JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) makin menguat. Pasalnya, hal itu sudang dianggap sebagai sesuatu yang genting dan mendesak.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyatakan, jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak segera menerbitkan Perppu KPK maka ini bertentangan dengan janji Nawacita. Kepala negara bisa dianggap telah membiarkan masifnya praktik korupsi.
“Poin soal syarat penerbitan Perppu sudah terpenuhi. Jika UU KPK yang baru jika dibiarkan maka sama saja Presiden membiarkan kejahatan korupsi semakin massif terjadi di Indonesia,” kata Kurnia dalam keterangannya, Minggu (6/10).
Dalam janji kampanye, lanjut Kurnia, Jokowi menarasikan akan memperkuat kinerja KPK dan keberpihakan pada isu anti korupsi. Namun, narasi itu hanya sekedar ucapan belaka.
“Melihat perkembangan situasi seperti ini rasanya janji itu jauh dari realisasi,” sesalnya.
Penting untuk ditegaskan, kata Kurnia, penerbitan Perppu pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional dari Presiden. Hal itu telah diatur dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menegaskan bahwa, ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
“Jadi, seharusnya tidak ada pihak-pihak yang menyebutkan bahwa penerbitan Perpu melanggar hukum, apalagi disertai dengan ancaman untuk memakzulkan Presiden,” tegas Kurnia.
Oleh karenanya, Presiden Jokowi harus membuktikan janji Nawacita disaat beriringan dengan dukungan publik yang tidak ingin KPK dilemahkan dengan UU KPK hasil revisi.
“Pada kesempatan ini Presiden juga harus membuktikan janji yang sempat diucapkan dan dituangkan dalam Nawacita dan saat berkampanye beberapa waktu lalu,” pungkasnya.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal