Sektor minyak bumi dan gas (migas) menjadi primadona dalam suatu wilayah/negara. Karena hadirnya sektor migas ini memberikan kontribusi yang besar dalam perkembangan daerah, seperti halnya Provinsi Riau.
(RIAUPOS.CO) – DI Privinsi Riau, usaha pencarian minyak bumi di Riau (dulu Sumatera Tengah, red) dimulai ahun 1924. Saat itu Standard Oil Company of California mengajukan hak eksplorasi minyak bumi kepada Pemerintah Hindia Belanda. Setelah menunggu selama enam tahun, akhirnya pada tahun 1930 Pemerintah Hindia Belanda menyetujui permintaan perusahaan Amerika tersebut untuk melakukan eksplorasi minyak.
Untuk melaksanakan operasinya di wilayah Hindia Belanda, Standard Oil Company of California mendirikan perusahaan NV Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschaappij (NPPM) pada Juni 1930. Pada tahun 1935, NPPM mendapat tawaran untuk melakukan eksplorasi seluas 600.000 hektare di Sumatera Tengah yang kemudian di dunia perminyakan dikenal sebagai Rokan Block.
Setelah mendapatkan hak eksplorasi pada tahun 1935, NPPM segera melakukan kegiatan secara sistemik di wilayah Sumatera Tengah yang dimulai dari daerah aliran Sungai Rokan. Hasil dari kegiatan penyelidikan geologi pada tahun 1936 dan 1937 memberikan keyakinan bagi pihak NPPM, bahwa cadangan minyak di Riau (Sumatera Tengah, red) letaknya lebih ke selatan. Akhirnya NPPM meminta kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah daerah kerjanya sehingga berbentuk seperti seekor kangguru menghadap ke barat. Selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya NPPM giat melakukan kegiatan penelitian geologik, geofisik serta melakukan pengeboran sumur di wilayah kerjanya. Sejak tahun 1937 sampai dengan 1941 telah dilakukan penelitian seismik dengan luas 4.012 kilometer, termasuk melakukan pengeboran dengan sistem counterflush sebanyak 34 sumur pada lokasi yang berbeda-beda.
‘’Untuk sektor migas ini di Riau sudah dimulai sebelum Indonesia merdeka. Namun saat itu belum memberikan kontribusi yang besar bagi pembangunan dan perekonomian masyarakat,’’ ujar Pjs Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagut Haryanto Syafri kepada Riau Pos, akhir pekan lalu. Sepanjang tahun 1938-1944 dilakukan pengeboran eksplorasi sebanyak sembilan sumur dengan temuan gas di Sebanga dan minyak di Duri dan Minas. Penemuan tersebut merupakan tonggak terpenting dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi di Sumatera Tengah.
Menjelang kemerdekaan Republik Indonesia terdapat dua perusahaan besar minyak asing yang beroperasi di wilayah Riau (Sumatera Tengah,red). Perusahaan pertama adalah NV. SVPM, yang kemudian dikenal STANVAC, yang merupakan gabungan antara perusahaan Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) dengan Standard Oil of New Jersey pada tahun 1933. Kelompok ini beroperasi di Riau atau tepatnya sekitar Lirik. Sedangkan perusahaan lainnya adalah NV Caltex Pacific Petroleum Maatschappij yang merupakan gabungan usaha antara NV Nederlandsche Pacific Petroleum Maatschappij (NPPM) dengan Texas Oil Company (TEXACO) pada tahun 1936. Kelompok ini beroperasi di Sumatra bagian tengah (Blok Rokan, Sebanga, Duri, Minas).
‘’Migas sudah jadi ‘’emas hitam’’ yang harus dijaga. Migas akan habis jika kita tidak pandai mengoptimalkan penggunaannya,’’ sebut Haryato.
Pria berkacamata ini menjelaskan, saat ini Indonesia khususnya Riau dihadapkan pada kenyataan produksi migas sudah melewati titik puncaknya produksinya. Keberhasilan tersebut berkat penerapan teknologi injeksi uap (steam flood) yang membuat produksi Lapangan Duri lima kali lebih banyak dibandingkan teknologi konvensional. Teknologi injeksi uap di lapangan tersebut merupakan yang pertama di Indonesia dan salah satu yang terbesar di dunia. Keberhasilan pengelolaan dan penambahan usia lapangan migas juga ditentukan oleh teknologi yang digunakan. Chevron terus berinvestasi dalam pengembangan teknologi pencarian minyak maupun enhanced oil recovery (EOR) guna mengoptimalkan tingkat perolehan minyak. Lapangan Duri termasuk wilayah kerja Blok Rokan, di Riau yang dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Lapangan tersebut ditemukan pada 1941 dan baru berproduksi pada 17 tahun berselang, yakni pada 1958. Setelah melewati titik puncak produksi dari fase primer sebanyak 65 ribu barel per hari pada 1965, produksi Lapangan Duri menurun secara alamiah seiring penurunan tekanan di dalam reservoar. CPI memulai proyek percontohan (pilot project) injeksi uap di Lapangan Duri pada 1975. Sepuluh tahun kemudian, teknologi ini diterapkan dalam skala besar dan mampu kembali menaikkan produksi hingga mencapai 300 ribu barel per hari pada 1993. Semua itu dicapai berkat penerapan teknologi. Hingga saat ini, Lapangan Duri telah menghasilkan lebih dari 2,6 miliar barel. CPI terus mengembangkan lapangan ini untuk menjaga kontribusi Lapangan Duri terhadap produksi nasional. Dua pengembangan terakhir adalah North Duri Area 12 dan 13 yang masing-masing menghasilkan produksi perdana pada 2008 dan 2013.
‘’Ada dua kali yakni saat ditemukan lapangan Minas dan saat diterapkannya teknologi injeksi uap (steam flood) dan enhanced oil recovery (EOR) yakni berkisar 1,5 juta barel per hari. Saat ini secara nasional tinggal 700 ribu barel per hari. Produksi Riau saat ini 200 ribu barel per hari. Oleh karena itu kita harus menemukan cadangan migas baru yang ada di Riau. Di mana saja hamparan di Riau bisa saja ditemukan cadangan migas baru. Untuk memperoleh cadangan migas baru ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni bagaimana mempermudah proses pencarian sehingga menjadi lancar, mempercepat segala sesuatu pencarian itu terlaksana, mempercepat dimana cadangan itu berada di-development,’’ tegas pria yang pernah meraih beasiswa dari PT Caltex Pacific Indonesia (Chevron Pacific Indonesia, red) ini.