Jumat, 22 November 2024

Bukan Ikrar Biasa

- Advertisement -

Bulan Oktober menjadi tonggak sejarah bangsa dalam menancapkan panji-panji nasionalisme. Panji-panji itu dihentakkan dengan ucapan sumpah anak muda bangsa dengan latar belakang dan organisasi yang berbeda. Bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Sumpah itu dipatrikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan nama Sumpah Pemuda.

Walau Tanah Air sedang terjajah, tapi semangat pemuda tidak pernah surut berjuang untuk merekat persatuan bangsa sebagai pilar utama dalam mencapai kemerdekaan. Ikrar Sumpah Pemuda berjaya membangunkan ruh kemerdekaan yang mati suri, kembali berdetak, bergerak, dan hidup. Pemuda Indonesia menegasikan kepada seluruh anak bangsa, bahwa pemuda saat itu adalah jantung perjuangan dan perubahan bangsa.

- Advertisement -

Kini, lakaran sejarah itu sudah berusia 91 tahun dan lafal sumpah sudah banyak yang dilupakan generasi sekarang. Bahkan ada yang tidak mengenal apa itu Sumpah Pemuda. Benarkah ini indikasi bahwa Sumpah Pemuda tidak memiliki daya magis dalam merekat bangsa, atau dalam bahasa anak muda sekarang tidak kontekstual lagi dengan zaman sekarang? Sebab, topik tanah air, bangsa dan bahasa sudah melembaga dalam negara Indonesia dan tidak perlu diutak-atik lagi.

Sepintas Sumpah Pemuda memang ikrar biasa yang kurang menggugah generasi sekarang, tapi sejatinya Sumpah Pemuda memiliki energi batin yang sangat mumpuni dalam memompa setiap aliran darah anak bangsa terutama pemuda. Apalagi pemuda masa kini telah banyak terjebak dalam perangkap zaman milenial. Untuk itu,  memaknai Sumpah Pemuda memiliki urgensi dalam menjaga dan  memelihara hala tuju pembangunan bangsa.

Bersumpah bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu bukanlah ikrar sejarah yang berhenti ketika tekad itu sudah tercapai, tapi harus senantiasa hidup dalam setiap tarikan nafas kebangsaan. Sebab, bila makna ini berhenti atau tidak lagi menyebati dalam hidup laku anak bangsa, tekad yang sudah tercapai bisa saja berkecai dan bercerai berai. Indonesia memang berdiri, bahasa Indonesia memanglah wujud, namun keberadaan dan kewujudannya tidak lagi menyuarakan “nafas” Indonesia. Itu artinya, lonceng kematian sebagai bangsa berdaulat semakin dekat.

- Advertisement -
Baca Juga:  Inovasi Pembelajaran di Masa Pandemi

Apalagi kemaruk zaman telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja sektor ekonomi yang banyak dikuasai oleh asing sedangkan rakyat terus menjadi konsumen dan penonton sejati di negeri sendiri. Rakyat terus disesaki oleh dominasi kapitalisme dalam semua lorong kehidupannya. Di dukung pula oleh pendidikan yang berorientasi pasar sehingga menciptakan “budak-budak” baru dalam era globalisasi (Pamoe Rahardjo, 2002). Padahal Soekarno pernah mengungkapkan jangan menjadi budak-budak asing di negeri sendiri. Alhasil, nilai-nilai nasionalisme yang dirajut generasi pemuda dulu, kini sudah mulai longgar.

Ironisnya lagi pemuda Indonesia banyak yang terperangkap dalam jebakan zaman. Seperti mengosumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran, kriminal. Bahkan Badan Narkotika Nasional (BNN) mengatakan penggunaan narkoba di generasi muda naik hingga 28 persen yang  sebelumnya hanya 20 persen. Belum lagi yang melakukan seks pra nikah, aborsi, tawuran serta sikap konsumeristik, hedonistik, materialistik dan individualistik seakan menyebati dalam laku pemuda saat ini. Akibatnya, pemuda Indonesia telah kehilangan pancang kendalinya. Padahal pemuda sebagaimana lakaran sejarah adalah aset dan masa depan bangsa. Apalagi Indonesia akan mengalami limpahan bonus demografi hingga 2030.

Pemuda dan Perubahan

Dalam lipatan sejarah dunia, akar perubahan itu selalu dicanangkan dan dilakukan pemuda. Al-Qur’an mencatat bagaimana Ibrahim, Musa, Isa dalam usia muda melakukan perubahan dan memperbaiki tatanan masyarakat yang telah rusak. Demikian juga yang dilakukan oleh pemuda Ashabul Kahfi dalam menentang penindasan penguasa yang zalim dan sewenang-wenang, (QS, 18:13-14). Pada masa Nabi Muhammad pun, tokoh-tokoh pemuda seperti Ali Bin Abu Thalib, Zubbair Bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Zaid bin Tsabit  dan banyak lagi sahabat nabi yang lain menjadi penggerak perubahan.

Baca Juga:  Desa Tangguh Bencana

Selanjutnya dalam era peradaban Yunani, semangat intelektualitas pemudanya seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan sebagainya berjaya mewarnai kecemerlangan pemikiran saat itu. Demikian juga revolusi besar di berbagai belahan negara dunia digerakkan oleh pemuda, seperti di Amerika (1950), Spanyol (1968), Hungaria (1956), Amerika Latin (1928), Aljazair (1954), Sudan (1964), Jepang (1960), Korea Selatan (1960). Sehingga benarlah ungkapan Bung Karno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, “Berikanlah aku 10 pemuda, maka akan ku rubah bangsa ini”.

Kini, saatnya pemuda Indonesia memaknai kembali Sumpah Pemuda untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa. Menghilangkan segala sekat-sekat yang menghambat persatuan bangsa, kemudian menjadikannya sebagai lecutan keras agar generasi muda kembali kepada khittahnya sebagai agen perubahan bangsa. Bukan sebaliknya, menjadi beban berat yang terus menghimpit bahu Indonesia, sehingga sulit berdiri tegak dan berlari dalam meraih kesuksesan sebagai bangsa.

Semoga pemuda Indonesia tersadar dari lamunan jebakan zaman dan memaknai kembali Sumpah Pemuda yang dilafalkan 91 silam dalam setiap derap langkah kakinya yang tegap. Sebab, usia muda adalah usia yang menyimpan energi kebangkitan dan semangat pantang menyerah. Mengutip ungkapan Yusuf Qardawi, “jika diibaratkan matahari, maka usia muda sama halnya dengan pukul 12 ketika matahari bersinar paling terang dan paling panas”. Sinar terang dan panasnya sangat diperlukan dalam menerangi langkah kaki Indonesia menuju kemajuan serta menyulut api nasionalisme agar tetap me­nyala.***

Bulan Oktober menjadi tonggak sejarah bangsa dalam menancapkan panji-panji nasionalisme. Panji-panji itu dihentakkan dengan ucapan sumpah anak muda bangsa dengan latar belakang dan organisasi yang berbeda. Bersumpah untuk bertanah air satu, berbangsa satu dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Sumpah itu dipatrikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dengan nama Sumpah Pemuda.

Walau Tanah Air sedang terjajah, tapi semangat pemuda tidak pernah surut berjuang untuk merekat persatuan bangsa sebagai pilar utama dalam mencapai kemerdekaan. Ikrar Sumpah Pemuda berjaya membangunkan ruh kemerdekaan yang mati suri, kembali berdetak, bergerak, dan hidup. Pemuda Indonesia menegasikan kepada seluruh anak bangsa, bahwa pemuda saat itu adalah jantung perjuangan dan perubahan bangsa.

- Advertisement -

Kini, lakaran sejarah itu sudah berusia 91 tahun dan lafal sumpah sudah banyak yang dilupakan generasi sekarang. Bahkan ada yang tidak mengenal apa itu Sumpah Pemuda. Benarkah ini indikasi bahwa Sumpah Pemuda tidak memiliki daya magis dalam merekat bangsa, atau dalam bahasa anak muda sekarang tidak kontekstual lagi dengan zaman sekarang? Sebab, topik tanah air, bangsa dan bahasa sudah melembaga dalam negara Indonesia dan tidak perlu diutak-atik lagi.

Sepintas Sumpah Pemuda memang ikrar biasa yang kurang menggugah generasi sekarang, tapi sejatinya Sumpah Pemuda memiliki energi batin yang sangat mumpuni dalam memompa setiap aliran darah anak bangsa terutama pemuda. Apalagi pemuda masa kini telah banyak terjebak dalam perangkap zaman milenial. Untuk itu,  memaknai Sumpah Pemuda memiliki urgensi dalam menjaga dan  memelihara hala tuju pembangunan bangsa.

- Advertisement -

Bersumpah bertanah air, berbangsa dan berbahasa satu bukanlah ikrar sejarah yang berhenti ketika tekad itu sudah tercapai, tapi harus senantiasa hidup dalam setiap tarikan nafas kebangsaan. Sebab, bila makna ini berhenti atau tidak lagi menyebati dalam hidup laku anak bangsa, tekad yang sudah tercapai bisa saja berkecai dan bercerai berai. Indonesia memang berdiri, bahasa Indonesia memanglah wujud, namun keberadaan dan kewujudannya tidak lagi menyuarakan “nafas” Indonesia. Itu artinya, lonceng kematian sebagai bangsa berdaulat semakin dekat.

Baca Juga:  Aroma Korupsi dalam Rangkap Jabatan

Apalagi kemaruk zaman telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja sektor ekonomi yang banyak dikuasai oleh asing sedangkan rakyat terus menjadi konsumen dan penonton sejati di negeri sendiri. Rakyat terus disesaki oleh dominasi kapitalisme dalam semua lorong kehidupannya. Di dukung pula oleh pendidikan yang berorientasi pasar sehingga menciptakan “budak-budak” baru dalam era globalisasi (Pamoe Rahardjo, 2002). Padahal Soekarno pernah mengungkapkan jangan menjadi budak-budak asing di negeri sendiri. Alhasil, nilai-nilai nasionalisme yang dirajut generasi pemuda dulu, kini sudah mulai longgar.

Ironisnya lagi pemuda Indonesia banyak yang terperangkap dalam jebakan zaman. Seperti mengosumsi narkoba, pergaulan bebas, tawuran, kriminal. Bahkan Badan Narkotika Nasional (BNN) mengatakan penggunaan narkoba di generasi muda naik hingga 28 persen yang  sebelumnya hanya 20 persen. Belum lagi yang melakukan seks pra nikah, aborsi, tawuran serta sikap konsumeristik, hedonistik, materialistik dan individualistik seakan menyebati dalam laku pemuda saat ini. Akibatnya, pemuda Indonesia telah kehilangan pancang kendalinya. Padahal pemuda sebagaimana lakaran sejarah adalah aset dan masa depan bangsa. Apalagi Indonesia akan mengalami limpahan bonus demografi hingga 2030.

Pemuda dan Perubahan

Dalam lipatan sejarah dunia, akar perubahan itu selalu dicanangkan dan dilakukan pemuda. Al-Qur’an mencatat bagaimana Ibrahim, Musa, Isa dalam usia muda melakukan perubahan dan memperbaiki tatanan masyarakat yang telah rusak. Demikian juga yang dilakukan oleh pemuda Ashabul Kahfi dalam menentang penindasan penguasa yang zalim dan sewenang-wenang, (QS, 18:13-14). Pada masa Nabi Muhammad pun, tokoh-tokoh pemuda seperti Ali Bin Abu Thalib, Zubbair Bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, Zaid bin Tsabit  dan banyak lagi sahabat nabi yang lain menjadi penggerak perubahan.

Baca Juga:  Politik NU, Geger-an atau Ger-ger-an?

Selanjutnya dalam era peradaban Yunani, semangat intelektualitas pemudanya seperti Socrates, Plato, Aristoteles, dan sebagainya berjaya mewarnai kecemerlangan pemikiran saat itu. Demikian juga revolusi besar di berbagai belahan negara dunia digerakkan oleh pemuda, seperti di Amerika (1950), Spanyol (1968), Hungaria (1956), Amerika Latin (1928), Aljazair (1954), Sudan (1964), Jepang (1960), Korea Selatan (1960). Sehingga benarlah ungkapan Bung Karno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, “Berikanlah aku 10 pemuda, maka akan ku rubah bangsa ini”.

Kini, saatnya pemuda Indonesia memaknai kembali Sumpah Pemuda untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan berbangsa. Menghilangkan segala sekat-sekat yang menghambat persatuan bangsa, kemudian menjadikannya sebagai lecutan keras agar generasi muda kembali kepada khittahnya sebagai agen perubahan bangsa. Bukan sebaliknya, menjadi beban berat yang terus menghimpit bahu Indonesia, sehingga sulit berdiri tegak dan berlari dalam meraih kesuksesan sebagai bangsa.

Semoga pemuda Indonesia tersadar dari lamunan jebakan zaman dan memaknai kembali Sumpah Pemuda yang dilafalkan 91 silam dalam setiap derap langkah kakinya yang tegap. Sebab, usia muda adalah usia yang menyimpan energi kebangkitan dan semangat pantang menyerah. Mengutip ungkapan Yusuf Qardawi, “jika diibaratkan matahari, maka usia muda sama halnya dengan pukul 12 ketika matahari bersinar paling terang dan paling panas”. Sinar terang dan panasnya sangat diperlukan dalam menerangi langkah kaki Indonesia menuju kemajuan serta menyulut api nasionalisme agar tetap me­nyala.***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari