Tiga amanat reformasi 1998 adalah memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketiga perbuatan saling berkorelasi satu sama lain, sehingga sistem pemerintahan Indonesia kala itu dipandang perlu untuk direformasi, dibentuk ulang yang dapat mencegah adanya korupsi, kolusi dan nepotisme. Di era Orde Baru, seorang pegawai negeri sipil atau anggota ABRI ketika itu dapat merangkap sebagai menteri, sebagai gubernur dan jabatan-jabatan lainnya yang semuanya tetap berhak menerima gaji atau penghasilan tetap dari negara.
Perbaikan terus dilakukan, seorang menjabat jabatan negeri yang menerima penghasilan tetap dari negara dilarang merangkap jabatan yang juga menerima penghasilan dari negara. Ia diwajibkan memilih di antara dua jabatan yang semuanya menerima penghasilan dari negara. Berbagai aturan dibuat dan bagi pelanggar diancam dengan tegas. Pokoknya tidak boleh ada sumber penerimaan yang bersifat double accounting.
Jenis-Jenis Korupsi
Dari sekian banyak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi. Menurut Adami Chazawi sebagaimana ditulis dalam Buku Saku KPK, Memahami untuk Membasmi, korupsi dibagi dalam 30 jenis.
Saya membedakan tindak pidana korupsi ke dalam enam kelompok yaitu: Korupsi dalam arti merugikan keuangan negara. Korupsi dalam hubungan dengan tugas Pegawai Negeri dan TNI/Polri seperti penggelapan dalam jabatan, pemerasan, penghilangan bukti administrasi dan pemalsuan administrasi. Perbuatan curang baik oleh pemborong maupun oleh pegawai negeri. Suap menyuap. Gratifikasi. Tindak pidana lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
Perbuatan Melawan Hukum
Adanya rangkap jabatan dapat pula berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Kemungkinan terjadinya korupsi terkait rangkap jabatan adalah korupsi menurut Pasal 2 atau Pasal 3. Yang dapat diminta pertanggungjawaban bukan orang menduduki jabatan itu, akan tetapi orang yang mengangkat pejabat yang rangkap jabatan itu, dengan catatan jika rangkap jabatan itu adalah perbuatan yang dilarang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan dapat diperhitungkan telah terjadinya kerugian negara akibat membayarkan penghasilan tetap kepada seseorang yang dilarang untuk merangkap jabatan. Jika tidak ada larangan untuk merangkap jabatan, meskipun dapat ditemukan kerugian negara, maka dapat disimpulkan tidak ada korupsi dalam pengangkatan jabatan itu.
Perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dalam hukum perdata diatur lebih lanjut dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW).
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 menyatakan penjelasan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mengatur perbuatan melawan hukum materiil bertentangan dengan UUD 1945 dan telah pula dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya putusan itu, maka pengertian melawan hukum dipersempit menjadi hanya terbatas jika ada pelanggaran hukum yang bersifat formal.
Rangkap Jabatan sebagai Korupsi?
Seandainya pengertian melawan hukum tidak dibatasi hanya pada hukum secara formal, maka perbuatan rangkap jabatan dalam jabatan negara tentu dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, di mana seharusnya seseorang yang sudah mendapatkan penghasilan tetap dan berbagai fasilitas dari negara, tidak selayaknya mendapatkan penghasilan dan fasilitas lagi dari sumber keuangan yang sama yaitu negara. Berbagai peraturan dalam bentuk hukum formal sesungguhnya sudah mengatur larangan rangkap jabatan tersebut dan jika dimungkinkan adanya rangkap jabatan, yang bersangkutan tidak diperbolehkan menerima fasilitas dan penghasilan tetap untuk kedua atau ketiga kalinya.
Jika dianggap terpenuhi unsur melawan hukum dan dapat dibuktikan timbulnya pembayaran yang bersifat dualisme dari sumber keuangan negara, maka perbuatan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian negara dan pejabat yang mengangkat seseorang dalam jabatan rangkap dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 atau Pasal 3. Timbulnya pengeluaran negara akibat dari suatu perbuatan melawan hukum dapat dipandang sebagai kerugian negara.
Namun jika tidak ada ketentuan yang secara khusus melarang rangkap jabatan untuk suatu jabatan itu, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada korupsi dalam pengkatan jabatan rangkap tersebut karena tidak ada perbuatan melawan hukum secara formal yang terjadi. ***