JAKARTA (RIAUPOS.CO) – ’’Bagaimana cara meninggalkan satu-satunya kehidupan yang kukenal? Bagaimana aku harus pergi dari lapangan yang telah kupakai latihan sejak aku masih gadis kecil? Lapangan yang telah membawa tawa dan air mata yang tak ada habisnya, sebuah olahraga yang memberiku keluarga dan fans yang mendukungku selama 28 tahun?’’
Begitulah Maria Sharapova membuka surat perpisahannya yang dimuat eksklusif oleh Vouge dan Vanity Fair kemarin. Tentu kita tidak bisa melihat tetes-tetes air mata di tulisan itu.
Tapi, siapa pun yang membacanya pasti tahu, betapa berat Sharapova meninggalkan tenis profesional. Dunia yang dikenalnya sejak berusia 4 tahun. Dan sangat dicintainya. Meski juga sangat kejam padanya.’’Aku baru dalam hal ini (mengundurkan diri, Red). Jadi, mohon maaf ya. Tenis, kuucapkan selamat tinggal,’’ tulisnya.
Dalam surat itu, petenis 32 tahun tersebut mengakui keputusan mengundurkan diri paling banyak disebabkan kondisi cedera bahunya yang tak kunjung pulih. Dia menderita cedera bahu sejak 2008. Sudah berkali-kali dia naik meja operasi. Dan berkali-kali pula menghabiskan separo musim kompetisi untuk pemulihan. Tapi, cedera itu masih mengganggu juga.
’’Salah satu gangguannya kurasakan Agustus lalu saat mengikuti AS Terbuka,’’ cerita Sharapova.
’’Sekitar 30 menit sebelum masuk lapangan, aku menjalani prosedur untuk mematirasakan bahuku agar bisa bertanding. Hari itu, bisa masuk lapangan saja rasanya sudah seperti menjuarai turnamen,’’ papar dia.
Pada awal musim 2020, Masha –sapaannya– sempat optimistis bisa kembali ke performa terbaik. Tapi, setelah turun di tiga ajang, dia akhirnya mengakui kesulitan untuk melakukan semuanya.
Perempuan kelahiran Nyagan, Rusia, 19 April 1987 itu mengawali perjalanan di tenis lewat kisah memilukan. Dia diminta pindah ke Florida, AS, untuk masuk IMG Academy. Sekolah tenis itulah yang melahirkan Andre Agassi, Monica Seles, dan Anna Kournikova.
Pada 1994, Maria dan sang ayah, Yuri Sharapov, nekat berangkat ke AS dengan sangu USD 700 alias Rp 9,7 juta. Ibunya tidak bisa ikut karena problem visa. Tiba di Floria, Yuri harus melakukan kerja serabutan untuk membiayai sekolah tenis putrinya.
Petenis berambut pirang itu meraih gelar grand slam perdana di Wimbledon 2004. Waktu itu usianya baru 17 tahun. Gelar tersebut langsung meroketkan namanya di jajaran olahragawan paling populer di dunia. Cantik, punya selera fashion yang bagus, dan berprestasi tinggi.
Apalagi, setahun kemudian, dia merebut takhta nomor satu dunia. Setelah itu, dia mampu menambah empat gelar mayor.
Karir Sharapova sempat tercoreng setelah dirinya gagal lolos tes doping pada Australia Terbuka 2016. Dia di sanksi selama 15 bulan. Setelah kembali dari sanksi, dia sulit menemukan lagi performa terbaiknya.
Akhir Perjalanan sang Princess
1987
Lahir di Nyagan, Rusia, pada 19 April 1987.
1993
Dapat rekomendasi berlatih di IMG Academy di Bradenton, Florida, AS. Maria dan ayahnya, Yuri, pindah ke AS setahun kemudian.
2000
Meraih gelar pertama di ajang junior. Yakni, Eddie Herr International Junior Tennis Championships.
2001
Mencatat debut di WTA Tour pada 19 April ketika usianya masih 14 tahun.
2003
Meraih gelar pertama di WTA pada Jepang Terbuka.
2004
Untuk kali pertama, Maria akhirnya meraih gelar grand slam pertama. Yakni, di Wimbledon.
2005
Pertama kali bertengger di peringkat I dunia.
2007–2010
Mengalami serangkaian cedera bahu, operasi, rehabilitasi, dan comeback.
2011
Kembali ke peringkat 10 besar tunggal putri.
2012
Kembali menduduki peringkat I dunia dan meraih perak Olimpiade London.
2013
Cedera bahu lagi.
2014
Come back dan meraih gelar Prancis Terbuka.
2016
Terjerat kasus doping, mendapat hukuman larangan tampil 2 tahun (dikurangi menjadi 15 bulan).
2017
Kembali dari masa hukuman dan mendapat wild card di Stuttgart Terbuka, Madrid Terbuka, dan Italia Terbuka.
2019
Menjalani pertandingan ke-800 pada babak pertama Shenzhen Terbuka.
2020
Pensiun dari dunia tenis pada 26 Februari 2020.
Sumber: Jawapos.com
Editor: E Sulaiman