Jumat, 13 Juni 2025

Perampasan Aset dan Biaya Sosial Korupsi

SAAT peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei 2025 lalu, salah satu pernyataan pamungkas dari Presiden Prabowo Subianto adalah dukungan terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset. Presiden Prabowo menyatakan dukungan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Undang-undang ini dinilai penting bagi pemberantasan korupsi serta untuk menarik kembali kekayaan negara yang dikuasai oleh para koruptor. Adapun penggalan pernyataan Prabowo: “Saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Enak aja, udah nyolong enggak mau kembalikan aset. Gue tarik aja deh itu. Setuju? Bagaimana? Kita teruskan? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?”

Komitmen Presiden terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset ditegaskan kembali oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/5/2025) yaitu bahwa Presiden Prabowo Subianto bakal bertemu dengan pimpinan DPR dan pimpinan partai politik untuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Tentu, ini adalah sikap politik (political will) yang kita tunggu-tunggu dari gebrakan Presiden Prabowo Subianto untuk menuntaskan koruptor sampai ke akarnya. Situasi hari ini memang tak bisa disebut normal. Korupsi telah menjalar seperti penyakit stadium akhir/kronis. Hampir tak ada lini kekuasaan yang steril. Dari kementerian dan lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah daerah, hingga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Semakin menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sudah menyentuh level yang mengkhawatirkan. Bahkan, estimasi kerugian negara akibat korupsi yang belakangan ini ditangani oleh Kejaksaan Agung disebut-sebut mencapai Rp1 kuadriliun, angka yang sulit dibayangkan dan mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini.

Tidak hanya besar dari sisi nominal, praktik korupsi kini semakin sistemik dan terstruktur. Modusnya semakin canggih, jaringannya semakin rapi, dan penegakan hukumnya justru sering kali tertatih oleh kepentingan politik, kekuasaan, atau hukum yang tumpul ke atas. Sementara itu, pemulihan kerugian negara justru terhambat karena tidak adanya instrumen hukum yang memadai untuk merampas aset hasil korupsi, terutama yang tidak bisa langsung dikaitkan dengan proses pidana.

Berhenti di Tengah Jalan

Kalau kita berkaca dari perjalanan panjang RUU Perampasan Aset, sejak tahun 2023 sebenarnya di era Presiden Joko Widodo, Pemerintah telah mengirim Surat Presiden (Surpres) RUU Perampasan Aset ke DPR pada 4 Mei 2023. (Kontan, 2024) Namun, nyatanya, Surpres diterima namun disimpan rapi, tidak dibahas, tanpa ada kelanjutan hingga sekarang. Artinya, menjadi pertanyaan serius kepada DPR: sebenarnya apakah DPR benar-benar serius dalam pemberantasan korupsi? atau jangan-jangan DPR “merasa takut” bila RUU ini nantinya menjadi bumerang bagi mereka?

Kalau kita lihat dari 176 RUU dalam Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR yang telah disetujui, RUU Perampasan Aset hanya masuk ke Prolegnas jangka menengah 2025-2029. Bahkan, dari 41 RUU sebagai prioritas Prolegnas di tahun 2025, RUU Perampasan Aset justru bukan “barang prioritas” yang seharusnya bisa menjadi pamungkas kerja DPR di tahun 2025. (Hukum Online, 2024) Artinya, dari data tersebut, semakin jelas bahwa RUU Perampasan Aset masih “dianaktirikan” oleh DPR dengan berbagai alasan yang mereka yakini.

Baca Juga:  Mengemas Peran Berkesesuaian

Sederhananya, menurut saya bicara urgensi dari RUU Perampasan Aset adalah bagaimana cara pemerintah untuk mengejar hasil korupsi yang “dipoles” oleh para koruptor dengan berbagai cara, baik yang bersembunyi di balik harta kekayaan berbentuk aset yang sangat sulit dikembalikan kepada negara, termasuk hasil korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri. Namun, perampasan aset hasil kejahatan belum bisa dilakukan karena belum adanya putusan pengadilan. Artinya, saat ini teknologi yang digunakan oleh koruptor telah melewati berbagai inovasi, bahkan melebihi dari kekuatan hukum yang berlaku di negara kita.

Jadi, inilah sebenarnya kita perlu perjuangkan bahwa negara tidak boleh kalah canggih dan kalah kuat dari para koruptor. Kekosongan hukum perampasan aset inilah yang seharusnya diselesaikan dan disahkan oleh DPR. Bahkan, RUU Perampasan Aset menjadi syarat Indonesia bisa memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yaitu dengan instrumen pemulihan aset. Sebagaimana juga, aturan tentang perampasan aset menjadi salah satu mandat dari Konvensi Anti korupsi yang digagas oleh PBB (UNCAC).

Lebih tepatnya dalam pasal 54 ayat (1) UNCAC yaitu: “Semua negara pihak harus mempertimbangkan mengambil tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus yang pelakunya tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian, atau tidak ditemukan, atau dalam kasus-kasus lainnya.” (PSHK, 2019)

Penerapan Biaya Sosial Korupsi

Bicara tentang pemberantasan korupsi, ada istilah yang dikenal dengan biaya sosial korupsi. Analisis Biaya Sosial Korupsi dilakukan dengan menggunakan kerangka pikir social cost of crime (biaya sosial kejahatan) yang berasal dari brand and price (2000). Konsep ini diadopsi menjadi social cost of corruption dengan beberapa penyesuaian kondisi yang ada di Indonesia. (Jurnal Integritas KPK, Vol.2 No.1 – Agustus 2016 hal.6-8)

Jadi, biaya sosial korupsi ini terdiri atas biaya eksplisit (biaya antisipasi, biaya reaksi, dan biaya akibat korupsi)  dan biaya implisit (biaya akibat korupsi). Sederhananya, tanpa panjang lebar saya jelaskan, penghitungan biaya akibat korupsi dihitung mulai dari uang yang dikorupsi baik itu dinikmati sendiri maupun bersama dengan orang lain yang diterjemahkan sebagai kerugian keuangan negara, biaya ekonomi yaitu ketika sebagai dampak dari tindakan korupsi, sumber daya teralihkan dari aktivitas yang produktif menjadi tidak produktif.

Bahkan, biaya beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu, perbedaan multiplier ekonomi antara kondisi tanpa adanya korupsi dengan kondisi jika terdapat korupsi, hingga biaya yang diperlukan aparat penegak hukum untuk memproses seseorang yang melakukan korupsi, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan atau sampai selesai.

Sebagai contoh nyata penerapan biaya sosial korupsi ini yang pernah dikaji oleh Tim KPK, kasus sektor kehutanan yang dihitung biaya sosial korupsinya adalah kasus suap terkait pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin dan pelepasan kawasan hutan lindung Pulau Bintan, Kabupaten Bintan yang terjadi 2006-2008. Penghitungan biaya sosial korupsi memungkinkan penegak hukum menuntut hukuman lebih tinggi dari perhitungan kerugian negara yang saat ini sudah dilakukan. Untuk kasus kehutanan yang dihitung dengan metode penghitungan biaya sosial korupsi, dapat terjadi peningkatan sebesar 543 kali lipat dari tuntutan konvensional.

Baca Juga:  Menuju Kota Wisata

Apa yang ingin saya sampaikan? Bahwa korupsi tidak bisa dilihat dari nilai yang dikorupsi saja, tapi harus memperhatikan penghitungan biaya sosial korupsi tadi. Artinya, ketika negara melaksanakan pemberantasan korupsi, yang rugi bukan hanya nilai yang dikorupsi, tapi ada biaya lainnya yang harus dikeluarkan lewat anggaran negara (APBN).

Penjelasan saya di atas ingin memberikan pelengkap secara teknokratik, bahwa RUU Perampasan Aset bisa menjadi jalan keluar untuk menyita aset hasil tindak pidana karena bisa diambil tanpa menunggu terduga pelaku kejahatan itu diproses hukum. penyelamatan aset melalui UU Perampasan Aset tidak akan dikaitkan secara langsung dengan kesalahan dari pelaku kejahatan yang mungkin sulit dibuktikan dalam sidang pengadilan, tetapi kerugian negara secara nyata yang telah terjadi.

Perampasan Aset lewat Perppu?

Memang pasal 22 ayat (1) Konstitusi kita memberikan amanat bahwa Presiden berhak membentuk Perppu dengan syarat adanya kegentingan yang memaksa. Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi otoritas Presiden memiliki materi muatan yang sama dengan materi muatan undang-undang pada umumnya. Bedanya, Perppu diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, menyebutkan tiga syarat kegentingan yang memaksa yaitu: adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama.

Jika mengacu pada syarat tersebut, maka wacana penerbitan Perppu Perampasan Aset sangat relevan. Dalam konteks pemberantasan korupsi yang menurut berbagai laporan menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp1 kuadriliun, artinya terdapat kebutuhan mendesak untuk menghadirkan instrumen hukum yang mampu menjerat dan memulihkan kerugian negara dari pelaku korupsi dan tindak pidana lainnya.

Terlebih lagi, Presiden dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 secara eksplisit menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset adalah regulasi yang mendesak.

Langkah ini sejalan dengan Astacita Presiden Prabowo yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama. Dalam kerangka itu, Perppu bukan hanya opsi “darurat”, tetapi strategi cepat dalam menyelamatkan aset negara dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.***

Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

SAAT peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei 2025 lalu, salah satu pernyataan pamungkas dari Presiden Prabowo Subianto adalah dukungan terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset. Presiden Prabowo menyatakan dukungan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Undang-undang ini dinilai penting bagi pemberantasan korupsi serta untuk menarik kembali kekayaan negara yang dikuasai oleh para koruptor. Adapun penggalan pernyataan Prabowo: “Saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Enak aja, udah nyolong enggak mau kembalikan aset. Gue tarik aja deh itu. Setuju? Bagaimana? Kita teruskan? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?”

Komitmen Presiden terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset ditegaskan kembali oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/5/2025) yaitu bahwa Presiden Prabowo Subianto bakal bertemu dengan pimpinan DPR dan pimpinan partai politik untuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Tentu, ini adalah sikap politik (political will) yang kita tunggu-tunggu dari gebrakan Presiden Prabowo Subianto untuk menuntaskan koruptor sampai ke akarnya. Situasi hari ini memang tak bisa disebut normal. Korupsi telah menjalar seperti penyakit stadium akhir/kronis. Hampir tak ada lini kekuasaan yang steril. Dari kementerian dan lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah daerah, hingga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Semakin menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sudah menyentuh level yang mengkhawatirkan. Bahkan, estimasi kerugian negara akibat korupsi yang belakangan ini ditangani oleh Kejaksaan Agung disebut-sebut mencapai Rp1 kuadriliun, angka yang sulit dibayangkan dan mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini.

Tidak hanya besar dari sisi nominal, praktik korupsi kini semakin sistemik dan terstruktur. Modusnya semakin canggih, jaringannya semakin rapi, dan penegakan hukumnya justru sering kali tertatih oleh kepentingan politik, kekuasaan, atau hukum yang tumpul ke atas. Sementara itu, pemulihan kerugian negara justru terhambat karena tidak adanya instrumen hukum yang memadai untuk merampas aset hasil korupsi, terutama yang tidak bisa langsung dikaitkan dengan proses pidana.

Berhenti di Tengah Jalan

Kalau kita berkaca dari perjalanan panjang RUU Perampasan Aset, sejak tahun 2023 sebenarnya di era Presiden Joko Widodo, Pemerintah telah mengirim Surat Presiden (Surpres) RUU Perampasan Aset ke DPR pada 4 Mei 2023. (Kontan, 2024) Namun, nyatanya, Surpres diterima namun disimpan rapi, tidak dibahas, tanpa ada kelanjutan hingga sekarang. Artinya, menjadi pertanyaan serius kepada DPR: sebenarnya apakah DPR benar-benar serius dalam pemberantasan korupsi? atau jangan-jangan DPR “merasa takut” bila RUU ini nantinya menjadi bumerang bagi mereka?

Kalau kita lihat dari 176 RUU dalam Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR yang telah disetujui, RUU Perampasan Aset hanya masuk ke Prolegnas jangka menengah 2025-2029. Bahkan, dari 41 RUU sebagai prioritas Prolegnas di tahun 2025, RUU Perampasan Aset justru bukan “barang prioritas” yang seharusnya bisa menjadi pamungkas kerja DPR di tahun 2025. (Hukum Online, 2024) Artinya, dari data tersebut, semakin jelas bahwa RUU Perampasan Aset masih “dianaktirikan” oleh DPR dengan berbagai alasan yang mereka yakini.

Baca Juga:  Wujud Meraih Kemenangan

Sederhananya, menurut saya bicara urgensi dari RUU Perampasan Aset adalah bagaimana cara pemerintah untuk mengejar hasil korupsi yang “dipoles” oleh para koruptor dengan berbagai cara, baik yang bersembunyi di balik harta kekayaan berbentuk aset yang sangat sulit dikembalikan kepada negara, termasuk hasil korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri. Namun, perampasan aset hasil kejahatan belum bisa dilakukan karena belum adanya putusan pengadilan. Artinya, saat ini teknologi yang digunakan oleh koruptor telah melewati berbagai inovasi, bahkan melebihi dari kekuatan hukum yang berlaku di negara kita.

Jadi, inilah sebenarnya kita perlu perjuangkan bahwa negara tidak boleh kalah canggih dan kalah kuat dari para koruptor. Kekosongan hukum perampasan aset inilah yang seharusnya diselesaikan dan disahkan oleh DPR. Bahkan, RUU Perampasan Aset menjadi syarat Indonesia bisa memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yaitu dengan instrumen pemulihan aset. Sebagaimana juga, aturan tentang perampasan aset menjadi salah satu mandat dari Konvensi Anti korupsi yang digagas oleh PBB (UNCAC).

Lebih tepatnya dalam pasal 54 ayat (1) UNCAC yaitu: “Semua negara pihak harus mempertimbangkan mengambil tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus yang pelakunya tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian, atau tidak ditemukan, atau dalam kasus-kasus lainnya.” (PSHK, 2019)

Penerapan Biaya Sosial Korupsi

Bicara tentang pemberantasan korupsi, ada istilah yang dikenal dengan biaya sosial korupsi. Analisis Biaya Sosial Korupsi dilakukan dengan menggunakan kerangka pikir social cost of crime (biaya sosial kejahatan) yang berasal dari brand and price (2000). Konsep ini diadopsi menjadi social cost of corruption dengan beberapa penyesuaian kondisi yang ada di Indonesia. (Jurnal Integritas KPK, Vol.2 No.1 – Agustus 2016 hal.6-8)

Jadi, biaya sosial korupsi ini terdiri atas biaya eksplisit (biaya antisipasi, biaya reaksi, dan biaya akibat korupsi)  dan biaya implisit (biaya akibat korupsi). Sederhananya, tanpa panjang lebar saya jelaskan, penghitungan biaya akibat korupsi dihitung mulai dari uang yang dikorupsi baik itu dinikmati sendiri maupun bersama dengan orang lain yang diterjemahkan sebagai kerugian keuangan negara, biaya ekonomi yaitu ketika sebagai dampak dari tindakan korupsi, sumber daya teralihkan dari aktivitas yang produktif menjadi tidak produktif.

Bahkan, biaya beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu, perbedaan multiplier ekonomi antara kondisi tanpa adanya korupsi dengan kondisi jika terdapat korupsi, hingga biaya yang diperlukan aparat penegak hukum untuk memproses seseorang yang melakukan korupsi, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan atau sampai selesai.

Sebagai contoh nyata penerapan biaya sosial korupsi ini yang pernah dikaji oleh Tim KPK, kasus sektor kehutanan yang dihitung biaya sosial korupsinya adalah kasus suap terkait pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin dan pelepasan kawasan hutan lindung Pulau Bintan, Kabupaten Bintan yang terjadi 2006-2008. Penghitungan biaya sosial korupsi memungkinkan penegak hukum menuntut hukuman lebih tinggi dari perhitungan kerugian negara yang saat ini sudah dilakukan. Untuk kasus kehutanan yang dihitung dengan metode penghitungan biaya sosial korupsi, dapat terjadi peningkatan sebesar 543 kali lipat dari tuntutan konvensional.

Baca Juga:  Tembok Punya "Telinga"

Apa yang ingin saya sampaikan? Bahwa korupsi tidak bisa dilihat dari nilai yang dikorupsi saja, tapi harus memperhatikan penghitungan biaya sosial korupsi tadi. Artinya, ketika negara melaksanakan pemberantasan korupsi, yang rugi bukan hanya nilai yang dikorupsi, tapi ada biaya lainnya yang harus dikeluarkan lewat anggaran negara (APBN).

Penjelasan saya di atas ingin memberikan pelengkap secara teknokratik, bahwa RUU Perampasan Aset bisa menjadi jalan keluar untuk menyita aset hasil tindak pidana karena bisa diambil tanpa menunggu terduga pelaku kejahatan itu diproses hukum. penyelamatan aset melalui UU Perampasan Aset tidak akan dikaitkan secara langsung dengan kesalahan dari pelaku kejahatan yang mungkin sulit dibuktikan dalam sidang pengadilan, tetapi kerugian negara secara nyata yang telah terjadi.

Perampasan Aset lewat Perppu?

Memang pasal 22 ayat (1) Konstitusi kita memberikan amanat bahwa Presiden berhak membentuk Perppu dengan syarat adanya kegentingan yang memaksa. Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi otoritas Presiden memiliki materi muatan yang sama dengan materi muatan undang-undang pada umumnya. Bedanya, Perppu diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, menyebutkan tiga syarat kegentingan yang memaksa yaitu: adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama.

Jika mengacu pada syarat tersebut, maka wacana penerbitan Perppu Perampasan Aset sangat relevan. Dalam konteks pemberantasan korupsi yang menurut berbagai laporan menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp1 kuadriliun, artinya terdapat kebutuhan mendesak untuk menghadirkan instrumen hukum yang mampu menjerat dan memulihkan kerugian negara dari pelaku korupsi dan tindak pidana lainnya.

Terlebih lagi, Presiden dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 secara eksplisit menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset adalah regulasi yang mendesak.

Langkah ini sejalan dengan Astacita Presiden Prabowo yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama. Dalam kerangka itu, Perppu bukan hanya opsi “darurat”, tetapi strategi cepat dalam menyelamatkan aset negara dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.***

Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari

SAAT peringatan Hari Buruh yang jatuh pada 1 Mei 2025 lalu, salah satu pernyataan pamungkas dari Presiden Prabowo Subianto adalah dukungan terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset. Presiden Prabowo menyatakan dukungan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas oleh pemerintah dan DPR.

Undang-undang ini dinilai penting bagi pemberantasan korupsi serta untuk menarik kembali kekayaan negara yang dikuasai oleh para koruptor. Adapun penggalan pernyataan Prabowo: “Saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Enak aja, udah nyolong enggak mau kembalikan aset. Gue tarik aja deh itu. Setuju? Bagaimana? Kita teruskan? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?”

Komitmen Presiden terhadap pembahasan RUU Perampasan Aset ditegaskan kembali oleh Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (9/5/2025) yaitu bahwa Presiden Prabowo Subianto bakal bertemu dengan pimpinan DPR dan pimpinan partai politik untuk mendorong pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset.

Tentu, ini adalah sikap politik (political will) yang kita tunggu-tunggu dari gebrakan Presiden Prabowo Subianto untuk menuntaskan koruptor sampai ke akarnya. Situasi hari ini memang tak bisa disebut normal. Korupsi telah menjalar seperti penyakit stadium akhir/kronis. Hampir tak ada lini kekuasaan yang steril. Dari kementerian dan lembaga, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah daerah, hingga Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

Semakin menunjukkan bahwa praktik penyalahgunaan kekuasaan sudah menyentuh level yang mengkhawatirkan. Bahkan, estimasi kerugian negara akibat korupsi yang belakangan ini ditangani oleh Kejaksaan Agung disebut-sebut mencapai Rp1 kuadriliun, angka yang sulit dibayangkan dan mungkin belum pernah terjadi dalam sejarah republik ini.

Tidak hanya besar dari sisi nominal, praktik korupsi kini semakin sistemik dan terstruktur. Modusnya semakin canggih, jaringannya semakin rapi, dan penegakan hukumnya justru sering kali tertatih oleh kepentingan politik, kekuasaan, atau hukum yang tumpul ke atas. Sementara itu, pemulihan kerugian negara justru terhambat karena tidak adanya instrumen hukum yang memadai untuk merampas aset hasil korupsi, terutama yang tidak bisa langsung dikaitkan dengan proses pidana.

Berhenti di Tengah Jalan

Kalau kita berkaca dari perjalanan panjang RUU Perampasan Aset, sejak tahun 2023 sebenarnya di era Presiden Joko Widodo, Pemerintah telah mengirim Surat Presiden (Surpres) RUU Perampasan Aset ke DPR pada 4 Mei 2023. (Kontan, 2024) Namun, nyatanya, Surpres diterima namun disimpan rapi, tidak dibahas, tanpa ada kelanjutan hingga sekarang. Artinya, menjadi pertanyaan serius kepada DPR: sebenarnya apakah DPR benar-benar serius dalam pemberantasan korupsi? atau jangan-jangan DPR “merasa takut” bila RUU ini nantinya menjadi bumerang bagi mereka?

Kalau kita lihat dari 176 RUU dalam Program Legislasi nasional (Prolegnas) DPR yang telah disetujui, RUU Perampasan Aset hanya masuk ke Prolegnas jangka menengah 2025-2029. Bahkan, dari 41 RUU sebagai prioritas Prolegnas di tahun 2025, RUU Perampasan Aset justru bukan “barang prioritas” yang seharusnya bisa menjadi pamungkas kerja DPR di tahun 2025. (Hukum Online, 2024) Artinya, dari data tersebut, semakin jelas bahwa RUU Perampasan Aset masih “dianaktirikan” oleh DPR dengan berbagai alasan yang mereka yakini.

Baca Juga:  Iman dan Dua Cinta

Sederhananya, menurut saya bicara urgensi dari RUU Perampasan Aset adalah bagaimana cara pemerintah untuk mengejar hasil korupsi yang “dipoles” oleh para koruptor dengan berbagai cara, baik yang bersembunyi di balik harta kekayaan berbentuk aset yang sangat sulit dikembalikan kepada negara, termasuk hasil korupsi yang dibawa kabur ke luar negeri. Namun, perampasan aset hasil kejahatan belum bisa dilakukan karena belum adanya putusan pengadilan. Artinya, saat ini teknologi yang digunakan oleh koruptor telah melewati berbagai inovasi, bahkan melebihi dari kekuatan hukum yang berlaku di negara kita.

Jadi, inilah sebenarnya kita perlu perjuangkan bahwa negara tidak boleh kalah canggih dan kalah kuat dari para koruptor. Kekosongan hukum perampasan aset inilah yang seharusnya diselesaikan dan disahkan oleh DPR. Bahkan, RUU Perampasan Aset menjadi syarat Indonesia bisa memperbaiki Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yaitu dengan instrumen pemulihan aset. Sebagaimana juga, aturan tentang perampasan aset menjadi salah satu mandat dari Konvensi Anti korupsi yang digagas oleh PBB (UNCAC).

Lebih tepatnya dalam pasal 54 ayat (1) UNCAC yaitu: “Semua negara pihak harus mempertimbangkan mengambil tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan aset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus yang pelakunya tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian, atau tidak ditemukan, atau dalam kasus-kasus lainnya.” (PSHK, 2019)

Penerapan Biaya Sosial Korupsi

Bicara tentang pemberantasan korupsi, ada istilah yang dikenal dengan biaya sosial korupsi. Analisis Biaya Sosial Korupsi dilakukan dengan menggunakan kerangka pikir social cost of crime (biaya sosial kejahatan) yang berasal dari brand and price (2000). Konsep ini diadopsi menjadi social cost of corruption dengan beberapa penyesuaian kondisi yang ada di Indonesia. (Jurnal Integritas KPK, Vol.2 No.1 – Agustus 2016 hal.6-8)

Jadi, biaya sosial korupsi ini terdiri atas biaya eksplisit (biaya antisipasi, biaya reaksi, dan biaya akibat korupsi)  dan biaya implisit (biaya akibat korupsi). Sederhananya, tanpa panjang lebar saya jelaskan, penghitungan biaya akibat korupsi dihitung mulai dari uang yang dikorupsi baik itu dinikmati sendiri maupun bersama dengan orang lain yang diterjemahkan sebagai kerugian keuangan negara, biaya ekonomi yaitu ketika sebagai dampak dari tindakan korupsi, sumber daya teralihkan dari aktivitas yang produktif menjadi tidak produktif.

Bahkan, biaya beban cicilan bunga di masa datang yang timbul akibat korupsi di masa lalu, perbedaan multiplier ekonomi antara kondisi tanpa adanya korupsi dengan kondisi jika terdapat korupsi, hingga biaya yang diperlukan aparat penegak hukum untuk memproses seseorang yang melakukan korupsi, mulai tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, pemasyarakatan atau sampai selesai.

Sebagai contoh nyata penerapan biaya sosial korupsi ini yang pernah dikaji oleh Tim KPK, kasus sektor kehutanan yang dihitung biaya sosial korupsinya adalah kasus suap terkait pelepasan kawasan hutan lindung Tanjung Pantai Air Telang, Kabupaten Banyuasin dan pelepasan kawasan hutan lindung Pulau Bintan, Kabupaten Bintan yang terjadi 2006-2008. Penghitungan biaya sosial korupsi memungkinkan penegak hukum menuntut hukuman lebih tinggi dari perhitungan kerugian negara yang saat ini sudah dilakukan. Untuk kasus kehutanan yang dihitung dengan metode penghitungan biaya sosial korupsi, dapat terjadi peningkatan sebesar 543 kali lipat dari tuntutan konvensional.

Baca Juga:  Memahami Harga

Apa yang ingin saya sampaikan? Bahwa korupsi tidak bisa dilihat dari nilai yang dikorupsi saja, tapi harus memperhatikan penghitungan biaya sosial korupsi tadi. Artinya, ketika negara melaksanakan pemberantasan korupsi, yang rugi bukan hanya nilai yang dikorupsi, tapi ada biaya lainnya yang harus dikeluarkan lewat anggaran negara (APBN).

Penjelasan saya di atas ingin memberikan pelengkap secara teknokratik, bahwa RUU Perampasan Aset bisa menjadi jalan keluar untuk menyita aset hasil tindak pidana karena bisa diambil tanpa menunggu terduga pelaku kejahatan itu diproses hukum. penyelamatan aset melalui UU Perampasan Aset tidak akan dikaitkan secara langsung dengan kesalahan dari pelaku kejahatan yang mungkin sulit dibuktikan dalam sidang pengadilan, tetapi kerugian negara secara nyata yang telah terjadi.

Perampasan Aset lewat Perppu?

Memang pasal 22 ayat (1) Konstitusi kita memberikan amanat bahwa Presiden berhak membentuk Perppu dengan syarat adanya kegentingan yang memaksa. Perppu sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang menjadi otoritas Presiden memiliki materi muatan yang sama dengan materi muatan undang-undang pada umumnya. Bedanya, Perppu diterbitkan dalam keadaan kegentingan yang memaksa.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010, menyebutkan tiga syarat kegentingan yang memaksa yaitu: adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum; serta kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu cukup lama.

Jika mengacu pada syarat tersebut, maka wacana penerbitan Perppu Perampasan Aset sangat relevan. Dalam konteks pemberantasan korupsi yang menurut berbagai laporan menyebabkan kerugian negara hingga mencapai Rp1 kuadriliun, artinya terdapat kebutuhan mendesak untuk menghadirkan instrumen hukum yang mampu menjerat dan memulihkan kerugian negara dari pelaku korupsi dan tindak pidana lainnya.

Terlebih lagi, Presiden dalam pidatonya pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 2025 secara eksplisit menyatakan bahwa RUU Perampasan Aset adalah regulasi yang mendesak.

Langkah ini sejalan dengan Astacita Presiden Prabowo yang menempatkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama. Dalam kerangka itu, Perppu bukan hanya opsi “darurat”, tetapi strategi cepat dalam menyelamatkan aset negara dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap sistem hukum.***

Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Alumni Kebangsaan Lemhannas RI

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari