DNIPRO (RIAUPOS.CO) – Dari sesumbar menang dalam 10 hari, wilayah Ukraina yang kini diduduki Rusia justru semakin berkurang. Namun, kemampuan Ukraina untuk bisa terus bertahan dan melawan juga sangat bergantung pada bantuan Barat.
Seorang perempuan pernah bertanya kepadanya, di sebuah sore ketika dr Iryna Kulbach berdiri di depan reruntuhan rumah sakit bersalin tempatnya bekerja selama 30 tahun terakhir. ’’Kapan Anda membuka lagi rumah sakit ini,’’ tanyanya, seperti diceritakan Kulbach kepada NPR yang menemuinya di Dnipro, Ukraina (24/2). ’’Saya ingin melahirkan anak kedua di tempat kebahagiaan berada ini,’’ lanjutnya.
Kulbach tak bisa menjawab. Sebab, dua tahun setelah Rusia menyerbu Ukraina pada 22 Februari 2022, perang masih berkobar. Rumah sakit bersalin itu hanya satu dari sederet panjang dampak palagan yang menelan puluhan ribu nyawa tersebut.
Di Belgorod, Rusia, dekat perbatasan dengan Ukraina, Yuliya –seorang jurnalis– juga hidup dalam horor serupa. Di pengujung tahun lalu, roket menghajar sejumlah bangunan di dekat tempat tinggalnya. ’’Apartemen saya baik-baik saja, tapi suara roket-roket itu sangat menakutkan. Pada momen seperti itu, Anda pasti berpikir kematian sudah dekat,’’ ujar Yuliya, yang meminta nama belakangnya dirahasiakan, kepada Al Jazeera.
Belum ada tanda-tanda yang jelas kapan perang dua negara bertetangga yang dulu sama-sama tergabung dalam Federasi Uni Soviet itu akan berakhir. Rusia bakal menghelat pemilihan presiden Maret ini, tapi siapa pun tahu Vladimir Putin akan terpilih kembali. Putin yang sama yang mengobarkan perang dua tahun lalu dengan mengerahkan pasukan, tank, dan pesawat tempur.
Ukraina, yang di luar dugaan bisa bertahan sampai sekarang di hadapan superioritas sang tetangga dalam amunisi dan sumber daya perang, juga terus menggalang dukungan internasional. Sabtu (24/2) lalu, misalnya, Presiden Volodymyr Zelensky meneken kesepakatan dengan Kanada. Intinya, Kanada bakal mengirim paket bantuan keuangan dan militer senilai 2,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp34,3 triliun.
Perang itu, bagi Rusia, atau persisnya buat Putin, sudah melampaui tujuan awal untuk menghambat ekspansi NATO. Setelah gagal total menduduki Kiev dalam 10 hari seperti yang digemborkan, palagan itu adalah harga diri (dan upaya tutup malu) Rusia.
Jadi, Putin tidak akan berhenti. Zelensky jelas lebih punya alasan untuk juga tidak akan menyerah. Di lapangan, wilayah Ukraina yang diduduki Rusia berkurang jumlahnya. Tapi, di sisi lain, serangan balik Ukraina di musim panas lalu juga tak berjalan seperti yang diharapkan. Karena itu, persoalannya kini tinggal kuat-kuatan bertahan saja: siapa yang masih punya stok amunisi, sumber daya, dan mental berperang lebih kuat.
Di sisi lain, Business Insider menyebut ada empat skenario yang mungkin bisa membuat perang terbesar di era modern itu berakhir. Pertama, Ukraina bertahan. Syaratnya, bantuan dari Barat terus mengalir. Terutama paket bantuan 60 miliar dolar AS yang telah diloloskan senat, tapi bakal menghadapi sorotan tajam di DPR.
’’Kalau paket bantuan itu diloloskan, saya yakin Ukraina bisa menahan semua gempuran Rusia pada 2024, bahkan sampai 2025,’’ kata Max Bergmann, direktur Program Eropa, Rusia, dan Eurasia, di Center for Strategic and International Studies (CSIS) pekan lalu.
Skenario kedua, Rusia menang. Terutama jika aliran bantuan ke Ukraina seret. Kalau itu terjadi, garis pertahanan Ukraina bisa jebol kapan saja. Skenario berikutnya adalah kesepakatan damai. Januari lalu, Bloomberg melaporkan bahwa Putin memberi sinyal untuk siap mengakhiri perang. Juga, kesiapan melakukan gencatan senjata. Meskipun belakangan juru bicara Kremlin membantahnya.
Seraya mengaku pihaknya tidak tahu soal perubahan sikap Putin seperti yang diberitakan Bloomberg, Jubir Dewan Keamanan Nasional AS Adrienne Watson menyebut semua kini bergantung pada Ukraina. ’’Bergantung Ukraina kapan dan bagaimana akan memulai negosiasi dengan Rusia,’’ katanya.(ttg/jpg)