Kamis, 19 September 2024

Jejak Digital Bisa Ungkap Aktor Intelektual 

JAKARTA (RIAUPOS.CO) —  Polri menjerat dua tersangka penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dengan pasal 170 KUHP subsider pasal 351 ayat 2 KUHP. Menurut Tim Advokasi Novel Baswedan, kedua pasal tersebut tidak tepat dipakai untuk menjerat kedua tersangka. Sebab, insiden yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sudah direncanakan dan nyaris membuat Novel kehilangan nyawa.

Wana Alamsyah yang ikut tergabung dalam Tim Advokasi Novel Baswedan menyampaikan bahwa aparat kepolisian seharusnya lebih komprehensif saat melihat kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Dengan begitu mereka tidak gegabah menggunakan pasal untuk menghukum pelaku. 

"Sehingga pasalnya akan jauh lebih bijak," terang Wana. 

Menurut Wana, penyerangan terhadap Novel bukan sekadar pengeroyokan atau penganiayaan. Pria yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menuturkan, sudah tampak upaya pembunuhan ketika Novel diserang. Dugaan tersebut bisa dilihat dari temuan di lokasi kejadian dan keterangan saksi-saksi di sekitar rumah Novel. 

- Advertisement -

"Kami melihat bahwa di dalam CCTV yang sudah kami lihat secara bersama itu ada pengkondisian. Bahkan sudah ada perencanaan pembunuhan," bebernya. 

Baca Juga:  Hentikan Sementara Umrah, DPR Kecewa dengan Sikap Arab Saudi

Menurut Wana, Polri seharusnya melihat konteks tersebut dan mendalaminya. Karena sudah ada prasyarat terlebih dahulu ketika Novel akan diserang. Lebih dari itu, Wana menyebutkan Polri juga harus melihat dulu apakah kedua tersangka memang benar-benar pelaku lapangan sekaligus aktor intelektual atau ada pihak lain yang merancang maupun memerintahkan penyerangan Novel. Apabila ada pihak lain yang berperan di balik aksi kedua tersangka yang sudah diumumkan kepada publik, Wana menilai pasal pengeroyokan dan penganiayaan tidak tepat dipakai. 

- Advertisement -

"Ketika ada aktor intelektual yang muncul, artinya pasal tersebut bisa ditingkatkan lagi. Bukan sekadar penganiayaan seperti itu," bebernya. 

Apalagi, dia menyebut, Novel sebagai korban juga menyampaikan dugaan adanya oknum jenderal di balik serangan itu. Selain itu, lanjut Wana, tim-tim yang bekerja mengungkap kasus Novel dua tahun delapan bulan belakangan sudah menyampaikan penyiraman air keras terhadap Novel ada kaitannya dengan pekerjaan Novel di KPK. Dengan kata lain, keterangan salah seorang tersangka yang seolah ingin menunjukan motif di balik penyerangan dendam pribadi tidak masuk akal.

Baca Juga:  Seluruh Alumni Unri Boleh Ajukan Nama Calon Ketua Umum IKA

Keterangan itu, kian tidak masuk akal apabila aparat kepolisian tidak mampu menemukan adanya relasi antara kedua tersangka dengan Novel. Menurut Wana, dendam pribadi hanya akan muncul apabila ada relasi antara Novel dengan tersangka. 

"Artinya argumentasi pengkhianat yang disampaikan pelaku tidak masuk akal dan bahkan cenderung untuk menutup kasusnya agar aktor intelektual tidak ditemukan," terang Wana.

Wana mengakui, pihaknya khawatir kedua tersangka hanya ‘pasang badan’ untuk melindungi pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyerangan terhadap Novel. Di samping menilai penerapan pasal yang kurang tepat, dia menyebut, Polri juga harus lebih transparan lagi membuka kasus tersebut kepada publik. Sebab, sampai hari ketiga setelah tersangka diumumkan (27/12), identitas pelaku belum dibuka secara terang. Baik nama lengkap, tempat bertugas, sampai motif pelaku menyerang Novel. Padahal, Polri sudah memeriksa kedua tersangka. Terlebih, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis juga sudah menyampaikan kasus tersebut akan dituntaskan secara transparan. (far/syn/idr/jpg)

JAKARTA (RIAUPOS.CO) —  Polri menjerat dua tersangka penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dengan pasal 170 KUHP subsider pasal 351 ayat 2 KUHP. Menurut Tim Advokasi Novel Baswedan, kedua pasal tersebut tidak tepat dipakai untuk menjerat kedua tersangka. Sebab, insiden yang menimpa penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sudah direncanakan dan nyaris membuat Novel kehilangan nyawa.

Wana Alamsyah yang ikut tergabung dalam Tim Advokasi Novel Baswedan menyampaikan bahwa aparat kepolisian seharusnya lebih komprehensif saat melihat kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Dengan begitu mereka tidak gegabah menggunakan pasal untuk menghukum pelaku. 

"Sehingga pasalnya akan jauh lebih bijak," terang Wana. 

Menurut Wana, penyerangan terhadap Novel bukan sekadar pengeroyokan atau penganiayaan. Pria yang juga peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menuturkan, sudah tampak upaya pembunuhan ketika Novel diserang. Dugaan tersebut bisa dilihat dari temuan di lokasi kejadian dan keterangan saksi-saksi di sekitar rumah Novel. 

"Kami melihat bahwa di dalam CCTV yang sudah kami lihat secara bersama itu ada pengkondisian. Bahkan sudah ada perencanaan pembunuhan," bebernya. 

Baca Juga:  Dosen UIR Gelar Webinar Pengembangan Materi Ajar Berbasis Facebook

Menurut Wana, Polri seharusnya melihat konteks tersebut dan mendalaminya. Karena sudah ada prasyarat terlebih dahulu ketika Novel akan diserang. Lebih dari itu, Wana menyebutkan Polri juga harus melihat dulu apakah kedua tersangka memang benar-benar pelaku lapangan sekaligus aktor intelektual atau ada pihak lain yang merancang maupun memerintahkan penyerangan Novel. Apabila ada pihak lain yang berperan di balik aksi kedua tersangka yang sudah diumumkan kepada publik, Wana menilai pasal pengeroyokan dan penganiayaan tidak tepat dipakai. 

"Ketika ada aktor intelektual yang muncul, artinya pasal tersebut bisa ditingkatkan lagi. Bukan sekadar penganiayaan seperti itu," bebernya. 

Apalagi, dia menyebut, Novel sebagai korban juga menyampaikan dugaan adanya oknum jenderal di balik serangan itu. Selain itu, lanjut Wana, tim-tim yang bekerja mengungkap kasus Novel dua tahun delapan bulan belakangan sudah menyampaikan penyiraman air keras terhadap Novel ada kaitannya dengan pekerjaan Novel di KPK. Dengan kata lain, keterangan salah seorang tersangka yang seolah ingin menunjukan motif di balik penyerangan dendam pribadi tidak masuk akal.

Baca Juga:  Seluruh Alumni Unri Boleh Ajukan Nama Calon Ketua Umum IKA

Keterangan itu, kian tidak masuk akal apabila aparat kepolisian tidak mampu menemukan adanya relasi antara kedua tersangka dengan Novel. Menurut Wana, dendam pribadi hanya akan muncul apabila ada relasi antara Novel dengan tersangka. 

"Artinya argumentasi pengkhianat yang disampaikan pelaku tidak masuk akal dan bahkan cenderung untuk menutup kasusnya agar aktor intelektual tidak ditemukan," terang Wana.

Wana mengakui, pihaknya khawatir kedua tersangka hanya ‘pasang badan’ untuk melindungi pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyerangan terhadap Novel. Di samping menilai penerapan pasal yang kurang tepat, dia menyebut, Polri juga harus lebih transparan lagi membuka kasus tersebut kepada publik. Sebab, sampai hari ketiga setelah tersangka diumumkan (27/12), identitas pelaku belum dibuka secara terang. Baik nama lengkap, tempat bertugas, sampai motif pelaku menyerang Novel. Padahal, Polri sudah memeriksa kedua tersangka. Terlebih, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis juga sudah menyampaikan kasus tersebut akan dituntaskan secara transparan. (far/syn/idr/jpg)

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari