Minggu, 25 Mei 2025
spot_img

ANTON W.P. (Penikmat sastra dan literasi, tinggal di Pekanbaru)

Yang Luput Kala Membaca “Peringatan” Wiji Thukul

Ketika seorang kawan mengirimkan (posting) puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul sebagai status Facebook-nya, kata-kata dalam puisi yang terdiri atas 17 baris itu memang mudah diingat dan sering dijadikan quote atau kutipan layaknya kata-kata mutiara.

Seperti halnya kata-kata dalam puisi “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono yang acapkali dijadikan kata-kata mutiara dalam undangan pernikahan.

Namun, ada yang terasa janggal ketika membaca kembali puisi yang, bagi saya, merupakan puisi Wiji Thukul yang paling dikenal dan diingat khalayak karena sering diperdengarkan dalam tiap kesempatan demonstrasi dan berbagai kegiatan memprotes penguasa yang zalim.

Kata-kata “bila rakyat berani mengeluh” pada baris kesembilan terasa aneh jika dibandingkan dengan kalimat pada baris-baris sebelumnya yang menunjukkan ketakutan rakyat dengan “kalau rakyat bersembunyi / dan berbisik-bisik / ketika membicarakan masalahnya sendiri.”

Bagi saya, rasanya yang lebih tepat adalah “bila rakyat tidak berani mengeluh”, dan inilah yang dalam ingatan saya merupakan isi puisi itu yang sebenarnya. Mungkinkah kawan saya salah dalam menulisnya, atau sayalah yang salah mengingat?

Untuk memastikan mana yang benar, segera saja saya menelusuri dunia maya. Hasilnya malah membuat saya semakin bingung. Puisi “Peringatan” bertebaran dalam dua versi yang berbeda. Ada yang tertulis “bila rakyat berani mengeluh”, dan ada pula yang tertulis “bila rakyat tidak berani mengeluh.”

Memang betul hanya terdapat perbedaan satu kata. Bila satu kata yang terlupa itu tidak membuat arti yang bertolak belakang, tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun, kata “tidak” tersebut menjadikan makna puisinya berubah dan sama sekali bertolak belakang.

Hal itu mengingatkan saya pada penggunaan istilah tak bergeming yang salah selama bertahun-tahun. Tak bergeming bagi kebanyakan orang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bergerak atau diam.

Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI (KBBI VI) dapat kita lihat bahwa arti kata bergeming itu sendiri adalah ‘tidak bergerak sedikit juga’ atau ‘diam saja’. Jadi tak bergeming sebenarnya adalah ‘tidak diam’ yang berarti ‘bergerak’. Sebuah arti yang berlawanan dari maksud yang ingin disampaikan.

Baca Juga:  Budayakan Cinta Lingkungan

Setelah penemuan kekeliruan itu, sayangnya, masih saja ada yang salah dalam penggunaan tak bergeming tersebut.

Saya kemudian mengomentari status kawan itu untuk memberitahukan apa yang saya temukan di dunia maya dan menanyakan dari mana dia mengutip puisi itu. Kawan saya mengatakan bahwa dia mengutip puisi “Peringatan” dari buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul terbitan Gramedia berjudul Nyanyian Akar Rumput.

Karena berasal dari sumber yang tentu saja otoritas kebenarannya tinggi, saya pun menerimanya sebagai versi yang benar. Jadi, “bila rakyat berani mengeluh”-lah yang dimaksud oleh Wiji Thukul, itu artinya sudah gawat di baris berikutnya. Case closed, kasus ditutup.

Kekeliruan itu kemungkinan bermula dari seseorang yang salah menuliskan isi “Peringatan” dan membagikannya hingga dikutip oleh yang lain dan membagikannya pula. Demikian terjadi terus menerus.

Baru-baru ini seorang kawan membagikan kutipan berbunyi:

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa,”

yang disebutnya dari Soe Hok Gie. Kata-kata itu terasa akrab dan kebetulan pula saya baru membaca cerpen “Sebotol Hujan untuk Sapardi” karya Joko Pinurbo.

Dalam cerpen itu, si tokoh utama diceritakan membaca kutipan serupa yang disebutkan sebagai tulisan Seno Gumira Ajidarma. Tentu saja tidak susah menemukan di dunia maya bahwa kutipan itu berasal dari esai Seno yang berjudul “Menjadi Tua di Jakarta.”

Bagi rezim Orde Baru yang berkuasa saat “Peringatan” ditulis pada 1986, tentu saja yang dianggap “gawat” adalah rakyat yang akhirnya berani mengeluh setelah sebelumnya hanya mampu bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalah mereka.

Rakyat yang berani mengeluh akan mengancam stabilitas dan keadaan yang kondusif, harmonis, aman terkendali, dan entah apalagi kata-kata yang digunakan kala itu untuk menyebutkan pentingnya suasana yang tanpa gejolak dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Meski begitu, sebenarnya dalam hati saya masih merasa lebih sreg dengan versi “bila rakyat tidak berani mengeluh”, karena bagi saya, rakyat yang tidak berani mengeluh lagi—itu artinya sudah gawat.

Baca Juga:  MAN 1 Gelar Feshona Rohis Mansa Islam Olimpiad

Ketidakberanian rakyat untuk mengeluh tersebut merupakan kelanjutan dari ketakutan mereka yang hanya mampu bersembunyi dan berbisik-bisik membicarakan masalah mereka sendiri, yang disebut Wiji Thukul seharusnya membuat penguasa sadar melalui kata-kata “penguasa harus waspada dan belajar mendengar.”

Dalam konteks kekinian, pada masa pasca-Orde Baru atau disebut era reformasi yang katanya demokrasi dijunjung tinggi ini, tentu saja yang disebut “sudah gawat” adalah bila rakyat tidak berani mengeluh.

Kebebasan mengemukakan pendapat yang dirasakan dalam era reformasi ini didukung dengan maraknya penggunaan internet dan kemudian munculnya media-media sosial.

Berbagai keluhan rakyat bisa tumpah begitu saja di dunia maya tanpa dapat dibendung oleh penguasa. Namun, sekitar sepuluh tahun terakhir ini, kita temui suatu fenomena baru:

munculnya bukan saja keluhan dari rakyat, melainkan juga dukungan kepada penguasa. Mereka ada yang memang mendukung secara sukarela, tetapi ada pula yang direkrut sebagai pemengaruh (influencer) untuk “mengiklankan” dan “membenarkan” apa pun yang dilakukan oleh penguasa.

Para pemengaruh itu akhirnya bisa jatuh menjadi pendengung (buzzer) yang menyerang tanpa ampun semua suara yang mengkritik penguasa.

Bagi mereka, suara-suara kritis dicap sebagai “nyinyiran dari barisan sakit hati.” Keadaan yang seperti itulah yang akhirnya membuat kondisi rakyat tidak berani mengeluh.

Rasa sreg pada versi “bila rakyat tidak berani mengeluh” kemudian kembali mendapat pembenaran dengan munculnya kiriman Instagram tanggal 10 Desember 2024 dari Penerbit KPG, yang merupakan kelompok penerbit buku kumpulan Nyanyian Akar Rumput.

Dalam postingan berlatar biru yang menampilkan foto Wiji Thukul itu, tertera puisi “Peringatan” dengan baris kesembilan berbunyi:

“Bila rakyat tidak berani mengeluh.”

Kasus kembali terbuka. Manakah yang sebenarnya dimaksud Wiji Thukul bahwa “itu artinya sudah gawat”?

Apakah rakyat yang berani mengeluh atau rakyat yang tidak berani mengeluh?

Bagaimana menurut Anda?

 

ANTON W.P. (Penikmat sastra dan literasi, tinggal di Pekanbaru)

 

Ketika seorang kawan mengirimkan (posting) puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul sebagai status Facebook-nya, kata-kata dalam puisi yang terdiri atas 17 baris itu memang mudah diingat dan sering dijadikan quote atau kutipan layaknya kata-kata mutiara.

Seperti halnya kata-kata dalam puisi “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono yang acapkali dijadikan kata-kata mutiara dalam undangan pernikahan.

Namun, ada yang terasa janggal ketika membaca kembali puisi yang, bagi saya, merupakan puisi Wiji Thukul yang paling dikenal dan diingat khalayak karena sering diperdengarkan dalam tiap kesempatan demonstrasi dan berbagai kegiatan memprotes penguasa yang zalim.

Kata-kata “bila rakyat berani mengeluh” pada baris kesembilan terasa aneh jika dibandingkan dengan kalimat pada baris-baris sebelumnya yang menunjukkan ketakutan rakyat dengan “kalau rakyat bersembunyi / dan berbisik-bisik / ketika membicarakan masalahnya sendiri.”

Bagi saya, rasanya yang lebih tepat adalah “bila rakyat tidak berani mengeluh”, dan inilah yang dalam ingatan saya merupakan isi puisi itu yang sebenarnya. Mungkinkah kawan saya salah dalam menulisnya, atau sayalah yang salah mengingat?

Untuk memastikan mana yang benar, segera saja saya menelusuri dunia maya. Hasilnya malah membuat saya semakin bingung. Puisi “Peringatan” bertebaran dalam dua versi yang berbeda. Ada yang tertulis “bila rakyat berani mengeluh”, dan ada pula yang tertulis “bila rakyat tidak berani mengeluh.”

Memang betul hanya terdapat perbedaan satu kata. Bila satu kata yang terlupa itu tidak membuat arti yang bertolak belakang, tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun, kata “tidak” tersebut menjadikan makna puisinya berubah dan sama sekali bertolak belakang.

Hal itu mengingatkan saya pada penggunaan istilah tak bergeming yang salah selama bertahun-tahun. Tak bergeming bagi kebanyakan orang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bergerak atau diam.

Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI (KBBI VI) dapat kita lihat bahwa arti kata bergeming itu sendiri adalah ‘tidak bergerak sedikit juga’ atau ‘diam saja’. Jadi tak bergeming sebenarnya adalah ‘tidak diam’ yang berarti ‘bergerak’. Sebuah arti yang berlawanan dari maksud yang ingin disampaikan.

Baca Juga:  Gelombang 2 UTBK-SBMPTN Unri 28 Mei-3 Juni

Setelah penemuan kekeliruan itu, sayangnya, masih saja ada yang salah dalam penggunaan tak bergeming tersebut.

Saya kemudian mengomentari status kawan itu untuk memberitahukan apa yang saya temukan di dunia maya dan menanyakan dari mana dia mengutip puisi itu. Kawan saya mengatakan bahwa dia mengutip puisi “Peringatan” dari buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul terbitan Gramedia berjudul Nyanyian Akar Rumput.

Karena berasal dari sumber yang tentu saja otoritas kebenarannya tinggi, saya pun menerimanya sebagai versi yang benar. Jadi, “bila rakyat berani mengeluh”-lah yang dimaksud oleh Wiji Thukul, itu artinya sudah gawat di baris berikutnya. Case closed, kasus ditutup.

Kekeliruan itu kemungkinan bermula dari seseorang yang salah menuliskan isi “Peringatan” dan membagikannya hingga dikutip oleh yang lain dan membagikannya pula. Demikian terjadi terus menerus.

Baru-baru ini seorang kawan membagikan kutipan berbunyi:

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa,”

yang disebutnya dari Soe Hok Gie. Kata-kata itu terasa akrab dan kebetulan pula saya baru membaca cerpen “Sebotol Hujan untuk Sapardi” karya Joko Pinurbo.

Dalam cerpen itu, si tokoh utama diceritakan membaca kutipan serupa yang disebutkan sebagai tulisan Seno Gumira Ajidarma. Tentu saja tidak susah menemukan di dunia maya bahwa kutipan itu berasal dari esai Seno yang berjudul “Menjadi Tua di Jakarta.”

Bagi rezim Orde Baru yang berkuasa saat “Peringatan” ditulis pada 1986, tentu saja yang dianggap “gawat” adalah rakyat yang akhirnya berani mengeluh setelah sebelumnya hanya mampu bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalah mereka.

Rakyat yang berani mengeluh akan mengancam stabilitas dan keadaan yang kondusif, harmonis, aman terkendali, dan entah apalagi kata-kata yang digunakan kala itu untuk menyebutkan pentingnya suasana yang tanpa gejolak dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Meski begitu, sebenarnya dalam hati saya masih merasa lebih sreg dengan versi “bila rakyat tidak berani mengeluh”, karena bagi saya, rakyat yang tidak berani mengeluh lagi—itu artinya sudah gawat.

Baca Juga:  MAN 1 Gelar Feshona Rohis Mansa Islam Olimpiad

Ketidakberanian rakyat untuk mengeluh tersebut merupakan kelanjutan dari ketakutan mereka yang hanya mampu bersembunyi dan berbisik-bisik membicarakan masalah mereka sendiri, yang disebut Wiji Thukul seharusnya membuat penguasa sadar melalui kata-kata “penguasa harus waspada dan belajar mendengar.”

Dalam konteks kekinian, pada masa pasca-Orde Baru atau disebut era reformasi yang katanya demokrasi dijunjung tinggi ini, tentu saja yang disebut “sudah gawat” adalah bila rakyat tidak berani mengeluh.

Kebebasan mengemukakan pendapat yang dirasakan dalam era reformasi ini didukung dengan maraknya penggunaan internet dan kemudian munculnya media-media sosial.

Berbagai keluhan rakyat bisa tumpah begitu saja di dunia maya tanpa dapat dibendung oleh penguasa. Namun, sekitar sepuluh tahun terakhir ini, kita temui suatu fenomena baru:

munculnya bukan saja keluhan dari rakyat, melainkan juga dukungan kepada penguasa. Mereka ada yang memang mendukung secara sukarela, tetapi ada pula yang direkrut sebagai pemengaruh (influencer) untuk “mengiklankan” dan “membenarkan” apa pun yang dilakukan oleh penguasa.

Para pemengaruh itu akhirnya bisa jatuh menjadi pendengung (buzzer) yang menyerang tanpa ampun semua suara yang mengkritik penguasa.

Bagi mereka, suara-suara kritis dicap sebagai “nyinyiran dari barisan sakit hati.” Keadaan yang seperti itulah yang akhirnya membuat kondisi rakyat tidak berani mengeluh.

Rasa sreg pada versi “bila rakyat tidak berani mengeluh” kemudian kembali mendapat pembenaran dengan munculnya kiriman Instagram tanggal 10 Desember 2024 dari Penerbit KPG, yang merupakan kelompok penerbit buku kumpulan Nyanyian Akar Rumput.

Dalam postingan berlatar biru yang menampilkan foto Wiji Thukul itu, tertera puisi “Peringatan” dengan baris kesembilan berbunyi:

“Bila rakyat tidak berani mengeluh.”

Kasus kembali terbuka. Manakah yang sebenarnya dimaksud Wiji Thukul bahwa “itu artinya sudah gawat”?

Apakah rakyat yang berani mengeluh atau rakyat yang tidak berani mengeluh?

Bagaimana menurut Anda?

 

ANTON W.P. (Penikmat sastra dan literasi, tinggal di Pekanbaru)

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

Ketika seorang kawan mengirimkan (posting) puisi “Peringatan” karya Wiji Thukul sebagai status Facebook-nya, kata-kata dalam puisi yang terdiri atas 17 baris itu memang mudah diingat dan sering dijadikan quote atau kutipan layaknya kata-kata mutiara.

Seperti halnya kata-kata dalam puisi “Aku Ingin” Sapardi Djoko Damono yang acapkali dijadikan kata-kata mutiara dalam undangan pernikahan.

Namun, ada yang terasa janggal ketika membaca kembali puisi yang, bagi saya, merupakan puisi Wiji Thukul yang paling dikenal dan diingat khalayak karena sering diperdengarkan dalam tiap kesempatan demonstrasi dan berbagai kegiatan memprotes penguasa yang zalim.

Kata-kata “bila rakyat berani mengeluh” pada baris kesembilan terasa aneh jika dibandingkan dengan kalimat pada baris-baris sebelumnya yang menunjukkan ketakutan rakyat dengan “kalau rakyat bersembunyi / dan berbisik-bisik / ketika membicarakan masalahnya sendiri.”

Bagi saya, rasanya yang lebih tepat adalah “bila rakyat tidak berani mengeluh”, dan inilah yang dalam ingatan saya merupakan isi puisi itu yang sebenarnya. Mungkinkah kawan saya salah dalam menulisnya, atau sayalah yang salah mengingat?

Untuk memastikan mana yang benar, segera saja saya menelusuri dunia maya. Hasilnya malah membuat saya semakin bingung. Puisi “Peringatan” bertebaran dalam dua versi yang berbeda. Ada yang tertulis “bila rakyat berani mengeluh”, dan ada pula yang tertulis “bila rakyat tidak berani mengeluh.”

Memang betul hanya terdapat perbedaan satu kata. Bila satu kata yang terlupa itu tidak membuat arti yang bertolak belakang, tentu saja tidak akan menjadi masalah. Namun, kata “tidak” tersebut menjadikan makna puisinya berubah dan sama sekali bertolak belakang.

Hal itu mengingatkan saya pada penggunaan istilah tak bergeming yang salah selama bertahun-tahun. Tak bergeming bagi kebanyakan orang digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang tidak bergerak atau diam.

Namun, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi VI (KBBI VI) dapat kita lihat bahwa arti kata bergeming itu sendiri adalah ‘tidak bergerak sedikit juga’ atau ‘diam saja’. Jadi tak bergeming sebenarnya adalah ‘tidak diam’ yang berarti ‘bergerak’. Sebuah arti yang berlawanan dari maksud yang ingin disampaikan.

Baca Juga:  Nopriadi Pimpin LLDIKTI Riau dan Kepri

Setelah penemuan kekeliruan itu, sayangnya, masih saja ada yang salah dalam penggunaan tak bergeming tersebut.

Saya kemudian mengomentari status kawan itu untuk memberitahukan apa yang saya temukan di dunia maya dan menanyakan dari mana dia mengutip puisi itu. Kawan saya mengatakan bahwa dia mengutip puisi “Peringatan” dari buku kumpulan lengkap puisi Wiji Thukul terbitan Gramedia berjudul Nyanyian Akar Rumput.

Karena berasal dari sumber yang tentu saja otoritas kebenarannya tinggi, saya pun menerimanya sebagai versi yang benar. Jadi, “bila rakyat berani mengeluh”-lah yang dimaksud oleh Wiji Thukul, itu artinya sudah gawat di baris berikutnya. Case closed, kasus ditutup.

Kekeliruan itu kemungkinan bermula dari seseorang yang salah menuliskan isi “Peringatan” dan membagikannya hingga dikutip oleh yang lain dan membagikannya pula. Demikian terjadi terus menerus.

Baru-baru ini seorang kawan membagikan kutipan berbunyi:

“Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa,”

yang disebutnya dari Soe Hok Gie. Kata-kata itu terasa akrab dan kebetulan pula saya baru membaca cerpen “Sebotol Hujan untuk Sapardi” karya Joko Pinurbo.

Dalam cerpen itu, si tokoh utama diceritakan membaca kutipan serupa yang disebutkan sebagai tulisan Seno Gumira Ajidarma. Tentu saja tidak susah menemukan di dunia maya bahwa kutipan itu berasal dari esai Seno yang berjudul “Menjadi Tua di Jakarta.”

Bagi rezim Orde Baru yang berkuasa saat “Peringatan” ditulis pada 1986, tentu saja yang dianggap “gawat” adalah rakyat yang akhirnya berani mengeluh setelah sebelumnya hanya mampu bersembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalah mereka.

Rakyat yang berani mengeluh akan mengancam stabilitas dan keadaan yang kondusif, harmonis, aman terkendali, dan entah apalagi kata-kata yang digunakan kala itu untuk menyebutkan pentingnya suasana yang tanpa gejolak dalam melaksanakan pembangunan nasional.

Meski begitu, sebenarnya dalam hati saya masih merasa lebih sreg dengan versi “bila rakyat tidak berani mengeluh”, karena bagi saya, rakyat yang tidak berani mengeluh lagi—itu artinya sudah gawat.

Baca Juga:  MAN 1 Gelar Feshona Rohis Mansa Islam Olimpiad

Ketidakberanian rakyat untuk mengeluh tersebut merupakan kelanjutan dari ketakutan mereka yang hanya mampu bersembunyi dan berbisik-bisik membicarakan masalah mereka sendiri, yang disebut Wiji Thukul seharusnya membuat penguasa sadar melalui kata-kata “penguasa harus waspada dan belajar mendengar.”

Dalam konteks kekinian, pada masa pasca-Orde Baru atau disebut era reformasi yang katanya demokrasi dijunjung tinggi ini, tentu saja yang disebut “sudah gawat” adalah bila rakyat tidak berani mengeluh.

Kebebasan mengemukakan pendapat yang dirasakan dalam era reformasi ini didukung dengan maraknya penggunaan internet dan kemudian munculnya media-media sosial.

Berbagai keluhan rakyat bisa tumpah begitu saja di dunia maya tanpa dapat dibendung oleh penguasa. Namun, sekitar sepuluh tahun terakhir ini, kita temui suatu fenomena baru:

munculnya bukan saja keluhan dari rakyat, melainkan juga dukungan kepada penguasa. Mereka ada yang memang mendukung secara sukarela, tetapi ada pula yang direkrut sebagai pemengaruh (influencer) untuk “mengiklankan” dan “membenarkan” apa pun yang dilakukan oleh penguasa.

Para pemengaruh itu akhirnya bisa jatuh menjadi pendengung (buzzer) yang menyerang tanpa ampun semua suara yang mengkritik penguasa.

Bagi mereka, suara-suara kritis dicap sebagai “nyinyiran dari barisan sakit hati.” Keadaan yang seperti itulah yang akhirnya membuat kondisi rakyat tidak berani mengeluh.

Rasa sreg pada versi “bila rakyat tidak berani mengeluh” kemudian kembali mendapat pembenaran dengan munculnya kiriman Instagram tanggal 10 Desember 2024 dari Penerbit KPG, yang merupakan kelompok penerbit buku kumpulan Nyanyian Akar Rumput.

Dalam postingan berlatar biru yang menampilkan foto Wiji Thukul itu, tertera puisi “Peringatan” dengan baris kesembilan berbunyi:

“Bila rakyat tidak berani mengeluh.”

Kasus kembali terbuka. Manakah yang sebenarnya dimaksud Wiji Thukul bahwa “itu artinya sudah gawat”?

Apakah rakyat yang berani mengeluh atau rakyat yang tidak berani mengeluh?

Bagaimana menurut Anda?

 

ANTON W.P. (Penikmat sastra dan literasi, tinggal di Pekanbaru)

 

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari