Delapan Aksi Konvergensi Penurunan Stunting Menuju Zero Stunting

Stunting atau kerdil merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan fisik dan otak pada anak akibat tidak terpenuhinya kecukupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Penyebab stunting tidak hanya kemiskinan dan pemberian makanan pada balita, tetapi bersifat multidimensional antara lain pola asuh, pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, ketersediaan air bersih, dan kesehatan lingkungan.

Dampak yang ditimbulkan stunting juga berdampak jangka panjang. Stunting akan mempengaruhi kualitas intelegensia dan derajat kesehatan seseorang sehingga akan mempengaruhi produktifitasnya ketika dewasa. Hal ini berakibat pada kualitas sumber daya manusia dan mempengaruhi perekonomian.  

- Advertisement -

Prevalensi stunting hampir terjadi di seluruh Indonesia dan menyebar pada berbagai tingkat sosial ekonomi. Tidak hanya kalangan menengah ke bawah, kalangan menengah ke atas pun berisiko untuk stunting. Berdasarkan laporan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2019, Prevalensi stunting sebesar 27,7 persen. Prevalensi ini sudah turun dibandingkan data Riskesdas 2018 (30,7%) dan Riskesdas 2013 (37,2%). Namun Prevalensi tersebut masih tinggi dari batas yang ditetapkan WHO yaitu sebesar 20%. Pemerintah melalui RPJMN 2020-2024, menetapkan target Nasional Prevalensi stunting  pada tahun 2024 adalah sebesar 14%, artinya menurunkan prevalensi stunting sebesar 2 kali lipat pada tahun 2024.

Tingginya prevalensi menempatkan Indonesia lima besar negara di dunia tertinggi stunting setelah India, Cina, Nigeria dan Pakistan. Langkah antisipasi sangat perlu dilakukan.

- Advertisement -

Pemerintah telah menetapkan bahwa stunting menjadi salah satu prioritas nasional. Berbagai program penurunan stunting telah dilakukan, namun belum efektif menurunkan prevalensi. Kebijakan dan program penurunan stunting belum diterjemahkan dengan baik ke dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Kesadaran dan perilaku masyarakat yang masih rendah menganggap stunting/pendek bukanlah tidak perlu dirisaukan, ditambah lagi dukungan sosial yang rendah.

Penanganan stunting tidak bisa hanya dilakukan satu badan atau lembaga, tetapi dilakukan berbagai sektor dan berbagai pihak, baik pemerintah mau pun non pemerintah. Pada strategi nasional percepatan pencegahan stunting, upaya penurunan stunting dilakukan melalui intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik pada sektor kesehatan dan intervensi sensitif pada sektor non kesehatan. Upaya penurunan stunting dilakukan secara terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui koordinasi serta konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah hingga desa. Penangganan stunting secara bersama -sama dengan cara intervensi terintegrasi melalui program konvergensi pencegahan dan penurunan stunting.

Konvergensi penurunan stunting merupakan upaya memastikan seluruh intervensi penurunan stunting sampai pada sasaran. Dibutuhkan komitmen kepala daerah. Upaya konvergensi dilakukan melalui delapan aksi integrasi dalam perencanaan, penganggaran, implementasi, pemantauan, dan evaluasi program/kegiatan. Kedelapan aksi tersebut adalah aksi 1 (analisis situasi), aksi 2 (rencana kegiatan), aksi 3 (rembuk stunting), aksi 4 (peraturan bupati/walikota tentang kewewenangan desa), aksi 5 (pembinaan kader pembangunan manusia), aksi 6 (sistem manajemen data), aksi 7 (pengukuran dan publikasi data stunting)  dan aksi 8 (review kinerja tahunan).

Kedelapan aksi tersebut, dipantau dan dilaporkan ke Bapedalibang penilaian kinerja terhadap keberhasilan kabupaten kota dalam penanganan stunting. Penilaian kinerja merupakan proses penilaian kemajuan kinerja kabupaten/kota dalam melakukan upaya untuk memperbaiki dan melaksanakan konvergensi stunting melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Tujuan penilaian kinerja adalah (1) aspek kinerja apa saja yang sudah baik atau yang masih perlu ditingkatkan dari setiap kabupaten/kota;  (2) Perbandingan kinerja kab/kota dalam wilayah provinsi dan (3) Pembelajaran yang dapat dimanfaatkan kab/kota dari kab/kota lain dalam wilayah provinsi (peer learning) untuk meningkatkan kualitas dan hasil pelaksanaan 8 aksi integrasi.

Delapan aksi konvergensi merupakan instrument dalam bentuk kegiatan pemerintah kabupaten/kota untuk memperbaiki manajemen penyelenggaraan pelayanan dasar agar lebih terpadu dan tepat sasaran. Tujuannya mengetahui perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan konvergensi intervensi gizi spesifik dan sensitif di daerah sejak diterbitkannya agenda percepatan pencegahan stunting diketahui dan menjadi prioritas di daerah.
Dalam pelaksanaan konvergensi stunting, pemerintah telah menetapkan kabupaten/kota sebagai lokasi pelaksanaan penurunan stunting terintegrasi. Untuk provinsi Riau, ditetapkan 5 kabupaten lokus stunting yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hilir.

Selain penilaian kinerja juga dilakukan penilaian terhadap kabupaten/kota yang inspiratif, inovatif dan replikatif. Kabupaten/kota yang inspiratif adalah yang mampu menstimulasi gagasan untuk mengembangkan cara/kegiatan/kebijakan yang lebih kreatif/inovatif.

Komitmen yang kuat dari berbagai kalangan dibutuhkan dalam upaya percepatan penurunan stunting. Tidak hanya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi juga dari berbagai organisasi profesi, akademisi, lembaga social kemasyarakatan dan keagamaan, media massa, dunia usaha dapat berperan aktif dan berkolaburasi sehingga adanya keterpaduan dalam upaya penurunan stunting menjadi efektif dan berkesinambungan. Berbagai kalangan mempunyai komitmen dan menyadari bahwa cegah stunting itu penting, untuk menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas, produktif dan mempunyai daya saing. Cegah stunting itu penting melalui konvergensi penurunan stunting menuju Indonesia bebas stunting/zero stunting.***  

Dr Mitra MKM, Ketua Prodi Magister Kesehatan Masyarakat STIKes Hang Tuah Pekanbaru

Stunting atau kerdil merupakan suatu kondisi gangguan pertumbuhan fisik dan otak pada anak akibat tidak terpenuhinya kecukupan gizi pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK). Penyebab stunting tidak hanya kemiskinan dan pemberian makanan pada balita, tetapi bersifat multidimensional antara lain pola asuh, pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak, ketersediaan air bersih, dan kesehatan lingkungan.

Dampak yang ditimbulkan stunting juga berdampak jangka panjang. Stunting akan mempengaruhi kualitas intelegensia dan derajat kesehatan seseorang sehingga akan mempengaruhi produktifitasnya ketika dewasa. Hal ini berakibat pada kualitas sumber daya manusia dan mempengaruhi perekonomian.  

Prevalensi stunting hampir terjadi di seluruh Indonesia dan menyebar pada berbagai tingkat sosial ekonomi. Tidak hanya kalangan menengah ke bawah, kalangan menengah ke atas pun berisiko untuk stunting. Berdasarkan laporan Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) Tahun 2019, Prevalensi stunting sebesar 27,7 persen. Prevalensi ini sudah turun dibandingkan data Riskesdas 2018 (30,7%) dan Riskesdas 2013 (37,2%). Namun Prevalensi tersebut masih tinggi dari batas yang ditetapkan WHO yaitu sebesar 20%. Pemerintah melalui RPJMN 2020-2024, menetapkan target Nasional Prevalensi stunting  pada tahun 2024 adalah sebesar 14%, artinya menurunkan prevalensi stunting sebesar 2 kali lipat pada tahun 2024.

Tingginya prevalensi menempatkan Indonesia lima besar negara di dunia tertinggi stunting setelah India, Cina, Nigeria dan Pakistan. Langkah antisipasi sangat perlu dilakukan.

Pemerintah telah menetapkan bahwa stunting menjadi salah satu prioritas nasional. Berbagai program penurunan stunting telah dilakukan, namun belum efektif menurunkan prevalensi. Kebijakan dan program penurunan stunting belum diterjemahkan dengan baik ke dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Kesadaran dan perilaku masyarakat yang masih rendah menganggap stunting/pendek bukanlah tidak perlu dirisaukan, ditambah lagi dukungan sosial yang rendah.

Penanganan stunting tidak bisa hanya dilakukan satu badan atau lembaga, tetapi dilakukan berbagai sektor dan berbagai pihak, baik pemerintah mau pun non pemerintah. Pada strategi nasional percepatan pencegahan stunting, upaya penurunan stunting dilakukan melalui intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik pada sektor kesehatan dan intervensi sensitif pada sektor non kesehatan. Upaya penurunan stunting dilakukan secara terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui koordinasi serta konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah hingga desa. Penangganan stunting secara bersama -sama dengan cara intervensi terintegrasi melalui program konvergensi pencegahan dan penurunan stunting.

Konvergensi penurunan stunting merupakan upaya memastikan seluruh intervensi penurunan stunting sampai pada sasaran. Dibutuhkan komitmen kepala daerah. Upaya konvergensi dilakukan melalui delapan aksi integrasi dalam perencanaan, penganggaran, implementasi, pemantauan, dan evaluasi program/kegiatan. Kedelapan aksi tersebut adalah aksi 1 (analisis situasi), aksi 2 (rencana kegiatan), aksi 3 (rembuk stunting), aksi 4 (peraturan bupati/walikota tentang kewewenangan desa), aksi 5 (pembinaan kader pembangunan manusia), aksi 6 (sistem manajemen data), aksi 7 (pengukuran dan publikasi data stunting)  dan aksi 8 (review kinerja tahunan).

Kedelapan aksi tersebut, dipantau dan dilaporkan ke Bapedalibang penilaian kinerja terhadap keberhasilan kabupaten kota dalam penanganan stunting. Penilaian kinerja merupakan proses penilaian kemajuan kinerja kabupaten/kota dalam melakukan upaya untuk memperbaiki dan melaksanakan konvergensi stunting melalui intervensi spesifik dan intervensi sensitif. Tujuan penilaian kinerja adalah (1) aspek kinerja apa saja yang sudah baik atau yang masih perlu ditingkatkan dari setiap kabupaten/kota;  (2) Perbandingan kinerja kab/kota dalam wilayah provinsi dan (3) Pembelajaran yang dapat dimanfaatkan kab/kota dari kab/kota lain dalam wilayah provinsi (peer learning) untuk meningkatkan kualitas dan hasil pelaksanaan 8 aksi integrasi.

Delapan aksi konvergensi merupakan instrument dalam bentuk kegiatan pemerintah kabupaten/kota untuk memperbaiki manajemen penyelenggaraan pelayanan dasar agar lebih terpadu dan tepat sasaran. Tujuannya mengetahui perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan konvergensi intervensi gizi spesifik dan sensitif di daerah sejak diterbitkannya agenda percepatan pencegahan stunting diketahui dan menjadi prioritas di daerah.
Dalam pelaksanaan konvergensi stunting, pemerintah telah menetapkan kabupaten/kota sebagai lokasi pelaksanaan penurunan stunting terintegrasi. Untuk provinsi Riau, ditetapkan 5 kabupaten lokus stunting yaitu Kabupaten Kampar, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Rokan Hilir.

Selain penilaian kinerja juga dilakukan penilaian terhadap kabupaten/kota yang inspiratif, inovatif dan replikatif. Kabupaten/kota yang inspiratif adalah yang mampu menstimulasi gagasan untuk mengembangkan cara/kegiatan/kebijakan yang lebih kreatif/inovatif.

Komitmen yang kuat dari berbagai kalangan dibutuhkan dalam upaya percepatan penurunan stunting. Tidak hanya dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tetapi juga dari berbagai organisasi profesi, akademisi, lembaga social kemasyarakatan dan keagamaan, media massa, dunia usaha dapat berperan aktif dan berkolaburasi sehingga adanya keterpaduan dalam upaya penurunan stunting menjadi efektif dan berkesinambungan. Berbagai kalangan mempunyai komitmen dan menyadari bahwa cegah stunting itu penting, untuk menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas, produktif dan mempunyai daya saing. Cegah stunting itu penting melalui konvergensi penurunan stunting menuju Indonesia bebas stunting/zero stunting.***  

Dr Mitra MKM, Ketua Prodi Magister Kesehatan Masyarakat STIKes Hang Tuah Pekanbaru

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya