JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Ketua Badan Anggaran DPR RI Said Abdullah mengatakan, saat ini pemerintah tengah menimbang sejumlah pilihan langkah yang bisa diambil untuk menyelamatkan ekonomi nasional. Pasalnya, di tengah pandemi virus Korona atau Covid-19 hampir semua negara mengalami kesulitan.
Ada beberapa opsi yang disarankan Banggar DPR demi menjaga stabilitas keuangan nasional. Hal ini karena skenario penganggaran yang direncanakan pemerintah tampaknya kurang mencukupi.
Menurut politisi PDIP ini, usulan tersebut didasarkan pada ancaman terhadap keringnya likuiditas perbankan sebagai akibat menurunkannya kegiatan ekonomi, sehingga menurunnya kemampuan debitur membayar kredit.
"Serta membesarnya kebutuhan pembiayaan APBN yang tidak mudah ditopang dari pembiayaan utang melalui skema global bond, maupun pinjaman internasional melalui berbagai lembaga keuangan," ujar Said Abdullah dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/4).
Berpijak pada dua hal tesebut, Banggar DPR merekomendasikan kepada Bank Indonesia dan pemerintah untuk melakukan sejumlah hal. Pertama, melakukan kebijakan quantitative easing lebih lanjut agar Bank Indonesia membeli SBN/SBSN repo yang dimiliki perbankan dengan bunga dua persen, khususnya perbankan dalam negeri agar memiliki kecukupan likuiditas.
Selanjutnya, kata Said, Bank Indonesia juga sebaiknya memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek kepada perbankan untuk mempertebal likuiditasnya, agar kemampuan perbankan sebagai transmisi keuangan tetap optimal dan sehat.
"Bank Indonesia juga dapat mencetak uang dengan jumlah Rp 400-600 triliun sebagai penopang dan opsi pembiayaan yang dibutuhkan oleh pemerintah," paparnya
Mengingat, dalam situasi global yang ekonominya berangsur menurun, maka tidak mudah mencari sumber sumber pembiayaan, meskipun dengan menerbitkan global bond dengan bunga besar.
"Bank Indonesia dapat menawarkan yield sebesar 2-2,5 persen, sedikit lebih rendah dari global bond yang dijual oleh pemerintah," ujar Said.
Kebijakan mencetak uang sebagaimana yang dimaksud, kata Said, tentunya harus memperhitungkan biaya operasi moneter Bank Indonesia. Sehingga biaya tersebut tidak boleh dibebankan kepada Pemerintah.
"Oleh sebab itu, besaran yieldnya tidak boleh lebih rendah dari biaya operasi moneter Bank Indonesia, agar tidak menimbulkan kerugian bagi Bank Indonesia, serta tidak menyebabkan modal Bank Indonesia lebih rendah 10 persen dari kewajiban moneternya," jelas Said.
Adapun kebijakan mencetak uang nantinya, juga perlu memperhitungkan dampak inflasi yang ditimbulkan, sekaligus tekanan kurs terhadap rupiah.
"Semoga dapat menjadi bahan pertimbangan Bank Indonesia dan pemerintah sebagai jalan pemulihan program ekonomi nasional," kata Said Abdullah.
Sumber: JawaPos.com
Editor: Erizal