Jumat, 19 September 2025
spot_img

Ekonom Minta Pemerintah Waspadai Praktik Predatory Pricing di Industri Ojol

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Polemik pembagian komisi ojek online (ojol) kembali memanas. Ribuan pengemudi turun ke jalan beberapa hari terakhir, menuntut keadilan soal besaran komisi yang dipotong aplikator.

Ekonom Syarkawi Rauf menilai pemerintah sebaiknya mempertahankan skema komisi 20 persen yang berlaku saat ini. Menurutnya, angka tersebut sudah memberi keseimbangan antara kepentingan aplikator, pengemudi, dan konsumen.

“Komisi 20 persen memberi ruang cukup bagi aplikator untuk meningkatkan mutu layanan sekaligus menjaga kesejahteraan driver,” ujar Syarkawi, Kamis (18/9).

Ia memperingatkan, jika komisi dipangkas menjadi 10 persen, risikonya justru berbahaya. Selain kualitas layanan bisa turun, ada kemungkinan muncul praktik predatory pricing atau banting harga demi menguasai pasar.

Baca Juga:  Apical Raih Lima Penghargaan di SBA Indonesia 2020/2021

“Predatory pricing memang bikin konsumen senang karena harga murah. Tapi jangka panjangnya berbahaya, pasar bisa jadi oligopoli yang dikuasai segelintir pemain besar, sementara driver dan pesaing justru dirugikan,” jelasnya.

Syarkawi menegaskan, regulasi transportasi online seharusnya tidak hanya fokus pada besaran komisi, tetapi juga bagaimana memastikan persaingan tetap sehat. Pemerintah diminta memperketat pengawasan agar perusahaan bermodal besar tidak memakai strategi “bakar uang” yang pada akhirnya merugikan mitra pengemudi.(jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Polemik pembagian komisi ojek online (ojol) kembali memanas. Ribuan pengemudi turun ke jalan beberapa hari terakhir, menuntut keadilan soal besaran komisi yang dipotong aplikator.

Ekonom Syarkawi Rauf menilai pemerintah sebaiknya mempertahankan skema komisi 20 persen yang berlaku saat ini. Menurutnya, angka tersebut sudah memberi keseimbangan antara kepentingan aplikator, pengemudi, dan konsumen.

“Komisi 20 persen memberi ruang cukup bagi aplikator untuk meningkatkan mutu layanan sekaligus menjaga kesejahteraan driver,” ujar Syarkawi, Kamis (18/9).

Ia memperingatkan, jika komisi dipangkas menjadi 10 persen, risikonya justru berbahaya. Selain kualitas layanan bisa turun, ada kemungkinan muncul praktik predatory pricing atau banting harga demi menguasai pasar.

Baca Juga:  Apical Raih Lima Penghargaan di SBA Indonesia 2020/2021

“Predatory pricing memang bikin konsumen senang karena harga murah. Tapi jangka panjangnya berbahaya, pasar bisa jadi oligopoli yang dikuasai segelintir pemain besar, sementara driver dan pesaing justru dirugikan,” jelasnya.

- Advertisement -

Syarkawi menegaskan, regulasi transportasi online seharusnya tidak hanya fokus pada besaran komisi, tetapi juga bagaimana memastikan persaingan tetap sehat. Pemerintah diminta memperketat pengawasan agar perusahaan bermodal besar tidak memakai strategi “bakar uang” yang pada akhirnya merugikan mitra pengemudi.(jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Polemik pembagian komisi ojek online (ojol) kembali memanas. Ribuan pengemudi turun ke jalan beberapa hari terakhir, menuntut keadilan soal besaran komisi yang dipotong aplikator.

Ekonom Syarkawi Rauf menilai pemerintah sebaiknya mempertahankan skema komisi 20 persen yang berlaku saat ini. Menurutnya, angka tersebut sudah memberi keseimbangan antara kepentingan aplikator, pengemudi, dan konsumen.

“Komisi 20 persen memberi ruang cukup bagi aplikator untuk meningkatkan mutu layanan sekaligus menjaga kesejahteraan driver,” ujar Syarkawi, Kamis (18/9).

Ia memperingatkan, jika komisi dipangkas menjadi 10 persen, risikonya justru berbahaya. Selain kualitas layanan bisa turun, ada kemungkinan muncul praktik predatory pricing atau banting harga demi menguasai pasar.

Baca Juga:  Apical Raih Lima Penghargaan di SBA Indonesia 2020/2021

“Predatory pricing memang bikin konsumen senang karena harga murah. Tapi jangka panjangnya berbahaya, pasar bisa jadi oligopoli yang dikuasai segelintir pemain besar, sementara driver dan pesaing justru dirugikan,” jelasnya.

Syarkawi menegaskan, regulasi transportasi online seharusnya tidak hanya fokus pada besaran komisi, tetapi juga bagaimana memastikan persaingan tetap sehat. Pemerintah diminta memperketat pengawasan agar perusahaan bermodal besar tidak memakai strategi “bakar uang” yang pada akhirnya merugikan mitra pengemudi.(jpg)

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari