IBARAT sebuah kapal, masyarakat kita sedang berlayar di tengah badai. Lautan bergemuruh menggetarkan. Akan selamatkah kita sampai ke tujuan, atau kapal kita akan pecah berkeping-keping dihantam gelombang? Andai angin yang bertiup kencang itu adalah angin buritan, yakni angin yang bertiup dari belakang, sejalan dengan arah kapal, tak masalah, berarti kapal kita akan terdorong lebih cepat sampai ke dermaga tujuan. Tapi, ini badai. Jangankan badai, angin biasa saja, tak mungkin kita kendalikan arahnya, apalagi badai.
Begitulah ibaratnya. Pemilu Serentak 14 Februari lalu berlangsung dalam lingkungan masyarakat kita yang sedang bergemuruh dilanda badai perubahan. Kita berhadapan dengan fenomena perubahan, apa yang disebut sebagai “VUCA” (Volatility, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity).
Ringkasnya, Volatility atau volatilitas bisa diartikan bergejolak, mudah menguap, cepat berubah dan mudah meledak, membuat kita takut tak sudah-sudah. Uncertainty berarti ketidakpastian, susah diprediksi, membuat kita harap-harap cemas berkepanjangan. Complexity atau kompleksitas, dimaknai sebagai situasi rumit ibarat benang kusut, tak jelas mana ujung mana pangkal. Ambiguity atau ambiguitas diartikan sebagai keadaan yang tidak jelas, membingungkan atau menyesatkan.
Dalam situasi seperti itulah Pemilu 2024 berlangsung. Dalam kondisi normal saja pemilu kita gaduh, apatah lagi dalam kondisi masyarakat sedang mengidap komorbid.
Sebenarnya sketsa VUCA itu sudah ada dalam diri kita masing-masing; benar-salah, baik-buruk, positif-negatif, hitam-putih, semuanya seperti ribuan serigala yang ada dalam diri kita. Selama ini serigala itu terlelap indah di sana menunggu mainan untuk menampakkan diri. Politisasi overdosis Pemilu 2024, merupakan mainan seksi, apalagi masyarakat kita sedang mabuk dilamun euforia kebebasan, keterbukaan, dan keperkasaan media tak bertepi dengan amunisi digitalisasi teknologi komunikasi supercanggih.
Pemilu 2024 baru saja berlalu, tapi badai politisasinya belum. Pemilu ini telah meninggalkan jejak digital yang tak terhapuskan. Politik tanpa etika, kampanye hitam, fitnah, ujaran kebencian, politik adu-domba, tak terkecuali praktik pembohongan, pemalsuan, pengkhianatan, tipu lawan tipu kawan, semua membekas, semua tersimpan di awan.
Manusia diberi akal budi atau kecerdasan emosional, memilih jalan tengah: beradaptasi dengan bijak. Bagaimana cara beradaptasi di lapangan yang telah dipenuhi serigala-serigala liar? Untungnya, badai politik itu disambut bulan suci Ramadan, panggung di mana kebajikan menemukan perannya, yang keruh dijernihkan yang kusut terungkai.
Beberapa pakar menyebutkan, cara yang tepat untuk beradaptasi dalam situasi sulit itu adalah dengan menggunakan kecerdasan emosional (Emotional Quotient – EQ). Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
Demikian mujarabnya kecerdasan emosional ini, satu studi menemukan bahwa kecerdasan emosional dua kali lebih penting dari kecerdasan intelektual (Intellectual Quotient – IQ). Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosional menulis, EQ bertanggung jawab atas keberhasilan sebesar 80 persen, hanya 20 persen ditentukan oleh IQ.
Howard Gardner (1983) menyebutkan, salah satu bentuk kecerdasan emosional itu antara lain, mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu berkomunikasi dengan orang lain secara bijak.
Komunikasi interpersonal kita dewasa ini memang sedang mengalami distorsi besar-besaran, sedang tidak baik-baik saja. Banyak informasi asimetri, bahkan informasi hoak yang menimbulkan mispersepsi dan misinterpretasi, yang pada gilirannya menimbulkan miskomunikasi dan misunderstanding (salah paham).
Komunikasi yang buruk akan menimbulkan konflik. Banyak ‘’jebakan batman’’ dalam persaingan perebutan kepentingan dengan aturan main karet (bisa ditarik ulur sesuai kepentingan), menggunakan segala cara, bahkan menghalalkan segala cara. Ekpresi diri tak terjaga dengan baik dalam berkomunikasi, kita lupa peribahasa “mulutmu harimaumu”, lupa pula nilai-nilai kesepahaman (mutual understanding), sopan santun (modesty) dan toleransi.
Badai memang pasti berlalu, tapi kapan? Tak ada seorang pun yang bisa meramal dengan jitu; bisa esok hari, bisa lusa, atau bisa bulan depan. Tak ada pilihan lain, kita harus menantang badai dengan risiko bila tak paham akan tenggelam atau beradaptasi dengan keadaan sambil berdoa, cepatlah badai ini berlalu.
Di sinilah kekuasaan Sang Pencipta, kita diberi sebuah megaskenario untuk latihan beradaptasi, yakni bulan Ramadan. Sebulan dari 12 bulan yang kita miliki, adalah saat-saat manusia diberi jeda sejenak untuk kontemplasi (perenungan) sambil instrospeksi (membaca diri). Dalam bulan yang penuh kebajikan ini kita berpeluang melakukan re-fresh perangkat lunak yang ada dalam diri kita, bahkan bila perlu melakukan install ulang.
Dalam politik, dikenal adagium “tak ada lawan dan kawan abadi, yang abadi adalah kepentingan”. Tidak mudah memahami kebenaran atau kesalahan orang lain dengan rendah hati. Hanya orang-orang yang berjiwa besar dan berhati lapang yang bisa melakukannya. So, kenapa kita tidak berjabat tangan saling memaafkan sambil melempar senyum manis? Bro, bestie, selamat menunaikan ibadah Puasa Ramadan.***
oleh H Chaidir , Ketua Umum FKPMR