Jumat, 22 November 2024
spot_img

Melihat Novel Terbaru Ahmad Ijazi dan Proses Kreatifnya

Membangkitkan Dunia Novel Riau yang Redup

Di tengah musim kering penerbitan novel Riau, Ahmad Ijazi Hasbullah berhasil masuk dalam daftar pemenang lomba novel tingkat nasional. Sebuah pencapaian dari penulis produktif menulis sejak SMA ini.

RIAUPOS.CO – DUNIA penulisan novel sastra Riau masih mengalami musim kering. Dari tahun ke tahun, tak banyak karya yang lahir. Mungkin Naya R dan beberapa novelis populer yang terus melahirkan karyanya. Namun tidak untuk novel sastra yang lebih serius. Untungnya, pertengahan 2004 ini, salah satu penulis yang cuku produktif, Ahmad Ijazi Hasbullah, berhasil menerbitkan novelnya, Cahaya yang Menjadi Cahaya. Meski setting-nya tidak di Riau, yakni di Papua Pegunungan, namun cukup menjelaskan bahwa masih ada penulis Riau yang menulis novel di tengah cahaya yang meredup.

Menurut Ijazi, novel tersebut ditulisnya tahun 2022 selama 22 hari saat bulan Ramadan yang dikembangkan dari salah satu cerpennya. Lalu, pada akhir 2023, novel tersebut diikutkan dalam lomba novel tingkat nasional yang diadakan penerbit Basabasi, Yogyakarta. Meski tidak menjadi juara pertama, novel itu menjadi salah satu pemenang dan diterbitkan oleh penerbit tersebut.

Dijelaskan Ijazi, novel itu menceritakan tentang Cahaya yang berasal dari Ternate, Maluku Utara, dan harus pindah sekolah ke SD Inpres di pedalaman Jiwika, Papua Pegunungan. Di sekolah itu, Cahaya berkenalan dengan Emille dan Jessy yang tidak pandai membaca. Hanya Bapa Taito yang menjadi guru di sekolah itu, mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6.

Suatu hari, Cahaya mengunjungi honai Emille sepulang sekolah. Di honai itu, Cahaya dipertemukan dengan Mama Janne dan Tante Serra yang pandai merajut noken. Cahaya merasa sangat bahagia saat berjumpa dengan Bapa Yose yang baik hati. Namun, saat akan kembali pulang, Cahaya melihat sebuah ebei yang dibangun menyendiri. Ternyata ebei itu adalah kediaman Jessy dan mamanya yang mengalami gangguan jiwa. Kedua kaki Mama Jessy dipasung dengan kedua tangannya menggenggam erat sebuah tabung bambu antik. Tak jauh dari kediaman Jessy, ada tanah lapang tempat anak-anak bermain. Di tanah lapang itu ada bekas honai yang sudah lapuk. Namun, keceriaan mereka bermain tiba-tiba berubah menjadi ketakutan teramat sangat saat sebilah anak panah melesat menembus dinding honai lapuk itu.

Secara garis besar novel ini menceritakan tentang penderitaan masyarakat di pedalaman Papua yang kesulitan mendapatkan pendidikan, secara ekonomi sangat minim, dan kehidupan sosial yang tidak baik-baik saja. Secara khusus bercerita tentang perjuangan Jessy, seorang anak yang harus mengurus ibunya yang mengalami gangguan jiwa yang dijauhkan dari keluarga dan masyarakatnya. Sebagai pendatang, Cahaya menjadi bagian penting dari keseluruhan cerita.

“Saya sangat senang dengan keberhasilan novel ini menjadi salah satu pemenang dalam lomba novel Basabasi. Ini adalah kemenangan pertama saya dalam lomba menulis novel di tingkat nasional. Sebelumnya lebih banyak memenangkan pada lomba menulis cerpen dan puisi,” kata Ijazi kepada Riau Pos, Jumat (18/10/2024).

Ijazi patut berbangga karena novelnya masuk dalam daftar juara dalam lomba yang diikuti oleh lebih dari 200 naskah novel dari seluruh Indonesia dan dinilai oleh editor Basabasi, Reza Nufa. Tema lomba itu adalah cerita tentang psikologi, dunia dalam kegelapan para tokohnya. Ijazi tidak mendapatkan informasi berapa eksemplar novel tersebut dicetak dan berapa yang sudah terjual hingga saat ini. Namun dia merasa senang karena bisa menerbitkan novel serius saat ini setelah salah satu novel pentingnya, Metafora dan Alegori, masuk dalam daftar pemenang Ganti Award Riau tahun 2008. Saat itu usianya masih 19 tahun.

Baca Juga:  Mengekspresikan Epos dalam Karya Rupa

Diceritakannya, Ijazi mulai menulis sejak usia sekolah dasar. Waktu itu dia suka menulis puisi dan dongeng anak di buku tulis dan dibuatnya ilustrasi sendiri. Karya pertamanya yang dibukukan berjudul Tanjung Sari, pemenang 3 sayembara menulis cerita rakyat tahun 2006. Waktu itu dia masih duduk di bangku SMA. Novel pertama yang ditulis adalah Metafora dan Alegori yang menjadi pemenang harapan Ganti Award 2008.

 

Meski terlahir bukan dari keluarga penulis, namun Ijazi mengaku bahwa keluarganya memiliki hobi yang sama, yakni membaca buku. “Kami sekeluarga punya hobi yang sama, yaitu membaca. Ini yang membuat saya akhirnya belajar menulis hingga seperti sekarang,” ujar lelaki kelahiran Kuala Cinaku, Rengat, Indragiri Hulu, pada 25 Agustus 1988, ini.

Proses krekatifnya berawal dari kegemaran membaca cerpen dan dongeng anak, terutama yang ada di majalah Bobo. Pada awalnya dia belajar menulis secara otodidak sampai akhirnya bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) saat kuliah di Pekanbaru. Dari komunitas inilah Ijazi akhirnya semakin terlatih menulis dan terpacu untuk mengikuti banyak lomba. Untuk penulis Riau, dia suka karya-karya novelis dan cerpenis Olyrinson. Dari karya-karya Olyrinson, Ijazi banyak belajar menulis prosa yang baik, terutama cerpen dan novel. Untuk puisi, dia banyak belajar dari membaca karya Taufik Ikram Jamil dan Marhalim Zaini.

Dalam menulis, anak dari pasangan Hasbullah –yang dipakainya untuk nama belakangnya— dan Saudah ini mengaku bahwa motivasi dia menulis adalah untuk mengukur sampai sebatas mana dia bisa menghasilkan karya yang baik dan bermutu. Dia juga berharap karya yang dihasilkannya bisa memberikan pencerahan kepada pembacanya. Dia tidak terlalu mengejar ketenaran, apalagi kemapanan secara finansial. Menurutnya, itu adalah bonus.

“Bagi saya menulis adalah bentuk hiburan yang bisa saya lakukan saat senggang. Sekarang saya lebih banyak berfokus pada pekerjaan, pendidikan anak-anak saya, dan keluarga tercinta,” kata Ijazi lagi.

Selain menulis di waktu senggang –kecuali saat mengejar deadline untuk lomba– fokus Ijazi adalah ke pekerjaannya di bindang pendidikan. Saat ini dia mengajar di dua sekolah yang berbeda dengan jadwal yang kucup padat. Yang menarik, katanya, kesempatan menulis dilakukan ketika ada waktu senggang, biasanya pukul 00.00 WIB hingga menjelang azan Subuh berkumandang.

Bersama Sugiarti atau Nafi’ah al-Ma’rab, Ahmad Ijazi adalah penulis dari FLP Riau yang mampu bersaing dan terlihat dalam dunia sastra Riau maupun nasional. Karya keduanya kerap tembus media nasional, atau diterbitkan beberapa penerbit mayor. Ijazi sendiri selama ini dianggap sebagai salah satu penulis jagoan lomba asal Riau. Novel Cahaya yang Menjadi Cahaya adalah salah satu buktinya. Di tingkat Riau, dia sering juara dalam berbagai iven yang diselenggarakan Dewan Kesenian Riau (DKR).

Baca Juga:  Memaknai Peribahasa dan Perjalanan Kepenyairan

Ijazi tercatat juga dua kali juara 1 lomba menulis cerpen Festival Sastra Sungai Jantan, Kabupaten Siak. Secara internasional, salah satu cerpennya, yakni “Ontuo Terkubur Tanah Rantau” menjadi pemenang sayembara menulis cerpen majalah Sastra Melayu, Singapura, tahun 2024.

Ijazi berharap dia bisa terus menulis dan menghasilkan karya yang baik meski menulis bukan pekerjaan utamanya. “Saya senang bisa melakukannya hingga sejauh ini,” katanya, mengakhiri.***

 

DAFTAR KARYA PEMENANG LOMBA
“Ontuo Terkubur Tanah Rantau” pemenang sayembara menulis cerpen majalah Sastra Melayu Singapura 2024
Cahaya yang Menjadi Cahaya, Juara harapan 3 sayembara novela BasaBasi 2024.
Juara 3 cipta pantun laman sastra DKR 2024

“Cinta untuk Kesultanan Siak Sri Indrapura”, juara 1 lomba menulis cerpen Festival Sastra Sungai Jantan 2023

Salim dan Ligu, pemenang lomba menulis buku Dwi Bahasa Balai Bahasa Riau 2023

Nandung Serunai, pemenang lomba menulis buku berbahasa Melayu Balai Bahasa Riau 2023

“Penyigi Dendang Nolam” Juara 1 lomba menulis puisi Komunitas Riau Sastra 2022

Tepak Sirih Bertuah, juara harapan naskah drama DKR 2022

“Cita-Cita Elliyah”, juara 2 lomba menulis skenario film pendek nasional LSBPI-MUI 2022

“Medali Burung Garuda”, juara 1 lomba cerpen nasional “Membumikan Nilai-nilai Pancasila” UNM 2021

“Kupu-Kupu Penjual Apel Merah”, pemenang 1 lomba cerpen nasional IG Dokter Rusli Zainudin 2021

 

“Pohon dan Raja Jeco”, pemenang harapan sayembara menulis Dongeng Alam Sehat Lestari (ASRI) 2021

“Pelajaran dari Desa Bahagia”, pemenang harapan sayembara menulis cerita anak Sayur Kendal 2021

“Cinta bagi Tanah Rahimmu”, pemenang harapan lomba menulis puisi Palestina Helvi Tiana Rosa 2021

“Menghidupkan Raja dari Kematian”, juara 2 lomba menulis Dongeng nasional SIP Publishing 2020

“Kisah dari Tanah Pasir”, Pemenang 2 lomba naskah drama Balai Bahasa Riau 2020

“Lukisan Pelangi yang Mengiringi Kematian”, pemenang 2 lomba cerpen nasional Dewan Kesenian Metro, Lampung 2020

Dodol Kedondong Raja, pemenang bahan bacaan listerasi tingkat sekolah dasar Balai Bahasa Riau 2019

Tarian Lukah Gilo, pemenang bahan bacaan literasi tingkat sekolah menengah Balai Bahasa Riau 2019

“Balian, Roh Leluhur yang Diundang”, pemenang 1 lomba cerpen Festival Sastra Sungai Jantan Siak 2019

“Windmolen Masih Berputar”, juara 2 lomba cerpen nasional Petani dan Dunia Pertanian Festival Tjimanuek Dewan Kesenian Indramayu 2018

Samsul Ali dan Cindaku, pemenang bahan bacaan listerasi tingkat sekolah dasar Balai Bahasa Riau 2018

Kisah Ritual Lubuk Larangan, pemenang bahan bacaan literasi tingkat sekolah menengah Balai Bahasa Riau 2018

“Danau Raja dan Putri Bunga Harum”, juara 1 sayembara cerita rakyat Balai Bahasa Riau 2017

“Suzanne Camlo dan Lelaki Renta dalam Mimpinya”, juara 3 sayembara menulis cerpen Kota-Kota Lama, Dewan Kesenian Semarang 2016.

“Pada Batas Tualang”, juara 1 lomba menulis puisi Wajah Indonesia FAM 2015.

 

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Di tengah musim kering penerbitan novel Riau, Ahmad Ijazi Hasbullah berhasil masuk dalam daftar pemenang lomba novel tingkat nasional. Sebuah pencapaian dari penulis produktif menulis sejak SMA ini.

RIAUPOS.CO – DUNIA penulisan novel sastra Riau masih mengalami musim kering. Dari tahun ke tahun, tak banyak karya yang lahir. Mungkin Naya R dan beberapa novelis populer yang terus melahirkan karyanya. Namun tidak untuk novel sastra yang lebih serius. Untungnya, pertengahan 2004 ini, salah satu penulis yang cuku produktif, Ahmad Ijazi Hasbullah, berhasil menerbitkan novelnya, Cahaya yang Menjadi Cahaya. Meski setting-nya tidak di Riau, yakni di Papua Pegunungan, namun cukup menjelaskan bahwa masih ada penulis Riau yang menulis novel di tengah cahaya yang meredup.

- Advertisement -

Menurut Ijazi, novel tersebut ditulisnya tahun 2022 selama 22 hari saat bulan Ramadan yang dikembangkan dari salah satu cerpennya. Lalu, pada akhir 2023, novel tersebut diikutkan dalam lomba novel tingkat nasional yang diadakan penerbit Basabasi, Yogyakarta. Meski tidak menjadi juara pertama, novel itu menjadi salah satu pemenang dan diterbitkan oleh penerbit tersebut.

Dijelaskan Ijazi, novel itu menceritakan tentang Cahaya yang berasal dari Ternate, Maluku Utara, dan harus pindah sekolah ke SD Inpres di pedalaman Jiwika, Papua Pegunungan. Di sekolah itu, Cahaya berkenalan dengan Emille dan Jessy yang tidak pandai membaca. Hanya Bapa Taito yang menjadi guru di sekolah itu, mengajar dari kelas 1 sampai kelas 6.

- Advertisement -

Suatu hari, Cahaya mengunjungi honai Emille sepulang sekolah. Di honai itu, Cahaya dipertemukan dengan Mama Janne dan Tante Serra yang pandai merajut noken. Cahaya merasa sangat bahagia saat berjumpa dengan Bapa Yose yang baik hati. Namun, saat akan kembali pulang, Cahaya melihat sebuah ebei yang dibangun menyendiri. Ternyata ebei itu adalah kediaman Jessy dan mamanya yang mengalami gangguan jiwa. Kedua kaki Mama Jessy dipasung dengan kedua tangannya menggenggam erat sebuah tabung bambu antik. Tak jauh dari kediaman Jessy, ada tanah lapang tempat anak-anak bermain. Di tanah lapang itu ada bekas honai yang sudah lapuk. Namun, keceriaan mereka bermain tiba-tiba berubah menjadi ketakutan teramat sangat saat sebilah anak panah melesat menembus dinding honai lapuk itu.

Secara garis besar novel ini menceritakan tentang penderitaan masyarakat di pedalaman Papua yang kesulitan mendapatkan pendidikan, secara ekonomi sangat minim, dan kehidupan sosial yang tidak baik-baik saja. Secara khusus bercerita tentang perjuangan Jessy, seorang anak yang harus mengurus ibunya yang mengalami gangguan jiwa yang dijauhkan dari keluarga dan masyarakatnya. Sebagai pendatang, Cahaya menjadi bagian penting dari keseluruhan cerita.

“Saya sangat senang dengan keberhasilan novel ini menjadi salah satu pemenang dalam lomba novel Basabasi. Ini adalah kemenangan pertama saya dalam lomba menulis novel di tingkat nasional. Sebelumnya lebih banyak memenangkan pada lomba menulis cerpen dan puisi,” kata Ijazi kepada Riau Pos, Jumat (18/10/2024).

Ijazi patut berbangga karena novelnya masuk dalam daftar juara dalam lomba yang diikuti oleh lebih dari 200 naskah novel dari seluruh Indonesia dan dinilai oleh editor Basabasi, Reza Nufa. Tema lomba itu adalah cerita tentang psikologi, dunia dalam kegelapan para tokohnya. Ijazi tidak mendapatkan informasi berapa eksemplar novel tersebut dicetak dan berapa yang sudah terjual hingga saat ini. Namun dia merasa senang karena bisa menerbitkan novel serius saat ini setelah salah satu novel pentingnya, Metafora dan Alegori, masuk dalam daftar pemenang Ganti Award Riau tahun 2008. Saat itu usianya masih 19 tahun.

Baca Juga:  Merawat Tradisi Silaturahmi dengan Aghi Ghayo Onam

Diceritakannya, Ijazi mulai menulis sejak usia sekolah dasar. Waktu itu dia suka menulis puisi dan dongeng anak di buku tulis dan dibuatnya ilustrasi sendiri. Karya pertamanya yang dibukukan berjudul Tanjung Sari, pemenang 3 sayembara menulis cerita rakyat tahun 2006. Waktu itu dia masih duduk di bangku SMA. Novel pertama yang ditulis adalah Metafora dan Alegori yang menjadi pemenang harapan Ganti Award 2008.

 

Meski terlahir bukan dari keluarga penulis, namun Ijazi mengaku bahwa keluarganya memiliki hobi yang sama, yakni membaca buku. “Kami sekeluarga punya hobi yang sama, yaitu membaca. Ini yang membuat saya akhirnya belajar menulis hingga seperti sekarang,” ujar lelaki kelahiran Kuala Cinaku, Rengat, Indragiri Hulu, pada 25 Agustus 1988, ini.

Proses krekatifnya berawal dari kegemaran membaca cerpen dan dongeng anak, terutama yang ada di majalah Bobo. Pada awalnya dia belajar menulis secara otodidak sampai akhirnya bergabung di Forum Lingkar Pena (FLP) saat kuliah di Pekanbaru. Dari komunitas inilah Ijazi akhirnya semakin terlatih menulis dan terpacu untuk mengikuti banyak lomba. Untuk penulis Riau, dia suka karya-karya novelis dan cerpenis Olyrinson. Dari karya-karya Olyrinson, Ijazi banyak belajar menulis prosa yang baik, terutama cerpen dan novel. Untuk puisi, dia banyak belajar dari membaca karya Taufik Ikram Jamil dan Marhalim Zaini.

Dalam menulis, anak dari pasangan Hasbullah –yang dipakainya untuk nama belakangnya— dan Saudah ini mengaku bahwa motivasi dia menulis adalah untuk mengukur sampai sebatas mana dia bisa menghasilkan karya yang baik dan bermutu. Dia juga berharap karya yang dihasilkannya bisa memberikan pencerahan kepada pembacanya. Dia tidak terlalu mengejar ketenaran, apalagi kemapanan secara finansial. Menurutnya, itu adalah bonus.

“Bagi saya menulis adalah bentuk hiburan yang bisa saya lakukan saat senggang. Sekarang saya lebih banyak berfokus pada pekerjaan, pendidikan anak-anak saya, dan keluarga tercinta,” kata Ijazi lagi.

Selain menulis di waktu senggang –kecuali saat mengejar deadline untuk lomba– fokus Ijazi adalah ke pekerjaannya di bindang pendidikan. Saat ini dia mengajar di dua sekolah yang berbeda dengan jadwal yang kucup padat. Yang menarik, katanya, kesempatan menulis dilakukan ketika ada waktu senggang, biasanya pukul 00.00 WIB hingga menjelang azan Subuh berkumandang.

Bersama Sugiarti atau Nafi’ah al-Ma’rab, Ahmad Ijazi adalah penulis dari FLP Riau yang mampu bersaing dan terlihat dalam dunia sastra Riau maupun nasional. Karya keduanya kerap tembus media nasional, atau diterbitkan beberapa penerbit mayor. Ijazi sendiri selama ini dianggap sebagai salah satu penulis jagoan lomba asal Riau. Novel Cahaya yang Menjadi Cahaya adalah salah satu buktinya. Di tingkat Riau, dia sering juara dalam berbagai iven yang diselenggarakan Dewan Kesenian Riau (DKR).

Baca Juga:  Festival Sastra Sungai Jantan (FSSJ) 2024, Memperkuat Eksistensi Sastra Siak

Ijazi tercatat juga dua kali juara 1 lomba menulis cerpen Festival Sastra Sungai Jantan, Kabupaten Siak. Secara internasional, salah satu cerpennya, yakni “Ontuo Terkubur Tanah Rantau” menjadi pemenang sayembara menulis cerpen majalah Sastra Melayu, Singapura, tahun 2024.

Ijazi berharap dia bisa terus menulis dan menghasilkan karya yang baik meski menulis bukan pekerjaan utamanya. “Saya senang bisa melakukannya hingga sejauh ini,” katanya, mengakhiri.***

 

DAFTAR KARYA PEMENANG LOMBA
“Ontuo Terkubur Tanah Rantau” pemenang sayembara menulis cerpen majalah Sastra Melayu Singapura 2024
Cahaya yang Menjadi Cahaya, Juara harapan 3 sayembara novela BasaBasi 2024.
Juara 3 cipta pantun laman sastra DKR 2024

“Cinta untuk Kesultanan Siak Sri Indrapura”, juara 1 lomba menulis cerpen Festival Sastra Sungai Jantan 2023

Salim dan Ligu, pemenang lomba menulis buku Dwi Bahasa Balai Bahasa Riau 2023

Nandung Serunai, pemenang lomba menulis buku berbahasa Melayu Balai Bahasa Riau 2023

“Penyigi Dendang Nolam” Juara 1 lomba menulis puisi Komunitas Riau Sastra 2022

Tepak Sirih Bertuah, juara harapan naskah drama DKR 2022

“Cita-Cita Elliyah”, juara 2 lomba menulis skenario film pendek nasional LSBPI-MUI 2022

“Medali Burung Garuda”, juara 1 lomba cerpen nasional “Membumikan Nilai-nilai Pancasila” UNM 2021

“Kupu-Kupu Penjual Apel Merah”, pemenang 1 lomba cerpen nasional IG Dokter Rusli Zainudin 2021

 

“Pohon dan Raja Jeco”, pemenang harapan sayembara menulis Dongeng Alam Sehat Lestari (ASRI) 2021

“Pelajaran dari Desa Bahagia”, pemenang harapan sayembara menulis cerita anak Sayur Kendal 2021

“Cinta bagi Tanah Rahimmu”, pemenang harapan lomba menulis puisi Palestina Helvi Tiana Rosa 2021

“Menghidupkan Raja dari Kematian”, juara 2 lomba menulis Dongeng nasional SIP Publishing 2020

“Kisah dari Tanah Pasir”, Pemenang 2 lomba naskah drama Balai Bahasa Riau 2020

“Lukisan Pelangi yang Mengiringi Kematian”, pemenang 2 lomba cerpen nasional Dewan Kesenian Metro, Lampung 2020

Dodol Kedondong Raja, pemenang bahan bacaan listerasi tingkat sekolah dasar Balai Bahasa Riau 2019

Tarian Lukah Gilo, pemenang bahan bacaan literasi tingkat sekolah menengah Balai Bahasa Riau 2019

“Balian, Roh Leluhur yang Diundang”, pemenang 1 lomba cerpen Festival Sastra Sungai Jantan Siak 2019

“Windmolen Masih Berputar”, juara 2 lomba cerpen nasional Petani dan Dunia Pertanian Festival Tjimanuek Dewan Kesenian Indramayu 2018

Samsul Ali dan Cindaku, pemenang bahan bacaan listerasi tingkat sekolah dasar Balai Bahasa Riau 2018

Kisah Ritual Lubuk Larangan, pemenang bahan bacaan literasi tingkat sekolah menengah Balai Bahasa Riau 2018

“Danau Raja dan Putri Bunga Harum”, juara 1 sayembara cerita rakyat Balai Bahasa Riau 2017

“Suzanne Camlo dan Lelaki Renta dalam Mimpinya”, juara 3 sayembara menulis cerpen Kota-Kota Lama, Dewan Kesenian Semarang 2016.

“Pada Batas Tualang”, juara 1 lomba menulis puisi Wajah Indonesia FAM 2015.

 

Laporan HARY B KORIUN, Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari