Disrupsi memang menghendaki perubahan total, dan acap kali tidak bisa terprediksi arahnya. Namun untuk urusan konsumsi kita jangan sampai terlalu “woles” atau “selow” alias telat memahaminya, sebab bagi pelaku dunia usaha, perubahan platform konsumsi ini adalah ancaman sekaligus peluang dalam dunia usaha.
Mencermati era disrupsi yang sudah dimulai sejak 1980-an, diidentifikasi ada lima pemicu gelombang disruption dan sampai saat ini telah melewati kurang lebih 20 episode (Cragun, Sweetman, 2016). Jadi era disrupsi ini memang telah bergulir lama dan kalau dipikir-pikir cukup waktu sebenarnya untuk antisipasi dan mitigasinya bila kita “aware”sejak awal.
Kenapa terjadi perubahan platform konsumsi di era disrupsi ini? Ada philosophy yang menjadi latar belakang perubahan platform konsumsi itu pada saat ini, yaitu didasari oleh model bisnis “ekonomi berbagi” atau sharing economy.
Dalam konteks “ekonomi berbagi” ini semua bisnis bisa tumbuh dengan cepat, melalui sinergi kebersamaan dan merasakan manfaat secara bersama pula. Contoh pada taksi online memperlihatkan bahwa tadinya satu orang bangga dengan punya satu sampai dengan empat unit mobil, lalu di era disrupsi terjadi peralihan satu mobil dipakai oleh 20-30 orang dalam satu hari melalui penggunaan taksi online. Hal ini bermakna bahwa pergeseran dan perubahan yang begitu cepat, menjadikan para konsumen bertambah tuntutannya dalam hal efisiensi, kepraktisan dan resiko, dan kesemuanya itu adalah bagian dari perubahan platform konsumsi. Dengan taksi online, terjawablah perubahan pola konsumsi tersebut, tidak perlu repot lagi mikirin parkir, pusing dengan risiko kecelakaan, pening dengan biaya perawatan. Termasuk pula dalam perubahan platform konsumsi ini, soal gengsi menjadi terpinggirkan alias di urutan ke seribu mungkin.
Contoh lain dalam konsep “ekonomi berbagi” adalah warung gado-gado atau lotek yang sangat enak, namun karena keterbatasan modal, sehingga hanya terbatas pula tingkat kepopulerannya. Namun dengan konsep “ekonomi berbagi” menjadi terjawab, cukup dengan bersinergi bersama “Gojek” melalui layanan “GoFood” nya, maka para konsumen cukup melihat berapa banyak jumlah bintangnya di aplikasi sebelum memutuskan untuk membeli. Dalam konsep “ekonomi berbagi” memang tidak perlu menunggu skala besar dulu bisnisnya, dan tidak perlu harus punya lahan yang besar untuk menampung parkir yang luas buat konsumen dan tidak perlu gedung yang mentereng untuk menarik hasrat dari para konsumen.
Kesemuanya itu adalah bagian dari proses disrupsi, dan konsep “ekonomi berbagi” telah menjadi solusi yang rasanya tidak mungkin terjadi sebelumnya dengan pola pemikiran konvensional. Contoh lain dari adanya perubahan platform konsumsi dengan munculnya fenomena leisure economy, di mana masyarakat Indonesia tidak lagi berselera membeli barang (material goods) namun lebih memilih menghabiskan uang mereka untuk pengalaman (experience). Leisure economy muncul karena secara praktis dapat dikaitkan dengan peningkatan bisnis di sektor pariwisata, transportasi, hiburan, makanan dan minuman di banding tahun-tahun sebelumnya.
Namun di luar cara pikir konvensional, adanya leisure economy itu, para wisawatan dalam melancong bukan lagi memilih untuk menginap di hotel berbintang 4 atau 5 dengan berbagai fasilitasnya, namun berpindah ke hotel jaringan yaitu AirBnB, serasa di rumah sendiri dan berbasiskan aplikasi tentunya, dan yang paling utama dipilih konsumen sebab tarifnya bersaing banget sesuai fasilitas tentunya dengan pilosofi co-working space.
Memang masih banyak lagi contoh-contoh lain terkait perubahan platform konsumsi ini, namun pelajaran yang penting bagi pelaku dunia usaha dari artikel ini, bila ingin eksis di era disrupsi ini maka cermati lah konsep “sharing economy” dan “leisure economy”.***