Minggu, 16 November 2025
spot_img

FORUM GURU: Yusparizal MPd

Elastisitas Otak dan Konsep Mengajar

Mengajar dan mendidik adalah tugas utama seorang guru. Transfer ilmu haruslah berbarengan dengan proses pendidikan perilaku agar peserta didik menjadi insan yang berbudi pekerti luhur. Namun demikian, fakta di lapangan yang dialami oleh guru tidaklah se-ideal yang diwacanakan. Fakta di lapangan yang dihadapi oleh guru sangat bervariasi. Ada siswa yang mudah menangis, ada siswa yang mudah melawan kepada guru, ada siswa yang acuh tak acuh dengan pelajaran yang diajarkan, dan ada pula siswa yang sangat serius mengikuti proses pembelajaran.

Siswa yang dengan serius mengikuti pembelajaran, tentulah tidak sulit untuk mendidik dan mentransfer ilmu kepada peserta didik tersebut. Namun yang membutuhkan tantangan adalah siswa yang hari ini diajarkan materi A, esoknya saat ditanya sudah lupa. Siswa yang hari ini diingatkan untuk antri saat mengambil makan siang di kantin, esoknya sudah tidak antri lagi. Siswa yang hari ini diajarkan bagaimana memegang mikrofon dengan benar saat menjadi pembawa acara, diajarkan agar bersuara nyaring dengan artikulasi yang jelas, esoknya sudah salah lagi. Inilah yang terkadang menjadi tantangan tertentu untuk guru. Hal seperti inilah yang membutuhkan kesabaran ekstra seorang guru.

Baca Juga:  Mahasiswa UHTP Buktikan Kualitasnya di Ajang INSCO 2025, Raih Juara Wilayah Sumatera

Kesabaran guru untuk menghadapi hal-hal yang dijelaskan diatas sangat terbantu dengan dicetuskannya teori elastisitas otak oleh Dr Lara Boyd (2015) seorang peneliti tentang otak di Universitas British Columbia, Kanada. Lara Boyd menjelaskan bahwa otak manusia itu elastis tergantung pada perlakuan kepada otak tersebut. Hal ini dirangkum oleh Lara Boyd kedalam tiga poin penting. Poin pertama adalah bahwa apa pun yang dibaca, dilihat, dan didengar oleh seorang anak akan memengaruhi otaknya. Artinya apabila yang dibacanya itu baik, yang dilihatnya itu baik, dan yang didengarnya itu baik, maka otak anak tersebut akan menjadi baik. Efeknya adalah anak tersebut akan menjadi anak yang baik.

Poin yang kedua, kebiasaan yang dilakukan oleh seorang anak akan membentuk otak mereka. Artinya apabila kebiasaan anak tersebut baik, maka otaknya akan terbentuk dengan baik. Sebagai konsekuensinya anak akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila kebiasaan anak tersebut buruk, maka otaknya akan terbentuk menjadi buruk. Akibatnya anak akan menjadi nakal dan susah diatur. Itulah kenapa, anak didik tidak cukup diajari sekali saja. Harus berkali-kali. Seorang guru tidak boleh berharap siswanya langsung bisa hanya dengan satu pertemuan proses pembelajaran. Tidak bisa. Harus berkali-kali sampai ilmu pengetahuan itu akhirnya lengket di otak anak. Dan jika itu pendidikan karakter, harus berkali-kali diingatkan dan dinasehati hingga akhirnya itu menjadi kebiasaan anak.

Baca Juga:  Tim Pengabdian dan Mahasiswa FMIPA Unri Sosialisasikan Pembuatan Mini Biopori

Poin yang ketiga adalah bahwa berlatih merupakan cara terbaik untuk mengasah keterampilan. Dengan latihan secara terus menerus, otak anak akan terlatih, kinestetik anak akan terlatih, dan ini akan mengantarkan anak terampil dalam keterampilan tertentu. Efek sebaliknya adalah, apabila jarang dilatihkan, maka keterampilan tersebut akan berangsur hilang. Contoh kecil adalah seorang atlet taekwondo yang bisa melakukan split. Apabila sudah bertahun-tahun tidak latihan, maka otomatis dia tidak akan bisa melakukan split lagi. Hal yang sama terhadap anak. Apabila guru mengajar senam misalnya, guru harus sabar melatih anak didik. Berlatih lagi dan lagi sampai akhirnya anak tersebut mahir.***

 

Yusparizal MPd, Guru Bahasa Inggris SMP Al Ulum Islamic School Pekanbaru.
————————

 

Mengajar dan mendidik adalah tugas utama seorang guru. Transfer ilmu haruslah berbarengan dengan proses pendidikan perilaku agar peserta didik menjadi insan yang berbudi pekerti luhur. Namun demikian, fakta di lapangan yang dialami oleh guru tidaklah se-ideal yang diwacanakan. Fakta di lapangan yang dihadapi oleh guru sangat bervariasi. Ada siswa yang mudah menangis, ada siswa yang mudah melawan kepada guru, ada siswa yang acuh tak acuh dengan pelajaran yang diajarkan, dan ada pula siswa yang sangat serius mengikuti proses pembelajaran.

Siswa yang dengan serius mengikuti pembelajaran, tentulah tidak sulit untuk mendidik dan mentransfer ilmu kepada peserta didik tersebut. Namun yang membutuhkan tantangan adalah siswa yang hari ini diajarkan materi A, esoknya saat ditanya sudah lupa. Siswa yang hari ini diingatkan untuk antri saat mengambil makan siang di kantin, esoknya sudah tidak antri lagi. Siswa yang hari ini diajarkan bagaimana memegang mikrofon dengan benar saat menjadi pembawa acara, diajarkan agar bersuara nyaring dengan artikulasi yang jelas, esoknya sudah salah lagi. Inilah yang terkadang menjadi tantangan tertentu untuk guru. Hal seperti inilah yang membutuhkan kesabaran ekstra seorang guru.

Baca Juga:  Pendidikan Kimia Unri Ajak Generasi Muda Cinta Lingkungan di Desa Kijang Makmur

Kesabaran guru untuk menghadapi hal-hal yang dijelaskan diatas sangat terbantu dengan dicetuskannya teori elastisitas otak oleh Dr Lara Boyd (2015) seorang peneliti tentang otak di Universitas British Columbia, Kanada. Lara Boyd menjelaskan bahwa otak manusia itu elastis tergantung pada perlakuan kepada otak tersebut. Hal ini dirangkum oleh Lara Boyd kedalam tiga poin penting. Poin pertama adalah bahwa apa pun yang dibaca, dilihat, dan didengar oleh seorang anak akan memengaruhi otaknya. Artinya apabila yang dibacanya itu baik, yang dilihatnya itu baik, dan yang didengarnya itu baik, maka otak anak tersebut akan menjadi baik. Efeknya adalah anak tersebut akan menjadi anak yang baik.

Poin yang kedua, kebiasaan yang dilakukan oleh seorang anak akan membentuk otak mereka. Artinya apabila kebiasaan anak tersebut baik, maka otaknya akan terbentuk dengan baik. Sebagai konsekuensinya anak akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila kebiasaan anak tersebut buruk, maka otaknya akan terbentuk menjadi buruk. Akibatnya anak akan menjadi nakal dan susah diatur. Itulah kenapa, anak didik tidak cukup diajari sekali saja. Harus berkali-kali. Seorang guru tidak boleh berharap siswanya langsung bisa hanya dengan satu pertemuan proses pembelajaran. Tidak bisa. Harus berkali-kali sampai ilmu pengetahuan itu akhirnya lengket di otak anak. Dan jika itu pendidikan karakter, harus berkali-kali diingatkan dan dinasehati hingga akhirnya itu menjadi kebiasaan anak.

Baca Juga:  PIAUD FAI UIR Raih Akreditasi Baik Sekali

Poin yang ketiga adalah bahwa berlatih merupakan cara terbaik untuk mengasah keterampilan. Dengan latihan secara terus menerus, otak anak akan terlatih, kinestetik anak akan terlatih, dan ini akan mengantarkan anak terampil dalam keterampilan tertentu. Efek sebaliknya adalah, apabila jarang dilatihkan, maka keterampilan tersebut akan berangsur hilang. Contoh kecil adalah seorang atlet taekwondo yang bisa melakukan split. Apabila sudah bertahun-tahun tidak latihan, maka otomatis dia tidak akan bisa melakukan split lagi. Hal yang sama terhadap anak. Apabila guru mengajar senam misalnya, guru harus sabar melatih anak didik. Berlatih lagi dan lagi sampai akhirnya anak tersebut mahir.***

- Advertisement -

 

Yusparizal MPd, Guru Bahasa Inggris SMP Al Ulum Islamic School Pekanbaru.
————————

- Advertisement -

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

Mengajar dan mendidik adalah tugas utama seorang guru. Transfer ilmu haruslah berbarengan dengan proses pendidikan perilaku agar peserta didik menjadi insan yang berbudi pekerti luhur. Namun demikian, fakta di lapangan yang dialami oleh guru tidaklah se-ideal yang diwacanakan. Fakta di lapangan yang dihadapi oleh guru sangat bervariasi. Ada siswa yang mudah menangis, ada siswa yang mudah melawan kepada guru, ada siswa yang acuh tak acuh dengan pelajaran yang diajarkan, dan ada pula siswa yang sangat serius mengikuti proses pembelajaran.

Siswa yang dengan serius mengikuti pembelajaran, tentulah tidak sulit untuk mendidik dan mentransfer ilmu kepada peserta didik tersebut. Namun yang membutuhkan tantangan adalah siswa yang hari ini diajarkan materi A, esoknya saat ditanya sudah lupa. Siswa yang hari ini diingatkan untuk antri saat mengambil makan siang di kantin, esoknya sudah tidak antri lagi. Siswa yang hari ini diajarkan bagaimana memegang mikrofon dengan benar saat menjadi pembawa acara, diajarkan agar bersuara nyaring dengan artikulasi yang jelas, esoknya sudah salah lagi. Inilah yang terkadang menjadi tantangan tertentu untuk guru. Hal seperti inilah yang membutuhkan kesabaran ekstra seorang guru.

Baca Juga:  Kecerdasan Guru dalam Mengendalikan Diri dari Amarah

Kesabaran guru untuk menghadapi hal-hal yang dijelaskan diatas sangat terbantu dengan dicetuskannya teori elastisitas otak oleh Dr Lara Boyd (2015) seorang peneliti tentang otak di Universitas British Columbia, Kanada. Lara Boyd menjelaskan bahwa otak manusia itu elastis tergantung pada perlakuan kepada otak tersebut. Hal ini dirangkum oleh Lara Boyd kedalam tiga poin penting. Poin pertama adalah bahwa apa pun yang dibaca, dilihat, dan didengar oleh seorang anak akan memengaruhi otaknya. Artinya apabila yang dibacanya itu baik, yang dilihatnya itu baik, dan yang didengarnya itu baik, maka otak anak tersebut akan menjadi baik. Efeknya adalah anak tersebut akan menjadi anak yang baik.

Poin yang kedua, kebiasaan yang dilakukan oleh seorang anak akan membentuk otak mereka. Artinya apabila kebiasaan anak tersebut baik, maka otaknya akan terbentuk dengan baik. Sebagai konsekuensinya anak akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila kebiasaan anak tersebut buruk, maka otaknya akan terbentuk menjadi buruk. Akibatnya anak akan menjadi nakal dan susah diatur. Itulah kenapa, anak didik tidak cukup diajari sekali saja. Harus berkali-kali. Seorang guru tidak boleh berharap siswanya langsung bisa hanya dengan satu pertemuan proses pembelajaran. Tidak bisa. Harus berkali-kali sampai ilmu pengetahuan itu akhirnya lengket di otak anak. Dan jika itu pendidikan karakter, harus berkali-kali diingatkan dan dinasehati hingga akhirnya itu menjadi kebiasaan anak.

Baca Juga:  Umri Rayakan Milad ke-17 dengan Tasyakuran dan Santunan Anak Yatim di Hari Arafah

Poin yang ketiga adalah bahwa berlatih merupakan cara terbaik untuk mengasah keterampilan. Dengan latihan secara terus menerus, otak anak akan terlatih, kinestetik anak akan terlatih, dan ini akan mengantarkan anak terampil dalam keterampilan tertentu. Efek sebaliknya adalah, apabila jarang dilatihkan, maka keterampilan tersebut akan berangsur hilang. Contoh kecil adalah seorang atlet taekwondo yang bisa melakukan split. Apabila sudah bertahun-tahun tidak latihan, maka otomatis dia tidak akan bisa melakukan split lagi. Hal yang sama terhadap anak. Apabila guru mengajar senam misalnya, guru harus sabar melatih anak didik. Berlatih lagi dan lagi sampai akhirnya anak tersebut mahir.***

 

Yusparizal MPd, Guru Bahasa Inggris SMP Al Ulum Islamic School Pekanbaru.
————————

 

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari