar Telaga Air Merah tetap lestari.
Kini, lebih dari tujuh tahun sejak pertama kali dibersihkan dengan tangan kosong dan keyakinan sederhana, Telaga Air Merah menjelma menjadi simbol ketangguhan desa. Dari lahan yang nyaris dilupakan, harapan tumbuh dan dirawat bersama sebagai warisan bagi generasi mendatang. (wir)





