(Kurikulum) Sastra 3

FILE Pdf buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra sudah terlanjur menyebar ke mana-mana dan menimbulkan kontroversi di banyak kalangan. Perdebatan pemilihan buku kanon yang masuk rekomendasi semakin meluas. Ada yang mempertanyakan mengapa novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, Karmila karya Marga T, Arini Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W, Balada Si Roy (Gola Gong), Lupus (Hilman Hariwijaya) dll terpilih untuk jenjang SMA? Padahal nyata-nyata novel-novel tersebut bermuatan populer.

Lalu apa bedanya dengan karya-karya populer lainnya seperti karya-karya Titi Said, Eddy D Iskandar, Ika Natasha, Illana Tan, JS Khairen, atau bahkan Fredy S? Karya yang direkomendasikan untuk siswa SMA semestinya bukan lagi karya populer yang saat membacanya tidak memerlukan tingkat pemahaman yang rumit karena siswa SMA sudah diajari bagaimana ilmu analisa, logika, metafora, dll.

Pertanyaan juga muncul ketika beberapa karya kurator banyak yang masuk dalam daftar. Untuk yang ini, saya bisa memahami karena, misalnya, ketika Eka Kurniawan menjadi kurator sementara karyanya seperti Cantik Itu Luka tidak masuk dalam daftar, juga tidak fair. Walau bagaimana pun, Eka adalah wajah Indonesia di dunia sastra dunia. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa penting di dunia. Begitu juga dengan sastrawan Betawi, Zen Hae, misalnya yang juga seorang kurator, yang bukunya juga masuk dalam daftar. Nama kurator lain yang bukunya masuk daftar adalah Triyanto Triwikromo (Surga Sungsang), Dewi Kharisma Michellia (Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya), Felik K Nesi (Orang-Orang Oetimu), dan beberapa nama lagi.

Ada juga yang mempertanyakan, karya istri atau suami dari orang yang namanya masuk dalam kurator, seperti Gadis Kretek (Ratih Kumala –istri Eka Kurniawan), atau karya Hamdi Salad yang merupakan suami dari Abidah El-Khaileqy. Ini juga debatebel karena karya-karya mereka secara umum dianggap pantas masuk ke dalam daftar tersebut.

- Advertisement -

Sebuah “protes” disampaikan oleh penyair asal Payakumbuh, Sumatra Barat (Sumbar), Iyut Fitra, di media sosial. Dia mempertanyakan mengapa buku-bukunya yang pernah memenangkan penghargaan dari Badan Bahasa maupun Hari Puisi Indonesia, tidak masuk dalam daftar tersebut. Jika sebuah buku sudah dianggap terbaik oleh Badan Bahasa –yang merupakan stakeholder dari Kemendikbud—alasan apa buku tersebut ditinggalkan. Dan banyak buku yang mendapat penghargaan dari Badan Bahasa atau lembaga lain di bawah Kemendikbud yang tidak direkomendasikan oleh kurator.

Kritikan pedas datang dari Nirwan Dewanto. Dia menganggap semestinya para kurator tidak memasukkan karyanya atau orang-orang terdekat –termasuk suami atau istri—ke dalam daftar tersebut karena dianggap bias. Menurutnya, jika para kurator belum bisa memisahkan titik bias tersebut, semestinya dia tidak dijadikan kurator. Nirwan pun meminta agar buku puisinya, Jantung Lebah Ratu, ditarik dari daftar tersebut karena dipilih oleh orang-orang yang menurutnya tidak kompeten.

- Advertisement -

Protes keras juga muncul dari dua organisasi Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Melalui lembaga afiliasi di bawahnya, mereka menolak seolah ada upaya kampanye LGBTQ dalam beberapa buku yang direkomendasikan tersebut. Padahal, sebagai negara Islam terbesar di dunia, sudah dari awal Indonesia mengecam dan menolak kampanye penyimpangan seksual tersebut. Konten-konten yang dianggap mengarah ke pornografi dan LGBTQ mereka sebut tidak cocok dengan standar pendidikan di Indonesia. Semangat kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan masih bisa diterima dan diperjuangkan, tetapi ikut memberi ruang pada kampanye seks menyimpang seperti LGBTQ adalah hal yang tidak pas dengan pendidikan kita. Ada beberapa karya atau lebih yang dianggap menyebarkan konten pornografi dan LGBTQ tersebut. Yakni Puya ke Puya karya Faisal Oddang, Orang-Orang Oetimu (Felix K Nesi) dan Saman karya Ayu Utami.

Masih banyak lagi persoalan kuratorial dan karya-karya yang diperdebatkan, mengapa ini masuk, mengapa ini tidak, standarnya apa, dan sebagainya. Salah satunya, misalnya, mengapa karya-karya pengarang dari Sumatra yang sejak lama dikenal sebagai lumbung sastra Indonesia, tidak banyak yang masuk dalam daftar tersebut? Misalnya, novel-novel Balai Pustaka yang sejak lama sudah dibaca oleh kalangan siswa di berbagai jenjang pendidikan, justru tak masuk. Contohnya Mencari Pencuri Anak Perawan (Soeman Hs), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), atau Salah Asuhan-nya Abdul Muis.

Di luar persoalan kuratorial dan debatebel judul karya, banyak kesalahan yang lumayan parah terjadi pada penulisan reviu buku-buku tersebut. Misalnya ada buku yang dalam narasinya dijelaskan tidak layak dibaca siswa, padahal buku tersebut ada dalam daftar makanya dibuat reviunya. Lalu, ada kesalahan-kesalahan elementer pada banyak bagian. Misalnya, Sutardji Calzoum Bachri ditulis sudah meninggal, padahal masih segar-bugar sampai sekarang. Novel Negeri 5 Menara karya A Fuadi, ditulis karya Akmal Nasery Basral. Dan banyak narasi lain yang jika itu dijadikan bahan ajar guru, akan menimbulkan kontroversi karena berbeda dengan faktanya.

Pengarah proyek buku ini, Anindito Aditomo, mengakui bahwa memang banyak kesalahan yang terjadi dalam buku tersebut, terutama dalam reviu yang dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pada guru “pilihan”. Kesalahan tersebut terjadi karena ada dari mereka yang menggunakan artificil intellegence (AI), atau kecerdasan buatan, dengan basis ChatGPT yang ternyata tingkat akurasinya banyak yang tidak tepat. Dia berjanji akan memperbaiki buku tersebut sebelum disebarkan ke kalangan guru dan sekolah.

Pada intinya, buku-buku sastra yang direkomendasikan untuk masuk kurikulum ini sebuah langkah maju, tetapi karena dikerjakan secara tergesa-gesa, tidak transparan dalam memilih orang-orangnya sebagai kurator maupun guru untuk review, dan tidak adanya editor yang memahami persoalan dengan baik, maka hasilnya sangat mengecewakan.***

 

FILE Pdf buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra sudah terlanjur menyebar ke mana-mana dan menimbulkan kontroversi di banyak kalangan. Perdebatan pemilihan buku kanon yang masuk rekomendasi semakin meluas. Ada yang mempertanyakan mengapa novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar, Karmila karya Marga T, Arini Masih Ada Kereta yang Akan Lewat karya Mira W, Balada Si Roy (Gola Gong), Lupus (Hilman Hariwijaya) dll terpilih untuk jenjang SMA? Padahal nyata-nyata novel-novel tersebut bermuatan populer.

Lalu apa bedanya dengan karya-karya populer lainnya seperti karya-karya Titi Said, Eddy D Iskandar, Ika Natasha, Illana Tan, JS Khairen, atau bahkan Fredy S? Karya yang direkomendasikan untuk siswa SMA semestinya bukan lagi karya populer yang saat membacanya tidak memerlukan tingkat pemahaman yang rumit karena siswa SMA sudah diajari bagaimana ilmu analisa, logika, metafora, dll.

Pertanyaan juga muncul ketika beberapa karya kurator banyak yang masuk dalam daftar. Untuk yang ini, saya bisa memahami karena, misalnya, ketika Eka Kurniawan menjadi kurator sementara karyanya seperti Cantik Itu Luka tidak masuk dalam daftar, juga tidak fair. Walau bagaimana pun, Eka adalah wajah Indonesia di dunia sastra dunia. Karya-karyanya sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa penting di dunia. Begitu juga dengan sastrawan Betawi, Zen Hae, misalnya yang juga seorang kurator, yang bukunya juga masuk dalam daftar. Nama kurator lain yang bukunya masuk daftar adalah Triyanto Triwikromo (Surga Sungsang), Dewi Kharisma Michellia (Surat Panjang tentang Jarak Kita yang Jutaan Tahun Cahaya), Felik K Nesi (Orang-Orang Oetimu), dan beberapa nama lagi.

Ada juga yang mempertanyakan, karya istri atau suami dari orang yang namanya masuk dalam kurator, seperti Gadis Kretek (Ratih Kumala –istri Eka Kurniawan), atau karya Hamdi Salad yang merupakan suami dari Abidah El-Khaileqy. Ini juga debatebel karena karya-karya mereka secara umum dianggap pantas masuk ke dalam daftar tersebut.

Sebuah “protes” disampaikan oleh penyair asal Payakumbuh, Sumatra Barat (Sumbar), Iyut Fitra, di media sosial. Dia mempertanyakan mengapa buku-bukunya yang pernah memenangkan penghargaan dari Badan Bahasa maupun Hari Puisi Indonesia, tidak masuk dalam daftar tersebut. Jika sebuah buku sudah dianggap terbaik oleh Badan Bahasa –yang merupakan stakeholder dari Kemendikbud—alasan apa buku tersebut ditinggalkan. Dan banyak buku yang mendapat penghargaan dari Badan Bahasa atau lembaga lain di bawah Kemendikbud yang tidak direkomendasikan oleh kurator.

Kritikan pedas datang dari Nirwan Dewanto. Dia menganggap semestinya para kurator tidak memasukkan karyanya atau orang-orang terdekat –termasuk suami atau istri—ke dalam daftar tersebut karena dianggap bias. Menurutnya, jika para kurator belum bisa memisahkan titik bias tersebut, semestinya dia tidak dijadikan kurator. Nirwan pun meminta agar buku puisinya, Jantung Lebah Ratu, ditarik dari daftar tersebut karena dipilih oleh orang-orang yang menurutnya tidak kompeten.

Protes keras juga muncul dari dua organisasi Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Melalui lembaga afiliasi di bawahnya, mereka menolak seolah ada upaya kampanye LGBTQ dalam beberapa buku yang direkomendasikan tersebut. Padahal, sebagai negara Islam terbesar di dunia, sudah dari awal Indonesia mengecam dan menolak kampanye penyimpangan seksual tersebut. Konten-konten yang dianggap mengarah ke pornografi dan LGBTQ mereka sebut tidak cocok dengan standar pendidikan di Indonesia. Semangat kesetaraan gender antara lelaki dan perempuan masih bisa diterima dan diperjuangkan, tetapi ikut memberi ruang pada kampanye seks menyimpang seperti LGBTQ adalah hal yang tidak pas dengan pendidikan kita. Ada beberapa karya atau lebih yang dianggap menyebarkan konten pornografi dan LGBTQ tersebut. Yakni Puya ke Puya karya Faisal Oddang, Orang-Orang Oetimu (Felix K Nesi) dan Saman karya Ayu Utami.

Masih banyak lagi persoalan kuratorial dan karya-karya yang diperdebatkan, mengapa ini masuk, mengapa ini tidak, standarnya apa, dan sebagainya. Salah satunya, misalnya, mengapa karya-karya pengarang dari Sumatra yang sejak lama dikenal sebagai lumbung sastra Indonesia, tidak banyak yang masuk dalam daftar tersebut? Misalnya, novel-novel Balai Pustaka yang sejak lama sudah dibaca oleh kalangan siswa di berbagai jenjang pendidikan, justru tak masuk. Contohnya Mencari Pencuri Anak Perawan (Soeman Hs), Siti Nurbaya (Marah Rusli), Azab dan Sengsara (Merari Siregar), atau Salah Asuhan-nya Abdul Muis.

Di luar persoalan kuratorial dan debatebel judul karya, banyak kesalahan yang lumayan parah terjadi pada penulisan reviu buku-buku tersebut. Misalnya ada buku yang dalam narasinya dijelaskan tidak layak dibaca siswa, padahal buku tersebut ada dalam daftar makanya dibuat reviunya. Lalu, ada kesalahan-kesalahan elementer pada banyak bagian. Misalnya, Sutardji Calzoum Bachri ditulis sudah meninggal, padahal masih segar-bugar sampai sekarang. Novel Negeri 5 Menara karya A Fuadi, ditulis karya Akmal Nasery Basral. Dan banyak narasi lain yang jika itu dijadikan bahan ajar guru, akan menimbulkan kontroversi karena berbeda dengan faktanya.

Pengarah proyek buku ini, Anindito Aditomo, mengakui bahwa memang banyak kesalahan yang terjadi dalam buku tersebut, terutama dalam reviu yang dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari pada guru “pilihan”. Kesalahan tersebut terjadi karena ada dari mereka yang menggunakan artificil intellegence (AI), atau kecerdasan buatan, dengan basis ChatGPT yang ternyata tingkat akurasinya banyak yang tidak tepat. Dia berjanji akan memperbaiki buku tersebut sebelum disebarkan ke kalangan guru dan sekolah.

Pada intinya, buku-buku sastra yang direkomendasikan untuk masuk kurikulum ini sebuah langkah maju, tetapi karena dikerjakan secara tergesa-gesa, tidak transparan dalam memilih orang-orangnya sebagai kurator maupun guru untuk review, dan tidak adanya editor yang memahami persoalan dengan baik, maka hasilnya sangat mengecewakan.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Tragedi Amir (2)

Tragedi Amir

Masagung

The Boxer

(Kurikulum) Sastra 2

(Kurikulum) Sastra

Petrus (2)

Tato Yulia

Salvador

Saya San (2)

Saya San

(Kurikulum) Sastra 2

(Kurikulum) Sastra

Petrus (2)