Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Hary B Koriun

Saya San (2)

DALAM tradisi Birma (Myanmar), Sektya-Min merupakan penguasa yang sangat kuat, selalu berbuat kebaikan, dan akan muncul di zaman ketika kekuatan agama, dalam hal ini Budha. Masa itu diinterpretasikan sebagai zaman di ana dominasi kolonial Eropa, Inggris, akan mencapai puncaknya.

Sektya-Min akan memulihkan dhamma (susunan moral dan kebaikan –hukum) dan mempersiapkan umat manusia dalam menghadapi kedatangan embrio atau calon Budha (Budha Maitreya). Saat semuanya telah siap, Sektya-Min akan menjadi calon Budha dan memperbarui ajaran Budha Gautama, yang telah lama ditinggalkan. Pemerintahannya diyakini akan menuntun pada zaman yang penuh kebahagiaan.

Seperti ditulis Emanuel Sarkisyanz dan Michael Mendelson, zaman penuh kebahagiaan itu adalah: Keseluruhan orang Birma (Myanmar) akan dibahagiakan dengan emas, perak, dan batu berharga yang melimpah. Dan semua orang di seluruh dunia akan sama menjadi Budha. Orang-orang di tanah itu akan mempraktikkan hukum tersebut dan sang pengusa akan memiliki kebaikan yang ideal. Orang-orang akan sangat mengabdi kepada agama, dibebaskan dari penyakit, dan akan memperoleh sepotong pikiran dan badan. Banyak makhluk yang akan mencapai surga…

Kepercayaan terhadap ramalan-ramala ini seringkali bercampur-baur dengan ide-ide kepercayaan esoterik dan dipilih dari berbagai sumber yang berkembang dalam kebudayaan Myanmar selama berabad-abad sebelum kolonialisme Eropa mulai mengambil korban berat dari lembaga-lembaga dan pemikiran orang pribumi. Para bangsawan Myanmar, seperti Alaungpaya, yang dianggap sebagai embrio Budha –pendiri terakhir dinasti Myanmar– memprokamasikan dirinya sebagai Maitreya Budha. Setelah penaklukan yang dilakukan Inggris atas beberapa wilayah Myanmar, banyak orang-orang yang merasa titisan nabi yang mengaku sebagai Sektya-Min yang datang menyelematkan orang-orang yang setia pada agama dari para penguasa Inggris.

Baca Juga:  Masagung

Dalam periode kolonial itu, klaim ini dilakukan dengan menarik kepercayaan petani dan mengembalikan kepercayaan raja atau pangiran keadilan Myanmar yang akan mengusir orang-orang Eropa yang dianggap murtad –dianggap tak beragama, meski mereka beragama Protestan atau Khatolik— dan mengembalikan pemerintahan kerajaan dan orde pra-Eropa yang diidealkan bebas dari perusakan dan penindasan.

Dalam idelogi dasarnya, gerakan pemberontakan yang dikobarkan oleh Saya San serupa dengan banyak kebangkitan lolak terdahulu di mana pendeta Budha, orang-orang yang mengaku sebagai pangeran dan mungkin weikza-weikza atau ahli sihir kepercayaan (cult magician) telah memproklamirkan diri mereka sebagai Sektya-Min. Saya San juga menekankan kepercayaannya terhadap Budha dan pengembalian kerajaan. Dia mengeluarkan maklumat di bawah gelar Sektya-Min. Dia dihadiahi nama Budha Raja pada kota-istana yang dia dirikan di hutan dan seringkali memakai batu manikam –yang merupakan simbol tradisional Sektya-Min—dalam upacara-upacara kebangsawanan dan pakaian yang juga dirancang untuk mencapai keabsahan.

Desas-desus bahwa Sektya-Min akan muncul menyebar dalam bulan-bulan sebelum kebangkitan Saya San dan setelah penobatannya yang pertama, para pengikutnya berdoa semoga dia menjadi calon Budha. Saya San sendiri percaya akan misi khususnya yang jelas terlihat dengan dicatatnya hal ini dalam buku hariannya, yakni kejadian-kejadian ajaib yang menyertai upacara penobatannya. Ia mengatakan bahwa setelah penobatan pertama, sinar Budha Gautama akan bersinar di atas pagoda, tempat upacara itu dilakukan dan matahari kembar akan muncul di langit.

Setelah upacara kedua di Provinsi Shan, tepuk tangan riuh terdengar hingga ke tempat yang jauh. Saya San meyakinkan pendukungnya, yang sebagian besar kaum petani pedesaan, bahwa dia melebihi seorang raja yang fana. Dia mengaku bahwa jika pun dia mati dalam pemberontakan, rohnya akan tetap hidup dan mengayomi seluruh penduduk untuk terus berjuang melepaskan diri dari cengkeraman pemerintah kolonial yang dianggap murtad itu.

Baca Juga:  Kartosoewiryo

Pada masa pemberontakannya yang tidak lama, 1930-1932, Saya San mengobarkan bukan hanya sentimen anti-Inggris yang begitu kuat, tetapi juga kepada orang-orang India dan Cina yang banyak menjadi pedagang dan menguasai bidang ekonomi, yang dianggap sebagai antek kolonial. Gerakan Saya San yang awalnya dianggap kecil dan tak akan berdampak besar bagi kekuasaan Inggris, tiba-tiba menggema ke seluruh kawasan di Myanmar yang membuat Inggris berpikir jika hal ini dibiarkan akan membuat kekuasaan mereka akan berakhir dengan cepat.

Yang menarik, meski awalnya dianggap sebagai gerakan mesianisme berbau klenik dan sihir, dan beranggotakan sebagian petani, gerakan Saya San ternyata dilakukan dengan terorganisir yang ditujukan pada kota-kota, desa-desa, dan posisi-posisi strategis pasukan pemerintah kolonial Inggris. Gerakan ini juga menimbulkan huru-hara komunal antara masyarakat asli Myanmar dengan India dan Cina karena sentimen etnis. Lalu, masyarakat yang sebelumnya tak percaya dengan gerakan berbau Imam Mahdi ini, kemudian ikut bergabung. Mereka antara lain para gang bandit, maling, perampok dan lainnya yang memiliki motivasi berbeda. Ada yang benci dengan pemerintah kolonial, juga ada yang tanpa motif politik.

Di masa itu, Saya San mendapatkan dukungan dari hampir seluruh masyarakat Myanmar, baik yang ikut langsung mengangkat senjata maupun yang hanya bisa mendoakan karena sudah terlanjur percaya bahwa Saya San adalah titisan Budha yang akan mengembalikan keadilan dengan mengusir penjajah.***

 

 

 

DALAM tradisi Birma (Myanmar), Sektya-Min merupakan penguasa yang sangat kuat, selalu berbuat kebaikan, dan akan muncul di zaman ketika kekuatan agama, dalam hal ini Budha. Masa itu diinterpretasikan sebagai zaman di ana dominasi kolonial Eropa, Inggris, akan mencapai puncaknya.

Sektya-Min akan memulihkan dhamma (susunan moral dan kebaikan –hukum) dan mempersiapkan umat manusia dalam menghadapi kedatangan embrio atau calon Budha (Budha Maitreya). Saat semuanya telah siap, Sektya-Min akan menjadi calon Budha dan memperbarui ajaran Budha Gautama, yang telah lama ditinggalkan. Pemerintahannya diyakini akan menuntun pada zaman yang penuh kebahagiaan.

- Advertisement -

Seperti ditulis Emanuel Sarkisyanz dan Michael Mendelson, zaman penuh kebahagiaan itu adalah: Keseluruhan orang Birma (Myanmar) akan dibahagiakan dengan emas, perak, dan batu berharga yang melimpah. Dan semua orang di seluruh dunia akan sama menjadi Budha. Orang-orang di tanah itu akan mempraktikkan hukum tersebut dan sang pengusa akan memiliki kebaikan yang ideal. Orang-orang akan sangat mengabdi kepada agama, dibebaskan dari penyakit, dan akan memperoleh sepotong pikiran dan badan. Banyak makhluk yang akan mencapai surga…

Kepercayaan terhadap ramalan-ramala ini seringkali bercampur-baur dengan ide-ide kepercayaan esoterik dan dipilih dari berbagai sumber yang berkembang dalam kebudayaan Myanmar selama berabad-abad sebelum kolonialisme Eropa mulai mengambil korban berat dari lembaga-lembaga dan pemikiran orang pribumi. Para bangsawan Myanmar, seperti Alaungpaya, yang dianggap sebagai embrio Budha –pendiri terakhir dinasti Myanmar– memprokamasikan dirinya sebagai Maitreya Budha. Setelah penaklukan yang dilakukan Inggris atas beberapa wilayah Myanmar, banyak orang-orang yang merasa titisan nabi yang mengaku sebagai Sektya-Min yang datang menyelematkan orang-orang yang setia pada agama dari para penguasa Inggris.

- Advertisement -
Baca Juga:  Petrus (2)

Dalam periode kolonial itu, klaim ini dilakukan dengan menarik kepercayaan petani dan mengembalikan kepercayaan raja atau pangiran keadilan Myanmar yang akan mengusir orang-orang Eropa yang dianggap murtad –dianggap tak beragama, meski mereka beragama Protestan atau Khatolik— dan mengembalikan pemerintahan kerajaan dan orde pra-Eropa yang diidealkan bebas dari perusakan dan penindasan.

Dalam idelogi dasarnya, gerakan pemberontakan yang dikobarkan oleh Saya San serupa dengan banyak kebangkitan lolak terdahulu di mana pendeta Budha, orang-orang yang mengaku sebagai pangeran dan mungkin weikza-weikza atau ahli sihir kepercayaan (cult magician) telah memproklamirkan diri mereka sebagai Sektya-Min. Saya San juga menekankan kepercayaannya terhadap Budha dan pengembalian kerajaan. Dia mengeluarkan maklumat di bawah gelar Sektya-Min. Dia dihadiahi nama Budha Raja pada kota-istana yang dia dirikan di hutan dan seringkali memakai batu manikam –yang merupakan simbol tradisional Sektya-Min—dalam upacara-upacara kebangsawanan dan pakaian yang juga dirancang untuk mencapai keabsahan.

Desas-desus bahwa Sektya-Min akan muncul menyebar dalam bulan-bulan sebelum kebangkitan Saya San dan setelah penobatannya yang pertama, para pengikutnya berdoa semoga dia menjadi calon Budha. Saya San sendiri percaya akan misi khususnya yang jelas terlihat dengan dicatatnya hal ini dalam buku hariannya, yakni kejadian-kejadian ajaib yang menyertai upacara penobatannya. Ia mengatakan bahwa setelah penobatan pertama, sinar Budha Gautama akan bersinar di atas pagoda, tempat upacara itu dilakukan dan matahari kembar akan muncul di langit.

Setelah upacara kedua di Provinsi Shan, tepuk tangan riuh terdengar hingga ke tempat yang jauh. Saya San meyakinkan pendukungnya, yang sebagian besar kaum petani pedesaan, bahwa dia melebihi seorang raja yang fana. Dia mengaku bahwa jika pun dia mati dalam pemberontakan, rohnya akan tetap hidup dan mengayomi seluruh penduduk untuk terus berjuang melepaskan diri dari cengkeraman pemerintah kolonial yang dianggap murtad itu.

Baca Juga:  Kartosoewiryo (2)

Pada masa pemberontakannya yang tidak lama, 1930-1932, Saya San mengobarkan bukan hanya sentimen anti-Inggris yang begitu kuat, tetapi juga kepada orang-orang India dan Cina yang banyak menjadi pedagang dan menguasai bidang ekonomi, yang dianggap sebagai antek kolonial. Gerakan Saya San yang awalnya dianggap kecil dan tak akan berdampak besar bagi kekuasaan Inggris, tiba-tiba menggema ke seluruh kawasan di Myanmar yang membuat Inggris berpikir jika hal ini dibiarkan akan membuat kekuasaan mereka akan berakhir dengan cepat.

Yang menarik, meski awalnya dianggap sebagai gerakan mesianisme berbau klenik dan sihir, dan beranggotakan sebagian petani, gerakan Saya San ternyata dilakukan dengan terorganisir yang ditujukan pada kota-kota, desa-desa, dan posisi-posisi strategis pasukan pemerintah kolonial Inggris. Gerakan ini juga menimbulkan huru-hara komunal antara masyarakat asli Myanmar dengan India dan Cina karena sentimen etnis. Lalu, masyarakat yang sebelumnya tak percaya dengan gerakan berbau Imam Mahdi ini, kemudian ikut bergabung. Mereka antara lain para gang bandit, maling, perampok dan lainnya yang memiliki motivasi berbeda. Ada yang benci dengan pemerintah kolonial, juga ada yang tanpa motif politik.

Di masa itu, Saya San mendapatkan dukungan dari hampir seluruh masyarakat Myanmar, baik yang ikut langsung mengangkat senjata maupun yang hanya bisa mendoakan karena sudah terlanjur percaya bahwa Saya San adalah titisan Budha yang akan mengembalikan keadilan dengan mengusir penjajah.***

 

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Tragedi Amir

Masagung

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 3

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari