Minggu, 7 Juli 2024

Mengemas Peran Berkesesuaian

Covid-19 sudah menjejas Indonesia lebih dari setahun. Belum usai terpaan gelombang pertama dengan Varian Alpha kini menghempas pula gelombang kedua dengan merebaknya Varian Delta. Entah akan bermutasi menjadi berapa varian tidak banyak ahli yang mengkaji. Masyarakat setiap hari disuguhi informasi banyaknya orang yang terpapar, sembuh, dan meninggal akibat Covid-19 serta kekurangan ketersediaan pelayanan di rumah-rumah sakit, kian membumbungnya harga obat dan peralatan perlindungan kesehatan.

Bahkan kelangkaan oksigen di rumah sakit diduga telah menjadi pemicu bertambahnya kematian. Solusi yang diambil justru menimbulkan problema baru. Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berskala Mikro menjadi tidak efektif karena sulitnya penerapan kebijakan tersebut dan tingginya penolakan masyarakat untuk melaksanakannya. Meskipun itu merupakan solusi terbaik guna memutus mata rantai penularan virus Covid-19 namun konsekuensinya pada perekonomian rakyat tidak tertanggulangi dengan baik.

- Advertisement -

Pemerintah tidak mungkin menangani pandemi ini secara biasa dan sekadarnya. Refocusing anggaran yang dilakukan sebagai alat bagi pemerintah untuk memainkan peranannya dalam membantu rakyat keluar dari cengkraman Covid-19 harus ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tepat dan efisien. Program harus ditaja dalam suasana serba bergerak cepat dan tetap taat aturan. Kepatuhan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab harus selalu dikedepankan meskipun semua persoalan serba mendesak untuk ditangani dan diselesaikan.

Manajemen pemerintahan menghadapi krisis dan bencana memang tidak sederhana. Semua negara mengalami bencana namun respon terhadap itu berbeda-beda. Bagi Indonesia, termasuk Riau, banyak kendala yang dihadapi. Pertama, kelambanan dalam melakukan penyesuaian rencana dan anggaran. Tantangan untuk menyusun rencana dan penganggaran baru relatif rumit karena begitu sulitnya memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan baru dan mendesak akibat adanya penutupan sekolah, pembatasan kegiatan masyarakat, timbulnya PHK diberbagai institusi ekonomi, dan kehidupan new normal lainnya yang membutuhkan gerak cepat dan tepat.

Baca Juga:  Mencari Pemimpin Visioner

Kedua, pertukaran sistem ke arah digitaliasi selain membutuhkan perangkat keras yang memakan biaya juga memerlukan perankat lunak yang handal dan aman. Semua perangkat lunak harus terintegrasi agar bisa berjalan sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Bila ada sub-sistem mengalami kerusakan maka akan memngganggu semua sistem. Keterlambatan pemerintah dalam menerapkan sistem digitalisasi ini menjadi sangat kentara ketika dihadapkan pada situasi bencana yang sangat membutuhkan proses serba cepat dan terukur saat ini. Untuk merubah ke sistem terintegrasi dan aman bukan sebuah pekerjaan sederhana dan pada saat yang sama bencana Covid-19 sudah makin menenggelamkan segalanya.

- Advertisement -

Ketiga, sumberdaya manusia kurang terlatih dalam menanggapi persoalan-persoalan krusial yang datang begitu cepat dan harus ditangani dalam waktu relatif singkat. Pekerja birokrasi pemerintahan sebelumnya masih terbelenggu oleh kesibukan rutinitas yang kurang inovatif. Akibatnya, kemampuan dalam mengantisipasi terpaan bencana ini seperti sedikit gelagapan. Berbagai kebijakan seakan-akan kurang singkron satu sama lain. Bahkan masih terdapat aparatur yang meraup rente pribadi diatas penderitaan masyarakat.

Keempat, komunikasi efektif belum terselenggara dengan baik. Para pemangku kepentingan masih belum terhubung atas basis kepercayaan dan kerja bersama yang sinergis. Bahkan setiap elemen pemangku kepentingan masih saling curiga dan berimplikasi mereduksi ketercapaian program dan kebijakan penanganan bercana itu sendiri. Muncul situasi saling paradok yang justru melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap program penanganan bencana. Begitu sulitnya membangun kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas vaksin dan malah kepercayaan masyarakat terhadap adanya pandemi Covid-19 itu sendiri masih diragukan.

Baca Juga:  Aroma Korupsi dalam Rangkap Jabatan

Kelima, stress berlebihan, baik penyelenggara maupun masyarakat telah mengakibatkan korban tidak sedikit. Dalam penanganan bencana suasana stress ini sangat sulit dihindari karena semua orang merasa dirinya terancam. Pelaku penanggulangan di garda terdepan tentu menghadapi tingkat stress lebih tinggi karena selain berhadapan dengan bencana itu sendiri mereka juga dibebani out-put penanganan berkualitas sebagai wujud tuntutan masyarakat dan tugas yang diembannya.

Keenam, oprasi dan rantai pasokan yang sering terputus. Baik informasi maupun bantuan-bantuan terhadap masyarakat sering mengalami kendala karena seakan-akan setiap gugus pelaksana bukan merupakan sebuah rantai nilai yang saling berkait. Mereka yang bekerja pada tataran bawah dan berhadapan langsung dengan masyarakat tidak tersambung dengan pengambil kebijakan. Putaran proses pada masing-masing gugus tidak seirama sehingga memacetkan putaran penaggulangan bencana secara keseluruhan. Tagihan BPJS dari berbagai rumah sakit yang belum dibayarkan pasti akan menyulitkan RS melakukan pelayanan penanggulangan bencana. Oleh karena itu mungkin terjadinya kelangkaan oksigen berpunca dari macetnya gugus-gugus terkait dalam paduan operasional secara keseluruhan. Dalam menyukseskan penanggulangan wabah Covid-19 ini tentunya diperlukan afirmasi kebijakan dan program yang sesuai. Pekerjaan yang tidak saling bertaut suai hanya akan menghasilkan kinerja kusut masai. Ontah-lah!***

Covid-19 sudah menjejas Indonesia lebih dari setahun. Belum usai terpaan gelombang pertama dengan Varian Alpha kini menghempas pula gelombang kedua dengan merebaknya Varian Delta. Entah akan bermutasi menjadi berapa varian tidak banyak ahli yang mengkaji. Masyarakat setiap hari disuguhi informasi banyaknya orang yang terpapar, sembuh, dan meninggal akibat Covid-19 serta kekurangan ketersediaan pelayanan di rumah-rumah sakit, kian membumbungnya harga obat dan peralatan perlindungan kesehatan.

Bahkan kelangkaan oksigen di rumah sakit diduga telah menjadi pemicu bertambahnya kematian. Solusi yang diambil justru menimbulkan problema baru. Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berskala Mikro menjadi tidak efektif karena sulitnya penerapan kebijakan tersebut dan tingginya penolakan masyarakat untuk melaksanakannya. Meskipun itu merupakan solusi terbaik guna memutus mata rantai penularan virus Covid-19 namun konsekuensinya pada perekonomian rakyat tidak tertanggulangi dengan baik.

Pemerintah tidak mungkin menangani pandemi ini secara biasa dan sekadarnya. Refocusing anggaran yang dilakukan sebagai alat bagi pemerintah untuk memainkan peranannya dalam membantu rakyat keluar dari cengkraman Covid-19 harus ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tepat dan efisien. Program harus ditaja dalam suasana serba bergerak cepat dan tetap taat aturan. Kepatuhan terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bertanggungjawab harus selalu dikedepankan meskipun semua persoalan serba mendesak untuk ditangani dan diselesaikan.

Manajemen pemerintahan menghadapi krisis dan bencana memang tidak sederhana. Semua negara mengalami bencana namun respon terhadap itu berbeda-beda. Bagi Indonesia, termasuk Riau, banyak kendala yang dihadapi. Pertama, kelambanan dalam melakukan penyesuaian rencana dan anggaran. Tantangan untuk menyusun rencana dan penganggaran baru relatif rumit karena begitu sulitnya memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan baru dan mendesak akibat adanya penutupan sekolah, pembatasan kegiatan masyarakat, timbulnya PHK diberbagai institusi ekonomi, dan kehidupan new normal lainnya yang membutuhkan gerak cepat dan tepat.

Baca Juga:  Nasib Pers dan Literasi Indonesia

Kedua, pertukaran sistem ke arah digitaliasi selain membutuhkan perangkat keras yang memakan biaya juga memerlukan perankat lunak yang handal dan aman. Semua perangkat lunak harus terintegrasi agar bisa berjalan sesuai dengan keadaan sesungguhnya. Bila ada sub-sistem mengalami kerusakan maka akan memngganggu semua sistem. Keterlambatan pemerintah dalam menerapkan sistem digitalisasi ini menjadi sangat kentara ketika dihadapkan pada situasi bencana yang sangat membutuhkan proses serba cepat dan terukur saat ini. Untuk merubah ke sistem terintegrasi dan aman bukan sebuah pekerjaan sederhana dan pada saat yang sama bencana Covid-19 sudah makin menenggelamkan segalanya.

Ketiga, sumberdaya manusia kurang terlatih dalam menanggapi persoalan-persoalan krusial yang datang begitu cepat dan harus ditangani dalam waktu relatif singkat. Pekerja birokrasi pemerintahan sebelumnya masih terbelenggu oleh kesibukan rutinitas yang kurang inovatif. Akibatnya, kemampuan dalam mengantisipasi terpaan bencana ini seperti sedikit gelagapan. Berbagai kebijakan seakan-akan kurang singkron satu sama lain. Bahkan masih terdapat aparatur yang meraup rente pribadi diatas penderitaan masyarakat.

Keempat, komunikasi efektif belum terselenggara dengan baik. Para pemangku kepentingan masih belum terhubung atas basis kepercayaan dan kerja bersama yang sinergis. Bahkan setiap elemen pemangku kepentingan masih saling curiga dan berimplikasi mereduksi ketercapaian program dan kebijakan penanganan bercana itu sendiri. Muncul situasi saling paradok yang justru melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap program penanganan bencana. Begitu sulitnya membangun kepercayaan masyarakat terhadap efektivitas vaksin dan malah kepercayaan masyarakat terhadap adanya pandemi Covid-19 itu sendiri masih diragukan.

Baca Juga:  Aroma Korupsi dalam Rangkap Jabatan

Kelima, stress berlebihan, baik penyelenggara maupun masyarakat telah mengakibatkan korban tidak sedikit. Dalam penanganan bencana suasana stress ini sangat sulit dihindari karena semua orang merasa dirinya terancam. Pelaku penanggulangan di garda terdepan tentu menghadapi tingkat stress lebih tinggi karena selain berhadapan dengan bencana itu sendiri mereka juga dibebani out-put penanganan berkualitas sebagai wujud tuntutan masyarakat dan tugas yang diembannya.

Keenam, oprasi dan rantai pasokan yang sering terputus. Baik informasi maupun bantuan-bantuan terhadap masyarakat sering mengalami kendala karena seakan-akan setiap gugus pelaksana bukan merupakan sebuah rantai nilai yang saling berkait. Mereka yang bekerja pada tataran bawah dan berhadapan langsung dengan masyarakat tidak tersambung dengan pengambil kebijakan. Putaran proses pada masing-masing gugus tidak seirama sehingga memacetkan putaran penaggulangan bencana secara keseluruhan. Tagihan BPJS dari berbagai rumah sakit yang belum dibayarkan pasti akan menyulitkan RS melakukan pelayanan penanggulangan bencana. Oleh karena itu mungkin terjadinya kelangkaan oksigen berpunca dari macetnya gugus-gugus terkait dalam paduan operasional secara keseluruhan. Dalam menyukseskan penanggulangan wabah Covid-19 ini tentunya diperlukan afirmasi kebijakan dan program yang sesuai. Pekerjaan yang tidak saling bertaut suai hanya akan menghasilkan kinerja kusut masai. Ontah-lah!***

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari