Senin, 20 Mei 2024

Masih Pantaskah Simon Dipertahankan?

Oleh Hary B Koriun

SEJAK timnas Indonesia U-19 asuhan Indra Safri juara Piala AFF 2013 setelah di final mengalahkan Vietnam, ada perubahan mindset masyarakat Indonesia: percaya bahwa sepakbola Indonesia punya masa depan. Paling tidak, ada dua pemain muda yang masuk skuad Alfred Reidl saat Indonesia nyaris meraih juara AFF 2016 (kalah tipis 2-3 dari Thailand dalam dua laga final) dari U-19 2013 itu, yakni Evan Dimas dan Hansamu Yama. Di skuad itu juga banyak pemain muda yang lahir dari kompetisi.

Yamaha

Masuknya Luis Milla yang diproyeksikan menangani tim U-23 untuk SEA Games 2017 Kuala Lumpur dan Asian Games 2018 Jakarta Palembang, memberi angin segar. Bukan hanya banyak pemain muda yang terlihat bermain baik, tetapi ada fondasi yang kuat dengan pola permainan yang menjadi ciri khas kita: kekuatan sayap dan penguasan bola. Milla juga memperbaiki cara kerja para gelandang yang menjadi lokomotif dalam bertahan dan menyerang, termasuk saat transisi dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya. Juga, Milla menggabungkan pemain-pemain terbaik dari tim U-19 Indra Safri dengan anak-anak muda yang muncul bagus dari kompetisi. Jelas, kerangka tim dibentuk dengan dasar dari U-19 Indra Safri dalam komposisi inti Milla. Hansamu-Putu Gede (belakang), M Hargianto-Evan Dimas (tengah, Zulfiandi tak masuk tim karena cedera parah), Septian David Maulana-Yabes Roni di lini depan. 

Mereka diracik dengan pemain-pemain hasil dari kompetisi seperti Saddil Ramdani, Asnawi Mangkualam Bahar, Hanif Sjahbandi, Febri Haryadi, Osvaldo Hay, Martinus Manewar, Riky Fajrin, Gavin Kwan, Rezaldi Hehanusa, Andy Setyo Nugroho, dan beberapa pemain lainnya.

Tim ini memang gagal mencapai final di SEA Games 2017, tetapi memperlihatkan penampilan yang baik dengan pendekatan taktik menyerang lewat dua sayap yang cepat dan kemampuan penguasaan di lapangan tengah yang plastis. Saya berada di pinggir lapangan di semua pertandingan Indonesia di SEA Games 2017 itu, yakin bahwa anak-anak ini akan berkembang baik di masa depan.

- Advertisement -
Baca Juga:  Wako Motivasi Atlet Pekanbaru Berlaga di Porwil Bengkulu 

Tim inilah yang jadi dasar Milla saat bertarung di Asian Games 2018. Hampir plek. Di lini belakang masuk Bagas Adi, sedang di tengah masuk Zulfiandi, Irfan Jaya, dan Ilham Udin. Yang nyaris berubah total adalah lini depan. Milla mencoret Yabes Roni, Eza Wallian dan Marinus yang diganti dengan dua pemain senior, Beto dan Stefano Lillipaly. Komposisi kiper juga berubah total. Tiga kiper muda saat SEA Games diganti dengan Andritany Ardhiyaksa dan Awan Seto.

Hasilnya lumayan. Kita hanya kalah adu penalti di 16 Besar dari Uni Emirat Arab (UEA) 3-4 setelah bermain 2-2 di waktu normal. Dan ingat, ketika itu dua gol UEA terjadi dari titik penalti, bukan dari open play. Padahal dua gol Beto dan Lilipaly tergolong cantik. Di penyisihan grup, kita lolos sebagai runner-up grup setelah dua kemenangan atas Hongkong, Laos dan Taiwan, dan kalah dari Palestina.

- Advertisement -

Setelah Asian Games, saya juga yakin bahwa tim ini akan terus berkembang dengan nantinya pelatih akan melakukan promosi-degradasi, terutama melihat perkembangan pemain-pemain yang bermain istimewa di kompetisi, namun tetap dengan fondasi tim SEA Games dan Asian Games ini. Sayangnya, sengkarut yang terjadi di kepengurusan PSSI membuat Milla akhirnya mundur (tidak kembali dari Spanyol) setelah Asian Games. Padahal dia sudah "mempersiapkan" tim untuk Piala AFF 2018. Bima Sakti yang menjadi asistennya selama Milla di Indonesia, akhirnya diberi jabatan sebagai pelatih utama. 

Sayangnya, Bima mengubah gaya main yang dibangun Milla yang kuat dalam penguasaan bola dengan mengandalkan kecepatan sayap, menjadi lebih diven dan mengandalkan bola-bola panjang. Padahal kerangka tim yang dipakainya adalah pemain-pemain muda Milla, disisip beberapa pemain senior. Hasilnya, kita babak belur. Hanya sekali menang 3-1 atas Timor Leste, imbang 0-0 dengan Filipina, lalu dihajar Singapura 2-1 dan Thailand 4-2. Indonesia jadi peringkat keempat Grup B dengan 4 poin, hanya setingkat di atas juru kunci Timor Leste.

Baca Juga:  Lawan PSG di Final, Muenchen Punya Tiga Sinyal Buruk 

Ketika Simon McMenemy ditunjuk menggantikan Bima Sakti, dari awal sudah banyak orang pesimis. Meskipun pernah membawa Bayangkhara FC juara Liga 1, tapi semua orang tahu, saat menangani Filipina, dan menyulap tim itu menjadi tim yang perkasa di AFF 2012 hingga lolos ke semifinal, dia bukan melatih pemain-pemain Filipina, tetapi memimpin sekumpulan pemain yang diimpor dari Eropa dan dari berbagai negara lainnya.

Simon, nampaknya ingin memperlihatkan "tapak tangannya" di timnas Indonesia. Dia mengubah gaya permainan dan mendepak pemain-pemain yang menjadi langganan dan sudah dibina dengan baik oleh Milla. Dia malah memasukkan seorang bek berusia 36 tahun yang terlihat menjadi titik paling lemah Indonesia dalam dua laga Kualifikasi Piala Dunia 2022 saat kalah 2-3 dari Malaysia dan 0-3 dari Thailand.

Yustinus Pae mungkin masih bagus di saat di Persipura. Tapi satu yang jadi pertanyaan: mengapa baru di usia 36 tahun ini dia masuk timnas? Ke mana saja pelatih timnas selama ini jika alasan Simon kemampuan Pae layak diapresiasi dan masuk timnas di usia senja.Jika Pae dimainkan di pertandingan ujicoba, barangkali tak masalah. Tetapi ini di pertandingan resmi lho Gaes.

Di dua pertandingan itu, praktis Pae tertatih-tatih mengawal sayap-sayap cepat Malaysia dan Thailand. Di sisi lain, dia tak bisa menyuport flank kita karena tak bisa melakukan overlap dengan cepat selayaknya bek modern. Jelas, ini bukan masalah skill. Untuk skill, Pae bagus. Tapi usia tak bisa disembunyikan. Ini jelas berbeda dengan Beto. Sebagai penyerang, Beto tak punya tugas ikut bertahan, meski dia juga melakukannya. Beto juga terbukti masih punya fisik prima dan finishing touch yang prima di usianya yang sudah 38 tahun.

Oleh Hary B Koriun

SEJAK timnas Indonesia U-19 asuhan Indra Safri juara Piala AFF 2013 setelah di final mengalahkan Vietnam, ada perubahan mindset masyarakat Indonesia: percaya bahwa sepakbola Indonesia punya masa depan. Paling tidak, ada dua pemain muda yang masuk skuad Alfred Reidl saat Indonesia nyaris meraih juara AFF 2016 (kalah tipis 2-3 dari Thailand dalam dua laga final) dari U-19 2013 itu, yakni Evan Dimas dan Hansamu Yama. Di skuad itu juga banyak pemain muda yang lahir dari kompetisi.

Masuknya Luis Milla yang diproyeksikan menangani tim U-23 untuk SEA Games 2017 Kuala Lumpur dan Asian Games 2018 Jakarta Palembang, memberi angin segar. Bukan hanya banyak pemain muda yang terlihat bermain baik, tetapi ada fondasi yang kuat dengan pola permainan yang menjadi ciri khas kita: kekuatan sayap dan penguasan bola. Milla juga memperbaiki cara kerja para gelandang yang menjadi lokomotif dalam bertahan dan menyerang, termasuk saat transisi dari menyerang ke bertahan atau sebaliknya. Juga, Milla menggabungkan pemain-pemain terbaik dari tim U-19 Indra Safri dengan anak-anak muda yang muncul bagus dari kompetisi. Jelas, kerangka tim dibentuk dengan dasar dari U-19 Indra Safri dalam komposisi inti Milla. Hansamu-Putu Gede (belakang), M Hargianto-Evan Dimas (tengah, Zulfiandi tak masuk tim karena cedera parah), Septian David Maulana-Yabes Roni di lini depan. 

Mereka diracik dengan pemain-pemain hasil dari kompetisi seperti Saddil Ramdani, Asnawi Mangkualam Bahar, Hanif Sjahbandi, Febri Haryadi, Osvaldo Hay, Martinus Manewar, Riky Fajrin, Gavin Kwan, Rezaldi Hehanusa, Andy Setyo Nugroho, dan beberapa pemain lainnya.

Tim ini memang gagal mencapai final di SEA Games 2017, tetapi memperlihatkan penampilan yang baik dengan pendekatan taktik menyerang lewat dua sayap yang cepat dan kemampuan penguasaan di lapangan tengah yang plastis. Saya berada di pinggir lapangan di semua pertandingan Indonesia di SEA Games 2017 itu, yakin bahwa anak-anak ini akan berkembang baik di masa depan.

Baca Juga:  The Daddies Belum Habis

Tim inilah yang jadi dasar Milla saat bertarung di Asian Games 2018. Hampir plek. Di lini belakang masuk Bagas Adi, sedang di tengah masuk Zulfiandi, Irfan Jaya, dan Ilham Udin. Yang nyaris berubah total adalah lini depan. Milla mencoret Yabes Roni, Eza Wallian dan Marinus yang diganti dengan dua pemain senior, Beto dan Stefano Lillipaly. Komposisi kiper juga berubah total. Tiga kiper muda saat SEA Games diganti dengan Andritany Ardhiyaksa dan Awan Seto.

Hasilnya lumayan. Kita hanya kalah adu penalti di 16 Besar dari Uni Emirat Arab (UEA) 3-4 setelah bermain 2-2 di waktu normal. Dan ingat, ketika itu dua gol UEA terjadi dari titik penalti, bukan dari open play. Padahal dua gol Beto dan Lilipaly tergolong cantik. Di penyisihan grup, kita lolos sebagai runner-up grup setelah dua kemenangan atas Hongkong, Laos dan Taiwan, dan kalah dari Palestina.

Setelah Asian Games, saya juga yakin bahwa tim ini akan terus berkembang dengan nantinya pelatih akan melakukan promosi-degradasi, terutama melihat perkembangan pemain-pemain yang bermain istimewa di kompetisi, namun tetap dengan fondasi tim SEA Games dan Asian Games ini. Sayangnya, sengkarut yang terjadi di kepengurusan PSSI membuat Milla akhirnya mundur (tidak kembali dari Spanyol) setelah Asian Games. Padahal dia sudah "mempersiapkan" tim untuk Piala AFF 2018. Bima Sakti yang menjadi asistennya selama Milla di Indonesia, akhirnya diberi jabatan sebagai pelatih utama. 

Sayangnya, Bima mengubah gaya main yang dibangun Milla yang kuat dalam penguasaan bola dengan mengandalkan kecepatan sayap, menjadi lebih diven dan mengandalkan bola-bola panjang. Padahal kerangka tim yang dipakainya adalah pemain-pemain muda Milla, disisip beberapa pemain senior. Hasilnya, kita babak belur. Hanya sekali menang 3-1 atas Timor Leste, imbang 0-0 dengan Filipina, lalu dihajar Singapura 2-1 dan Thailand 4-2. Indonesia jadi peringkat keempat Grup B dengan 4 poin, hanya setingkat di atas juru kunci Timor Leste.

Baca Juga:  Everton Samai Catatan 82 Tahun Silam

Ketika Simon McMenemy ditunjuk menggantikan Bima Sakti, dari awal sudah banyak orang pesimis. Meskipun pernah membawa Bayangkhara FC juara Liga 1, tapi semua orang tahu, saat menangani Filipina, dan menyulap tim itu menjadi tim yang perkasa di AFF 2012 hingga lolos ke semifinal, dia bukan melatih pemain-pemain Filipina, tetapi memimpin sekumpulan pemain yang diimpor dari Eropa dan dari berbagai negara lainnya.

Simon, nampaknya ingin memperlihatkan "tapak tangannya" di timnas Indonesia. Dia mengubah gaya permainan dan mendepak pemain-pemain yang menjadi langganan dan sudah dibina dengan baik oleh Milla. Dia malah memasukkan seorang bek berusia 36 tahun yang terlihat menjadi titik paling lemah Indonesia dalam dua laga Kualifikasi Piala Dunia 2022 saat kalah 2-3 dari Malaysia dan 0-3 dari Thailand.

Yustinus Pae mungkin masih bagus di saat di Persipura. Tapi satu yang jadi pertanyaan: mengapa baru di usia 36 tahun ini dia masuk timnas? Ke mana saja pelatih timnas selama ini jika alasan Simon kemampuan Pae layak diapresiasi dan masuk timnas di usia senja.Jika Pae dimainkan di pertandingan ujicoba, barangkali tak masalah. Tetapi ini di pertandingan resmi lho Gaes.

Di dua pertandingan itu, praktis Pae tertatih-tatih mengawal sayap-sayap cepat Malaysia dan Thailand. Di sisi lain, dia tak bisa menyuport flank kita karena tak bisa melakukan overlap dengan cepat selayaknya bek modern. Jelas, ini bukan masalah skill. Untuk skill, Pae bagus. Tapi usia tak bisa disembunyikan. Ini jelas berbeda dengan Beto. Sebagai penyerang, Beto tak punya tugas ikut bertahan, meski dia juga melakukannya. Beto juga terbukti masih punya fisik prima dan finishing touch yang prima di usianya yang sudah 38 tahun.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari