Kamis, 19 September 2024

Semen Padang Justru Berprestasi di Tangan Pelatih Lokal

 

Oleh Hary B Koriun

PADA Januari 2002, sebuah buku yang saya tulis bersama Yosrizal –seorang wartawan, senior saya saat bekerja di Harian Singgalang dan Media GO— diterbitkan oleh PT Semen Padang. Buku berjudul Kerbau Merah dari Indarung: Semen Padang di Lintas Sepakbola Indonesia tersebut memang sejarah perjalanan Semen Padang sebagai sebuah klub sepakbola. Mulai dari masa persiapan, kelahiran, ikut kompetisi kasta kedua Galatama, lolos ke kasta utama, menjuarai beberapa kejuaraan penting dan siapa-siapa saja yang pernah bermain atau menjadi pelatih dan pengelola klub tersebut.

Sejak lahir  tahun pada 1 November 1980 dan naik ke kasta utama Galatama sebagai juara Divisi I pada musim 1982/1983 (dan bermain di Divisi Utama Galatama 1983/1984) hingga  buku itu selesai ditulis pada 2002, Semen Padang tak pernah jatuh ke kasta di bawahnya. Artinya, tim ini, meski tak terlalu mentereng prestasinya –kecuali juara Piala Liga 1992 di final mengalahkan Arema Malang– tetapi tetap berada di relnya. Dalam statistik, jarang Semen Kalah di kandang sendiri dan sering bermain baik di kandang lawan. Baik semasa masih Galatama maupun saat Liga Indonesia dimulai –yang menggabungkan Galatama dan Perserikatan– tahun 1994.

- Advertisement -

Sejak lahir, Semen Padang punya tradisi baik dalam melahirkan pelatih-pelatih lokal. Tercatat, di masa-masa awal, pelatih-pelatih seperti EA Arlis, Jenniwardin, Sofyan Rahim, Bustanul Arifin,  Adnan Jamil, Anas Kahar, Suhatman Imam, Yusunul Hairy, Safrianto, Usman Chan, hingga generasi termuda sekarang seperti Syafrianto Rusli, Jafri Sastra, Nil Maizar dan sekian nama lainnya.

Tercatat juga, prestasi yang diraih, termasuk menjadi juara Piala Liga 1992, Semen Padang dilatih duet Jenniwardin-Suhatman Imam, yang setelah juara justru tak dipakai di musim berikutnya karena para pengurus tidak yakin pelatih lokal mampu berprestasi tinggi di tingkat Asia. Ya, Semen Padang akan bermain di Piala Winners Asia tahun 1993. Halilintar Gunawan kemudian ditunjuk menjadi pelatih. Inilah untuk pertama kali, musim 1993/1994, Semen Padang ditangani pelatih "asing". Artinya, pelatih yang tak punya akar sepakbola Sumatra Barat (Sumbar).

- Advertisement -
Baca Juga:  Alasan Ditundanya Penentuan Sirkuit Formula E

Sayangnya, di tangan Halilintar, Semen Padang mencatat kekalahan paling memalukan dalam sejarahnya, ketika dibantai 11-0 oleh Yokohama Marinos dalam pertandingan kedua babak kedua Piala Winners di Yokohama. Semen sempat menang 2-1 di kandang sendiri menghadapi Yokohama yang banyak membawa pemain kelas dua ke Padang. Di babak pertama, Semen berhasil menyingkirkan wakil Vietnam, Saigon Port, dengan kemenangan 2-1 di Padang dan imbang 0-0 di Saigon.

Kekalahan memalukan itu membuat Halilintar diberhentikan di tengah jalan oleh manajemen yang dipimpin  Ir Mustamir Darwis. Usman Chan kemudian mengambil alih kendali sebagai pelatih utama hingga musim kompetisi berakhir. Ternyata, itu menjadi akhir dari era Galatama karena di musim berikutnya, 1994/1995, Galatama dan Perserikatan resmi dilebur dengan nama Liga Indonesia (dengan sponsor Dunhill).

Di musim pertama Liga Indonesia ini, kembali pelatih dari luar Sumbar yang dipercaya manajemen. Adalah Yuswardi, mantan pemain PSMS Medan berdarah Minang yang sebelumnya melatih klub Gumarang (Jakarta), yang dipercaya menangani Endra Mahyuni dkk. Usman Chan dijadikan sekretaris tim, dan Jhon Arwandi menjadi asisten. Sayangnya, di masa ini, Yuswardi banyak konflik dengan manajemen karena terlalu egois. Semen Padang pun tak berprestasi bagus meski masih tetap bertahan di Divisi Utama. 

Baca Juga:  Inter vs MU, Final Ideal yang Ditunggu

Di musim berkikutnya, manajemen berganti. Mustamir Darwis digantikan oleh Syafwan Arifin. Begitu juga, Yuswardi tak diperpanjang. Jabatan pelatih utama dialihkan ke mantan pelatih Diklat Rangunan, Edy Santoso. Syafrianto Rusli dan Ricky Darman yang baru pensiun, dijadikan asistennya. Di musim ini, Semen banyak melakukan peremajaan pemain dengan banyak mengambil pemain-pemain dari Diklat Rangunan seperti Dwi Prio Utomo, Kusdianto, Herman Pulalo, juga beberapa pemain dari Medan dan Aceh. Secara tim, peremajaan ini berjalan baik namun untuk prestasi instan, tentu belum terlihat.

Di musim 1996/1997, manajemen dirombak. Syafwan Arifin didepak sebagai Ketua I yang mengendalikan manajemen. Kemudian masuk beberapa pembina baru seperti Dwi Soetjipto, Aslim Saleh dan Harmen Nashar yang membantu kinerja Rustam Gafur sebagai orang yang sangat dihormati. Manajer baru juga ditunjuk, yakni Mohamad Hoesni yang dibantu Radjalis Kamil dan Subandji Sadeli. Di bidang teknis, Edy Santoso diberhentikan. Manajemen kemudian menunjuk mantan pelatih Pupuk Kaltim asal Medan yang prestasinya cukup mentereng, Zulkarnain Pasaribu. Syafrianto Rusli dan Ricky Darman tetap dipertahankan sebagai asisten.

Di tangan Zulkarnain Pasaribu (yang diperpanjang kontraknya hingga musim berikutnya), Semen nyaris lolos ke putaran final 12 Besar di Senayan. Sayangnya, Semen hanya berada di posisi kelima Wilayah Barat (kompetisi dibagi menjadi 3 wilayah). Di musim 1997/1998, Zulkarnain masih menjadi pelatih. Sayangnya, jatuhnya Presiden Soeharto oleh gelombang demonstrasi menuju era Reformasi, membuat kompetisi dihentikan sebelum berakhir.

 

Oleh Hary B Koriun

PADA Januari 2002, sebuah buku yang saya tulis bersama Yosrizal –seorang wartawan, senior saya saat bekerja di Harian Singgalang dan Media GO— diterbitkan oleh PT Semen Padang. Buku berjudul Kerbau Merah dari Indarung: Semen Padang di Lintas Sepakbola Indonesia tersebut memang sejarah perjalanan Semen Padang sebagai sebuah klub sepakbola. Mulai dari masa persiapan, kelahiran, ikut kompetisi kasta kedua Galatama, lolos ke kasta utama, menjuarai beberapa kejuaraan penting dan siapa-siapa saja yang pernah bermain atau menjadi pelatih dan pengelola klub tersebut.

Sejak lahir  tahun pada 1 November 1980 dan naik ke kasta utama Galatama sebagai juara Divisi I pada musim 1982/1983 (dan bermain di Divisi Utama Galatama 1983/1984) hingga  buku itu selesai ditulis pada 2002, Semen Padang tak pernah jatuh ke kasta di bawahnya. Artinya, tim ini, meski tak terlalu mentereng prestasinya –kecuali juara Piala Liga 1992 di final mengalahkan Arema Malang– tetapi tetap berada di relnya. Dalam statistik, jarang Semen Kalah di kandang sendiri dan sering bermain baik di kandang lawan. Baik semasa masih Galatama maupun saat Liga Indonesia dimulai –yang menggabungkan Galatama dan Perserikatan– tahun 1994.

Sejak lahir, Semen Padang punya tradisi baik dalam melahirkan pelatih-pelatih lokal. Tercatat, di masa-masa awal, pelatih-pelatih seperti EA Arlis, Jenniwardin, Sofyan Rahim, Bustanul Arifin,  Adnan Jamil, Anas Kahar, Suhatman Imam, Yusunul Hairy, Safrianto, Usman Chan, hingga generasi termuda sekarang seperti Syafrianto Rusli, Jafri Sastra, Nil Maizar dan sekian nama lainnya.

Tercatat juga, prestasi yang diraih, termasuk menjadi juara Piala Liga 1992, Semen Padang dilatih duet Jenniwardin-Suhatman Imam, yang setelah juara justru tak dipakai di musim berikutnya karena para pengurus tidak yakin pelatih lokal mampu berprestasi tinggi di tingkat Asia. Ya, Semen Padang akan bermain di Piala Winners Asia tahun 1993. Halilintar Gunawan kemudian ditunjuk menjadi pelatih. Inilah untuk pertama kali, musim 1993/1994, Semen Padang ditangani pelatih "asing". Artinya, pelatih yang tak punya akar sepakbola Sumatra Barat (Sumbar).

Baca Juga:  PSG Vs Dortmund, Olympiakos Vs Wolves Digelar tanpa Penonton

Sayangnya, di tangan Halilintar, Semen Padang mencatat kekalahan paling memalukan dalam sejarahnya, ketika dibantai 11-0 oleh Yokohama Marinos dalam pertandingan kedua babak kedua Piala Winners di Yokohama. Semen sempat menang 2-1 di kandang sendiri menghadapi Yokohama yang banyak membawa pemain kelas dua ke Padang. Di babak pertama, Semen berhasil menyingkirkan wakil Vietnam, Saigon Port, dengan kemenangan 2-1 di Padang dan imbang 0-0 di Saigon.

Kekalahan memalukan itu membuat Halilintar diberhentikan di tengah jalan oleh manajemen yang dipimpin  Ir Mustamir Darwis. Usman Chan kemudian mengambil alih kendali sebagai pelatih utama hingga musim kompetisi berakhir. Ternyata, itu menjadi akhir dari era Galatama karena di musim berikutnya, 1994/1995, Galatama dan Perserikatan resmi dilebur dengan nama Liga Indonesia (dengan sponsor Dunhill).

Di musim pertama Liga Indonesia ini, kembali pelatih dari luar Sumbar yang dipercaya manajemen. Adalah Yuswardi, mantan pemain PSMS Medan berdarah Minang yang sebelumnya melatih klub Gumarang (Jakarta), yang dipercaya menangani Endra Mahyuni dkk. Usman Chan dijadikan sekretaris tim, dan Jhon Arwandi menjadi asisten. Sayangnya, di masa ini, Yuswardi banyak konflik dengan manajemen karena terlalu egois. Semen Padang pun tak berprestasi bagus meski masih tetap bertahan di Divisi Utama. 

Baca Juga:  SKO Riau Siapkan 130 Kuota Atlet Pelajar

Di musim berkikutnya, manajemen berganti. Mustamir Darwis digantikan oleh Syafwan Arifin. Begitu juga, Yuswardi tak diperpanjang. Jabatan pelatih utama dialihkan ke mantan pelatih Diklat Rangunan, Edy Santoso. Syafrianto Rusli dan Ricky Darman yang baru pensiun, dijadikan asistennya. Di musim ini, Semen banyak melakukan peremajaan pemain dengan banyak mengambil pemain-pemain dari Diklat Rangunan seperti Dwi Prio Utomo, Kusdianto, Herman Pulalo, juga beberapa pemain dari Medan dan Aceh. Secara tim, peremajaan ini berjalan baik namun untuk prestasi instan, tentu belum terlihat.

Di musim 1996/1997, manajemen dirombak. Syafwan Arifin didepak sebagai Ketua I yang mengendalikan manajemen. Kemudian masuk beberapa pembina baru seperti Dwi Soetjipto, Aslim Saleh dan Harmen Nashar yang membantu kinerja Rustam Gafur sebagai orang yang sangat dihormati. Manajer baru juga ditunjuk, yakni Mohamad Hoesni yang dibantu Radjalis Kamil dan Subandji Sadeli. Di bidang teknis, Edy Santoso diberhentikan. Manajemen kemudian menunjuk mantan pelatih Pupuk Kaltim asal Medan yang prestasinya cukup mentereng, Zulkarnain Pasaribu. Syafrianto Rusli dan Ricky Darman tetap dipertahankan sebagai asisten.

Di tangan Zulkarnain Pasaribu (yang diperpanjang kontraknya hingga musim berikutnya), Semen nyaris lolos ke putaran final 12 Besar di Senayan. Sayangnya, Semen hanya berada di posisi kelima Wilayah Barat (kompetisi dibagi menjadi 3 wilayah). Di musim 1997/1998, Zulkarnain masih menjadi pelatih. Sayangnya, jatuhnya Presiden Soeharto oleh gelombang demonstrasi menuju era Reformasi, membuat kompetisi dihentikan sebelum berakhir.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari