Naluriah manusia, bak pepatah "banyak berjalan, banyak dilihat." Setiap kesan pasti membekas. Namun, kesan akan membekas ternyata bila atas fenomena baik atau buruk. Fenomena baik akan menjadi sebutan, fenomena buruk jadi ingatan tak terlupakan. Anehnya, justru manusia lupa dan tak memiliki kesan atas peristiwa yang dianggap "biasa-biasa saja" apalagi berlalu sekelip mata.
Fenomena ini agaknya dapat terlihat pada ibadah puasa. Acapkali yang teringat dan berkesan hanya pada asesoris puasa, seperti peristiswa berbuka bersama atau sejenisnya yang berkaitan tak mengenakkan. Kesemua yang teringat sebagai kesan hanya pada sisi asesoris. Sementara pada sisi substansi Ramadan sebagai ruh ibadah puasa hilang sirna tanpa kesan. Hal ini memberikan makna bahwa ibadah puasa selama bulan Ramadan merupakan fenomena "biasa-biasa saja" sehingga tak memberikan kesan dan pesan bagi yang menjalankannya. Padahal, puasa mengajarkan makna kehidupan yang dalam dan langsung bersentuhan secara langsung dengan kehidupan manusia.
Ada makna yang seyogyanya berkesan, namun hilang tanpa kesan dalam praktek puasa dan realitas kehidupan manusia, yaitu : Pertama, makna kesetaraan dalam menahan haus dan lapar antara si kaya dan si miskin, pejabat dan rakyat, atasan dan bawahan, kaum intelektual dan kaum pinggiran, dan lainnya. Makna ini hilang dari kesan yang seyogyanya membekas pada diri. Makna kesetaraan yang patut dielaborasi lebih luas, bukan sebatas haus dan lapar. Kesetaraan atas fungsi kehambaan dan kekhalifahan yang diukur dari kualitas keshalehan vertikal dan horizontal.
Sayangnya, kesetaraan hanya dimaknai pada batas kesamaan rasa haus dan lapar, tanpa mau mengelaborasi lebih jauh ke dasar diri. Ternyata, manusia hanya mengambil sisi kesetaraan yang dirasa ada manfaat baginya. Sedangkan sisi kesetaraan yang menyentuh "sisi kejelekan" dirinya dicampakkan dan dinafikan. Di bulan Ramadan, para pemilik kuasa tetap tak ingin dikritik, apalagi disalahkan. Pemilik singgasana masih anggun dengan "kursi" yang tak mampu "menurunkan tensi kesombongan" atas kadigjayaannya, meski sejenak di bulan Ramadan. Pemilik "telunjuk" menganggap "kelingking" dalam pandangan sinis, tanpa mempertimbangkan perasaan yang lain.
Kesombongan berganti keangkuhan level tinggi seakan semakin kokoh bertahan, bahkan meski di bulan Ramadan yang mengajarkan kesetaraan tak mampu berbuat banyak dan gagal memberikan kesan. Bahkan anehnya, kadang, manusia ternyata takut melihat "kotornya diri". Si kelingking yang telah terjual harga dirinya pun mencari jalan selamat. Asal bapak senang (ABS) merupakan jurus klasik yang aman digunakan. Semua ambil jurus selamat meski harus menjual kebenaran. Paradigma Ramadan bulan "kesetaraan" berubah menjadi selamanya bulan "cari selamat". Salah dan benar dilihat dari siapa sumbernya. Bila bersumber dari "telunjuk", maka kesalahan dianggap keshalehan. Namun, bila bersumber dari "kelingking", kebenaran dianggap ketidakwajaran. He he he.. sungguh era keanehan.
Kedua, untaian aktivitas sebatas publikasi seremonial yang dihumbar dengan pendekatan "mubazir". Media sosial dianggap mampu mendongkrak popularitas keshalehan sosial secara masif. Bila publikasi yang dilakukan bertujuan membangun motovasi agar keshalehan sosial dapat membumi, maka selamatlah diri. Sebab, aktivitasnya dilakukan untuk mengingatkan sesama melakukan aktivitas yang bernilai amal jariyah.
Namun, bila publikasi hanya mengedepankan tujuan untuk dipandang memiliki keshalehan sosial yang tinggi, maka merugilah diri. Sebab, apa yang dilakukan bagai seorang yang membawa seember penuh air, namun sampai ke tujuan, ember ternyata kosong. Sebab, embernya bocor yang menyebabkan air tumpah sebelum sampai ke tujuan.
Bila puasa mengajarkan untuk mengendalikan "nafsu syahwat", justeru selama ramadhan manusia melepaskan keinginan materialnya melebihi di luar ramadhan. Keserakahan semakin menjadi, meski tak lagi peduli dengan perkembangan wabah Covid-19 yang semakin menggila. Ketiga, puasa hanya dijalankan sebagai ibadah personal. Padahal, puasa juga mengandung dimensi sosial. Di bulan puasa umat disibukkan oleh "kulit kehidupan" bukan "isi kehidupan". Hal yang berkaitan kulit cepat menjadi pusat perbincangan, sedangkan yang berkaitan isi dianggap angin lalu. Kasus kritik suara microfon masjid yang dianggap mengganggu justeru diangkat menjadi isu hangat yang patut didiskusikan.
Sedangkan pengaruh lantunan ayat al-Quran dan azan yang disalurkan melalui microfon yang mampu memberi ketenangan jiwa tak pernah diangkat kepermukaan. Sungguh aneh, di bulan Ramadan saja telah gagal menjadikan diri sebagai muttaqien. Na’uzubillahi min dzaaliik.***