JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho menilai tindakan KPK dalam kasus suap komisioner KPU perlu dievaluasi. Pasalnya, ada potensi tindakan KPK dalam kasus tersebut melanggar ketentuan dalam undang-undang.
Dia menjelaskan, kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK harus sesuai dengan perintah UU KPK baru. Artinya, segala upaya paksa, baik penyadapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
"Dalam kasus OTT Komisioner KPU misalnya, yang diduga ikut melibatkan elite politik PDIP potensi untuk masuk ke praperadilan sangat tinggi. Terbukti ketika penyelidik KPK mendatangi kantor DPP PDIP tidak bisa menunjukkan surat izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK," ujar profesor hukum itu, Senin (13/1).
Hibnu mengingatkan, jika OTT ini digugat lewat mekanisme praperadilan, maka KPK harus mampu membuktikan bahwa tindakannya memenuhi syarat formil dan materiil. Salah satu contoh syarat formil tersebut adalah izin dari Dewan Pengawas KPK terkait penyadapan dan tindakan lainnya.
"Ketika KPK tidak bisa menunjukkan izin dari Dewan Pengawas dalam OTT yang dilakukan, maka penyadapan yang dilakukan berpotensi ilegal dan tidak sah secara hukum," ujar dia.
Dengan kondisi seperti ini, lanjut dia, KPK mesti mengevaluasi diri dalam aspek tata kelola manajemen. Hibnu juga meminta agar KPK menyerahkan kasus tangkap tangan dengan bukti di bawah Rp 1 miliar kepada penegak hukum yang lain, seperti Polri dan Kejaksaan Agung.
"Sebab, dalam UU yang baru KPK diminta aktif berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya," terang dia.
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal
JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman Hibnu Nugroho menilai tindakan KPK dalam kasus suap komisioner KPU perlu dievaluasi. Pasalnya, ada potensi tindakan KPK dalam kasus tersebut melanggar ketentuan dalam undang-undang.
Dia menjelaskan, kegiatan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK harus sesuai dengan perintah UU KPK baru. Artinya, segala upaya paksa, baik penyadapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti harus mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
- Advertisement -
"Dalam kasus OTT Komisioner KPU misalnya, yang diduga ikut melibatkan elite politik PDIP potensi untuk masuk ke praperadilan sangat tinggi. Terbukti ketika penyelidik KPK mendatangi kantor DPP PDIP tidak bisa menunjukkan surat izin penggeledahan dari Dewan Pengawas KPK," ujar profesor hukum itu, Senin (13/1).
Hibnu mengingatkan, jika OTT ini digugat lewat mekanisme praperadilan, maka KPK harus mampu membuktikan bahwa tindakannya memenuhi syarat formil dan materiil. Salah satu contoh syarat formil tersebut adalah izin dari Dewan Pengawas KPK terkait penyadapan dan tindakan lainnya.
- Advertisement -
"Ketika KPK tidak bisa menunjukkan izin dari Dewan Pengawas dalam OTT yang dilakukan, maka penyadapan yang dilakukan berpotensi ilegal dan tidak sah secara hukum," ujar dia.
Dengan kondisi seperti ini, lanjut dia, KPK mesti mengevaluasi diri dalam aspek tata kelola manajemen. Hibnu juga meminta agar KPK menyerahkan kasus tangkap tangan dengan bukti di bawah Rp 1 miliar kepada penegak hukum yang lain, seperti Polri dan Kejaksaan Agung.
"Sebab, dalam UU yang baru KPK diminta aktif berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum lainnya," terang dia.
Sumber: Jpnn.com
Editor: Erizal