Minggu, 16 November 2025
spot_img

Waduk Surut Ekstrem, Kampung yang Hilang di PLTA Koto Panjang Muncul Lagi

KAMPAR (RIAUPOS.CO)Fenomena surut ekstrem yang melanda Waduk PLTA Koto Panjang tahun ini tidak sekadar soal cuaca atau teknis pembangkit listrik. Surutnya permukaan air hingga titik terendah justru mengungkap kembali jejak tujuh desa yang puluhan tahun lalu tenggelam demi pembangunan energi.

Dari dasar waduk yang kini mengering, tampak fondasi rumah, puing masjid, hingga sisa makam lama. Desa Tanjung Alai menjadi jejak yang paling jelas terlihat, seolah menghadirkan kembali suasana masa lalu yang lama hilang.

“Yang terlihat itu bekas rumah warga, fondasi masjid, bahkan kuburan yang dulu sudah dipindahkan. Sekarang muncul lagi,” ujar Julian, warga sekitar, Selasa (11/11).

Julian menyebut, dari tujuh desa yang ditenggelamkan—termasuk Pulau Gadang, Batu Bersurat, Kota Tuo, Pongkai, dan Muara Takus—jejak Desa Tanjung Alai tampak paling utuh. “Tiang-tiang rumah panggung masih kelihatan, terutama yang dari semen atau batu. Puingnya masih kuat,” tambahnya.

Baca Juga:  Rekapitulasi Pemilih di Kampar, Desember Tercatat 476.044 Pemilih

Di antara lumpur yang mengering, batang kayu besar dan pohon mati terlihat berdiri kaku. Ogi, warga lainnya, juga mengakui banyaknya tapak rumah yang tersisa. “Dulu fondasi dibangun tradisional seperti rumah lontiok. Bahan lain sudah rapuh, tapi batu-batunya masih kuat,” katanya.

Wilayah yang kini tampak berada di sekitar Desa Tanjung Alai dan dekat Batu Bersurat serta Lubuk Ogung. Warga mengingat kembali masa ketika sebagian besar penduduk Batu Bersurat harus direlokasi saat pembangunan waduk dimulai.

Kali ini, surutnya air disebut paling parah dan berlangsung lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya, sisa bangunan terlihat jauh lebih jelas dan dalam waktu lebih panjang.

Fenomena ini menarik perhatian warga yang datang untuk melihat langsung kampung lama yang muncul kembali. Bahkan, wisata dadakan mulai tumbuh. Dari Dermaga Gulamo, warga menyediakan perahu kecil bagi pengunjung dengan tarif Rp20.000–Rp30.000 per orang.

Baca Juga:  AH, Oknum Ketua Kopsa-M Ditetapkan Tersangka

“Sekarang ada paket wisata sampan. Banyak yang penasaran,” ujar Julian yang juga mengelola perahu wisata.

Meski belum dipromosikan secara masif, minat warga terus meningkat. Fenomena “kampung timbul” ini menjadi tontonan sekaligus ruang refleksi: tentang sejarah, pengorbanan, dan jejak kehidupan yang harus ditinggalkan demi pembangunan PLTA Koto Panjang.

Di antara fondasi yang retak dan tiang rumah tua yang kembali muncul, tersimpan cerita tentang orang-orang yang pernah hidup di sana—mereka yang meninggalkan tanah kelahirannya demi sebuah proyek besar. Kampung yang sempat hilang itu kini seakan bernapas lagi, mengingatkan bahwa di balik aliran listrik yang kita nikmati hari ini, ada kisah kehilangan dan ketabahan yang tak pernah benar-benar tenggelam.***

KAMPAR (RIAUPOS.CO)Fenomena surut ekstrem yang melanda Waduk PLTA Koto Panjang tahun ini tidak sekadar soal cuaca atau teknis pembangkit listrik. Surutnya permukaan air hingga titik terendah justru mengungkap kembali jejak tujuh desa yang puluhan tahun lalu tenggelam demi pembangunan energi.

Dari dasar waduk yang kini mengering, tampak fondasi rumah, puing masjid, hingga sisa makam lama. Desa Tanjung Alai menjadi jejak yang paling jelas terlihat, seolah menghadirkan kembali suasana masa lalu yang lama hilang.

“Yang terlihat itu bekas rumah warga, fondasi masjid, bahkan kuburan yang dulu sudah dipindahkan. Sekarang muncul lagi,” ujar Julian, warga sekitar, Selasa (11/11).

Julian menyebut, dari tujuh desa yang ditenggelamkan—termasuk Pulau Gadang, Batu Bersurat, Kota Tuo, Pongkai, dan Muara Takus—jejak Desa Tanjung Alai tampak paling utuh. “Tiang-tiang rumah panggung masih kelihatan, terutama yang dari semen atau batu. Puingnya masih kuat,” tambahnya.

Baca Juga:  Diskominfo Kabupaten Solok Bersama 50 Wartawan Berkunjung ke Riau Pos

Di antara lumpur yang mengering, batang kayu besar dan pohon mati terlihat berdiri kaku. Ogi, warga lainnya, juga mengakui banyaknya tapak rumah yang tersisa. “Dulu fondasi dibangun tradisional seperti rumah lontiok. Bahan lain sudah rapuh, tapi batu-batunya masih kuat,” katanya.

- Advertisement -

Wilayah yang kini tampak berada di sekitar Desa Tanjung Alai dan dekat Batu Bersurat serta Lubuk Ogung. Warga mengingat kembali masa ketika sebagian besar penduduk Batu Bersurat harus direlokasi saat pembangunan waduk dimulai.

Kali ini, surutnya air disebut paling parah dan berlangsung lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya, sisa bangunan terlihat jauh lebih jelas dan dalam waktu lebih panjang.

- Advertisement -

Fenomena ini menarik perhatian warga yang datang untuk melihat langsung kampung lama yang muncul kembali. Bahkan, wisata dadakan mulai tumbuh. Dari Dermaga Gulamo, warga menyediakan perahu kecil bagi pengunjung dengan tarif Rp20.000–Rp30.000 per orang.

Baca Juga:  Kampar Gelar Vaksinasi Keluarga 20 Hari ke Depan

“Sekarang ada paket wisata sampan. Banyak yang penasaran,” ujar Julian yang juga mengelola perahu wisata.

Meski belum dipromosikan secara masif, minat warga terus meningkat. Fenomena “kampung timbul” ini menjadi tontonan sekaligus ruang refleksi: tentang sejarah, pengorbanan, dan jejak kehidupan yang harus ditinggalkan demi pembangunan PLTA Koto Panjang.

Di antara fondasi yang retak dan tiang rumah tua yang kembali muncul, tersimpan cerita tentang orang-orang yang pernah hidup di sana—mereka yang meninggalkan tanah kelahirannya demi sebuah proyek besar. Kampung yang sempat hilang itu kini seakan bernapas lagi, mengingatkan bahwa di balik aliran listrik yang kita nikmati hari ini, ada kisah kehilangan dan ketabahan yang tak pernah benar-benar tenggelam.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

KAMPAR (RIAUPOS.CO)Fenomena surut ekstrem yang melanda Waduk PLTA Koto Panjang tahun ini tidak sekadar soal cuaca atau teknis pembangkit listrik. Surutnya permukaan air hingga titik terendah justru mengungkap kembali jejak tujuh desa yang puluhan tahun lalu tenggelam demi pembangunan energi.

Dari dasar waduk yang kini mengering, tampak fondasi rumah, puing masjid, hingga sisa makam lama. Desa Tanjung Alai menjadi jejak yang paling jelas terlihat, seolah menghadirkan kembali suasana masa lalu yang lama hilang.

“Yang terlihat itu bekas rumah warga, fondasi masjid, bahkan kuburan yang dulu sudah dipindahkan. Sekarang muncul lagi,” ujar Julian, warga sekitar, Selasa (11/11).

Julian menyebut, dari tujuh desa yang ditenggelamkan—termasuk Pulau Gadang, Batu Bersurat, Kota Tuo, Pongkai, dan Muara Takus—jejak Desa Tanjung Alai tampak paling utuh. “Tiang-tiang rumah panggung masih kelihatan, terutama yang dari semen atau batu. Puingnya masih kuat,” tambahnya.

Baca Juga:  Nasib Naas Pencuri Ponsel, Berakhir di Jeruji Besi Polsek Tapung

Di antara lumpur yang mengering, batang kayu besar dan pohon mati terlihat berdiri kaku. Ogi, warga lainnya, juga mengakui banyaknya tapak rumah yang tersisa. “Dulu fondasi dibangun tradisional seperti rumah lontiok. Bahan lain sudah rapuh, tapi batu-batunya masih kuat,” katanya.

Wilayah yang kini tampak berada di sekitar Desa Tanjung Alai dan dekat Batu Bersurat serta Lubuk Ogung. Warga mengingat kembali masa ketika sebagian besar penduduk Batu Bersurat harus direlokasi saat pembangunan waduk dimulai.

Kali ini, surutnya air disebut paling parah dan berlangsung lebih lama dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dampaknya, sisa bangunan terlihat jauh lebih jelas dan dalam waktu lebih panjang.

Fenomena ini menarik perhatian warga yang datang untuk melihat langsung kampung lama yang muncul kembali. Bahkan, wisata dadakan mulai tumbuh. Dari Dermaga Gulamo, warga menyediakan perahu kecil bagi pengunjung dengan tarif Rp20.000–Rp30.000 per orang.

Baca Juga:  Rekapitulasi Pemilih di Kampar, Desember Tercatat 476.044 Pemilih

“Sekarang ada paket wisata sampan. Banyak yang penasaran,” ujar Julian yang juga mengelola perahu wisata.

Meski belum dipromosikan secara masif, minat warga terus meningkat. Fenomena “kampung timbul” ini menjadi tontonan sekaligus ruang refleksi: tentang sejarah, pengorbanan, dan jejak kehidupan yang harus ditinggalkan demi pembangunan PLTA Koto Panjang.

Di antara fondasi yang retak dan tiang rumah tua yang kembali muncul, tersimpan cerita tentang orang-orang yang pernah hidup di sana—mereka yang meninggalkan tanah kelahirannya demi sebuah proyek besar. Kampung yang sempat hilang itu kini seakan bernapas lagi, mengingatkan bahwa di balik aliran listrik yang kita nikmati hari ini, ada kisah kehilangan dan ketabahan yang tak pernah benar-benar tenggelam.***

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari