Senin, 25 November 2024
spot_img

Kembalikan Demokrasi pada Posisinya

Demokrasi hanyalah mimpi ketika korupsi, politik uang, kekerasan, terorisme, dan aneka konflik horizontal masih marak terjadi di Indonesia. Ketika media menjadi sarana efektif menyampaikan suara (pendapat) dibungkam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penguasa membentuk polisi digital untuk menjerat pelaku yang dianggap membangkang. Bersuara berarti harus siap dipenjarakan.

Degradasi demokrasi mulai kentara ketika dominasi kekuasaan berkumpul melakukan praktik kesepakatan sistem oligarki. Mengorbankan kepentingan rakyat untuk memperkaya diri. Mengabaikan keadilan demi popularitas ketokohan. Rakyat dijadikan tumbal menghancurkan tatanan nilai, sosial, dan budaya bangsa. Lingkungan hidup diekspolitasi untuk sekelompok orang dan demokrasi berubah menjadi turbo kapitalisme.

Pembangunan tanpa konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) kerap dilakukan. Hak-hak warga dibeli dengan dalih amanat konstitusi. Kelestarian lingkungan tidak dipertimbangkan sebagai aset kehidupan di masa mendatang. Demokrasi malah dijadikan ajang menguasai negeri sebab segalanya bisa dibeli dengan uang.

Konsep pemerintahan teknokrat dijadikan acuan utama pembangunan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Mementingkan pembangunan fisik dengan menggunakan teknologi, sedangkan manusia dibentuk untuk mengabdi pada kepentingan industri. Demi memuluskan cita-cita, pemerintah sering dicap penguasa diktator karena keterlibatan militer dalam membantu pemerintah menjalankan kerakusan kebijakan.

Baca Juga:  Pekanbaru Menuju Kota Berketahanan Iklim  (CRIC/Climate Ressilient Inklusive Cities)

Esensi kemajuan bangsa dicitrakan dari pesatnya pembangunan, sedangkan kebodohan, kemiskinan, intoleransi masih marak terjadi di berbagai daerah. Alih-alih menjadi negara yang demokratis, Indonesia terjebak pada sistem negara oligarkis. Membeli media untuk pencitraan, menyewa agen asing untuk membangun krisis kepercayaan, mendikte sistem agar masyarakat tunduk dan patuh pada penguasa.

Oposisi selalu diintimidasi dan dikucilkan. Kritikus dibungkam dan diasingkan. Tersisa pemuja pemerintah yang membayar beberapa pekerja untuk menyebarkan virus kebohongan di masyarakat. Demokrasi hanyalah ilusi meski sudah lama teriak-teriak reformasi. Korupsi masih membudaya ketika putusan hukum di pengadilan sering berkomedi.

Politikus adalah artis politik dadakan untuk menunjang suara partai. Ketika berkuasa, kepedulian sosial dan suara-suara keadilan hilang di gedung parlemen. Demokrasi di Indonesia hanya sebatas memilih wakil rakyat dan pemimpin secara langsung. Perkara manipulasi perhitungan suara, kecurangan selama masa kampanye, hingga masifnya politik uang bukanlah urusan rakyat yang merindukan demokrasi yang sehat.

Kompromi politik busuk masih dijadikan agenda mereduksi demokrasi. Narasi konstitisi, pancasila, NKRI harga mati, hanyalah pengalihan isu agar bebas melegitimasi kejahatan politik domestik. Politik adalah desain model bisnis yang ketika terjun harus menyiapkan modal besar dan berniat mendapatkan keuntungan atas modal yang sudah dikeluarkan.

Baca Juga:  Kartu Prakerja untuk Pengangguran

Rakyat dipaksa membayar pajak, demokrasi malah diinjak-injak. Rakyat tidak pernah diajak diskusi dalam pengambilan kebijakan. Analis dan praktisi sering dilalaikan ketika menyusun undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya. Ujug-ujug rakyat diberitahukan pengesahan aturan yang terlanjur diketok palu di parlemen. Rakyat demo dibiarkan sampai kehabisan suara. Tidak akan ada evaluasi di negeri oligarki.

Harga sembako mulai meningkat, upah buruh dipangkas sedemikian rupa. Penguasa masih bisa mendongeng tentang keadilan yang merata. Hukum dihapus dengan perilaku sopan di pengadilan, koruptor dipangkas masa tahanan, pelaku kriminal dianggap kelalaian, dan masyarakat yang menyuarakan perlawanan terhadap alih fungsi lahan dituduh makar.

Demokrasi dibeli korporasi. Pemerintah butuh uang untuk melunasi hutang. Pejabat butuh uang untuk mengembalikan modal kampanye. Kapitalis datang menawarkan presentasi simbiosis mutualisme. Rakyat hanya butuh diam menerima dampak dari perilaku kontrademokrasi pemerintah dan sekongkolnya.

Demokrasi harus dikembalikan kepada posisinya. Memberikan wadah menyampaikan kegelisahan terhadap kecacatan kebijakan.***

 

Demokrasi hanyalah mimpi ketika korupsi, politik uang, kekerasan, terorisme, dan aneka konflik horizontal masih marak terjadi di Indonesia. Ketika media menjadi sarana efektif menyampaikan suara (pendapat) dibungkam dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penguasa membentuk polisi digital untuk menjerat pelaku yang dianggap membangkang. Bersuara berarti harus siap dipenjarakan.

Degradasi demokrasi mulai kentara ketika dominasi kekuasaan berkumpul melakukan praktik kesepakatan sistem oligarki. Mengorbankan kepentingan rakyat untuk memperkaya diri. Mengabaikan keadilan demi popularitas ketokohan. Rakyat dijadikan tumbal menghancurkan tatanan nilai, sosial, dan budaya bangsa. Lingkungan hidup diekspolitasi untuk sekelompok orang dan demokrasi berubah menjadi turbo kapitalisme.

- Advertisement -

Pembangunan tanpa konsep Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) kerap dilakukan. Hak-hak warga dibeli dengan dalih amanat konstitusi. Kelestarian lingkungan tidak dipertimbangkan sebagai aset kehidupan di masa mendatang. Demokrasi malah dijadikan ajang menguasai negeri sebab segalanya bisa dibeli dengan uang.

Konsep pemerintahan teknokrat dijadikan acuan utama pembangunan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Mementingkan pembangunan fisik dengan menggunakan teknologi, sedangkan manusia dibentuk untuk mengabdi pada kepentingan industri. Demi memuluskan cita-cita, pemerintah sering dicap penguasa diktator karena keterlibatan militer dalam membantu pemerintah menjalankan kerakusan kebijakan.

- Advertisement -
Baca Juga:  Membunuh Rasa Ego

Esensi kemajuan bangsa dicitrakan dari pesatnya pembangunan, sedangkan kebodohan, kemiskinan, intoleransi masih marak terjadi di berbagai daerah. Alih-alih menjadi negara yang demokratis, Indonesia terjebak pada sistem negara oligarkis. Membeli media untuk pencitraan, menyewa agen asing untuk membangun krisis kepercayaan, mendikte sistem agar masyarakat tunduk dan patuh pada penguasa.

Oposisi selalu diintimidasi dan dikucilkan. Kritikus dibungkam dan diasingkan. Tersisa pemuja pemerintah yang membayar beberapa pekerja untuk menyebarkan virus kebohongan di masyarakat. Demokrasi hanyalah ilusi meski sudah lama teriak-teriak reformasi. Korupsi masih membudaya ketika putusan hukum di pengadilan sering berkomedi.

Politikus adalah artis politik dadakan untuk menunjang suara partai. Ketika berkuasa, kepedulian sosial dan suara-suara keadilan hilang di gedung parlemen. Demokrasi di Indonesia hanya sebatas memilih wakil rakyat dan pemimpin secara langsung. Perkara manipulasi perhitungan suara, kecurangan selama masa kampanye, hingga masifnya politik uang bukanlah urusan rakyat yang merindukan demokrasi yang sehat.

Kompromi politik busuk masih dijadikan agenda mereduksi demokrasi. Narasi konstitisi, pancasila, NKRI harga mati, hanyalah pengalihan isu agar bebas melegitimasi kejahatan politik domestik. Politik adalah desain model bisnis yang ketika terjun harus menyiapkan modal besar dan berniat mendapatkan keuntungan atas modal yang sudah dikeluarkan.

Baca Juga:  Rakyat Kecil Semakin Sejahtera

Rakyat dipaksa membayar pajak, demokrasi malah diinjak-injak. Rakyat tidak pernah diajak diskusi dalam pengambilan kebijakan. Analis dan praktisi sering dilalaikan ketika menyusun undang-undang atau peraturan pemerintah lainnya. Ujug-ujug rakyat diberitahukan pengesahan aturan yang terlanjur diketok palu di parlemen. Rakyat demo dibiarkan sampai kehabisan suara. Tidak akan ada evaluasi di negeri oligarki.

Harga sembako mulai meningkat, upah buruh dipangkas sedemikian rupa. Penguasa masih bisa mendongeng tentang keadilan yang merata. Hukum dihapus dengan perilaku sopan di pengadilan, koruptor dipangkas masa tahanan, pelaku kriminal dianggap kelalaian, dan masyarakat yang menyuarakan perlawanan terhadap alih fungsi lahan dituduh makar.

Demokrasi dibeli korporasi. Pemerintah butuh uang untuk melunasi hutang. Pejabat butuh uang untuk mengembalikan modal kampanye. Kapitalis datang menawarkan presentasi simbiosis mutualisme. Rakyat hanya butuh diam menerima dampak dari perilaku kontrademokrasi pemerintah dan sekongkolnya.

Demokrasi harus dikembalikan kepada posisinya. Memberikan wadah menyampaikan kegelisahan terhadap kecacatan kebijakan.***

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari