SELATPANJANG (RIAUPOS.CO) – Operasional sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Sagu Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebingtinggi Timur yang menjadi kebanggan warga Kepulauan Meranti terhenti.
Padahal perhatian pembangunan yang dikerjakan selama tiga tahun sebelum ini menjadi penantian panjang. Terutama dalam meningkatkan produksi hilirisasi sagu secara mandiri oleh pusat dengan biaya pembangunan tidak kurang dari Rp40 miliar melalui dana alokasi khusus (DAK) hingga pembangunan rampung pada 2020 lalu.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kepulauan Meranti Marwan mengatakan, UPT Sentra IKM sagu hadir sebagai sebuah solusi. Terutama untuk para pelaku UMKM produk hilir sagu dengan persediaan bahan baku yang relatif murah. Tapi rencana belum berjalan atas beberapa persoalan.
“UPT Sentra IKM berhenti beroperasi untuk sementara waktu setelah beberapa waktu lalu ada pihak ketiga yang menjadi pengelolanya. Saat ini kita berencana mencari investor baru sambil menunggu penghitungan dari tim appraisal,” katanya, Rabu (24/1).
Pada awalnya sentra itu akan dikelola BUMD PT Bumi Meranti bekerja sama dengan BUMDes dan pelaku usaha sagu setempat. Dengan beroperasionalnya sentra IKM sagu, diperlukan pasokan bahan baku berupa sagu basah terutama dari kilang-kilang sagu masyarakat yang ada di sekitar sentra IKM sagu. Namun dengan berjalannya waktu kesepakatan tak dapat dipenuhi pihak terkait.
Kesepakatan sejalan ketika berlangsungnya kajian penyusunan pola pengembangan sentra IKM sagu terpadu oleh Kementerian Perindustrian RI Direktorat Pengembangan Perwilayahan Industri (PPI) pada 2017 silam
“Namun belakangan mereka malah menjualnya ke pengepul untuk dibawa ke Malaysia,” kata Marwan lagi.
Menurutnya, ada persaingan yang tidak sehat oleh pengepul sehingga terjadinya perang harga yang menyebabkan harga tepung sagu basah menjadi tinggi. Hal itu berakibat kepada UPT Sentra IKM Sagu milik pemerintah daerah tidak mampu membeli sehingga kekurangan pasokan bahan baku.
Padahal kebutuhan bahan baku sagu basah untuk operasional sentra IKM sagu terpadu sekitar 600 ton perbulan, namun terkadang hanya mendapatkan sagu basah sekitar 140 ton perbulan dari kilang-kilang sagu di sekitar. “Bahan baku itu diekspor ke negara tetangga. Jadi kita kebagian sebagian kecil saja,” ujarnya.
Padahal harga yang dibeli UPT Sentra IKM sudah berada di atas harga yang ditetapkan provinsi. Namun kondisi itu tetap kalah dengan harga yang ditawari oleh tengkulak yang dimaksud.
“Harga yang kami beli itu sebenarnya sudah berada di atas harga yang ditetapkan provinsi yakni hanya berkisar Rp2.200 namun kilang masyarakat cenderung menjual ke tengkulak dengan harga ditetapkan sepihak,” ujarnya.(gem)
Laporan WIRA SAPUTRA, Selatpanjang