Setiap peserta didik pasti berharap lulus ujian, meskipun ujian bukan penentu satu-satunya kelulusan dalam menempuh jenjang pendidikan. Karena masih ada nilai keaktifan di kelas, absen dan tugas harian serta budi pekerti. Namun karena terlalu fokus terhadap tujuan akhir dari belajar (nilai kuantitatif) terkadang kita mengabaikan proses yang akan membentuk pribadi kita (nilai kualitatif). Rasa ambisius yang besar ingin mendapatkan nilai yang tinggi saat ujian hanya akan membuat jiwa kita dipenuhi rasa saing tidak sehat, berdebat tiada ujung, kritikan-kritikan tanpa solusi. Sehingga pada saat ujian kita dipenuhi rasa ketidaknyamanan.
Ujian memang telah usai, namun ada fenomena yang sering terjadi saat berlangsungnya ujian di perguruan tinggi, yaitu saat pemilihan tempat duduk. Jika proses ujian pada sekolah dasar menengah dan atas tempat duduk mereka saat ujian ditentukan pihak sekolahnya sedangkan pada perguruan tinggi untuk tempat duduk baik saat belajar ataupun ujian mahasiswa yang memilihnya sendiri. Hal ini memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bebas menentukan tempat yang memberikan mereka kenyamanan dalam mengerjakan soal ujian. Pemikiran mahasiswa terhadap ujian begitu menakutkan sehingga pemilihan tempat duduk yang strategis akan membuat ketakutan mereka berkurang. Padahal ujian itu adalah bagian dari belajar juga, perbedaan hanya kepada yang menyelesaikannya, ketika dalam proses belajar kita bisa bertanya kepada dosen, bertanya dengan teman, kita bebas memilih tempat duduk dan mengatur tempat duduk dan bisa menjawab segala persoalan dengan banyak bantuan di sekitar kita, tanpa banyak aturan, kita bisa berdebat, bertanya tentang apapun tanpa ada pengawasan atau perhatian khusus dari dosen dan hasilnya tidaklah bisa dikatakan dari hasil pemikiran kita sendiri. Sedangkan proses ujian adalah di mana kita dihadapkan dengan persoalan yang mungkin lebih mudah, namun keadaannya sekarang kitalah sebagai segala kunci jawabannya. Tidak ada pertolongan dan bantuan dari siapapun. Saat itulah kita dituntut untuk berperan sendiri dan hasilnya adalah sebagai batas ukuran kemampuan belajar kita selama ini. Ditambah lagi peraturan sebelum ujian tidak boleh melihat kiri kanan, hp dinonaktifkan, tas dan segala jenis buku ditaruh jauh dari tempat duduk, dan kursi yang diberi jarak dengan teman yang lainnya, jangan mengeluarkan suara apalagi diskusi atau bertanya kepada teman, dengan pengawasan penuh oleh pengawas. Hal inilah yang menjadikan sebagian mahasiswa yang selalu bergantung kepada orang sekitarnya, yang sering bertanya dan tidak mandiri ketika proses belajar berlangsung akan mengalami ketidakpercayaaan diri dalam mengerjakan ujian.
Semua proses pembelajaran tentu menghendaki adanya ujian. Harusnya kita memaknai ujian itu sebagai proses untuk belajar. Karena sesungguhnya, ujian yang sukses itu adalah ujian untuk belajar, bukan sebaliknya belajar untuk ujian. Jika ujian dimaknai untuk belajar, maka siapa pun yang berÂkesadaran seperti itu pasti selalu berkomitmen untuk ikhlas, serius, dan sabar dalam belajar. Di manapun ia ditempatkan ia tidak akan melakukan penyimpangan. Ia akan tetap tenang dan tidak akan berpikir bahwa ujian adalah akhir dari proses belajarnya. Sebaliknya, jika belajar diniati untuk ujian, maka belajar itu akan berakhir dengan berakhirnya ujian. Belajar hanya untuk bisa menjawab soal-soal ujian, bukan untuk menjadi modal intelektual dan mental spiritual untuk meraih kemajuan dalam kehidupan.
Sudah selayaknya seorang mahasiswa menyadari bahwa ujian adalah sebuah proses belajar. Belajar mandiri, belajar mengÂhadapi masalahnya sendiri, belajar memahami makna kata tanpa pertolongan dari siapapun, belajar jujur, belajar percaya diri dan yang terpenting adalah belajar untuk tidak takut terhadap di manapun letak posisi tempat duduknya saat ujian.Pemaknaan ujian untuk belajar sedini mungkin harus sudah ditanamkan juga kepada seluruh pelajar, tidak hanya kepada mahasiswa sebagai wujud dari nilai kualitas pribadi yang berilmu serta bermanfaat bagi agamanya, dunia, keluarganya kelak.***
Nur atika Roesli, Guru di Rokanhulu dan Mahasiswa Sastra Melayu Unilak