Sabtu, 23 November 2024
spot_img

Pansel Capim KPK Sentil Peserta, Tak Paham Perbedaan Pasal, Bisa Bengong Jadi Pimpinan

JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur akademisi, Luthfi Jayadi Kurniawan mengaku tidak memahami perbedaan antara pasal penerima dan pemberi suap. Pernyataan ini dilontarkan saat Luthfi mengikuti tes wawancara dan uji publik capim KPK di Gedung Sekretariat Negara (Sekneg), Jakarta Pusat, Rabu (28/8).

Mulanya anggota panitia seleksi (pansel) capim KPK, Indriyanto Seno Adji menanyakan terkait pemahaman Luthfi mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Indriyanto pun menanyakan terkait perbedaan Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tipikor tersebut.

“Pasal 5 di UU Tipikor dan Pasal 12 di UU Tipikor, apa? 12 a, B, b kecil. Kalau enggak paham jangan dijawab,” tanya Indriyanto.

Luthfi pun langsung menjawab dengan lugas bahwa dia tidak memahami perbedaan antara pasal 5 dan pasal 12 Undang-Undang Tipikor. “Ya tidak. Saya tidak hapal,” jawab Luthfi.

Jika ditelisik, Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999 terkait pasal untuk pihak pemberi suap kepada penyelenggara negara. Ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

Baca Juga:  IPW Desak Jokowi Copot Kapolri Terkait Tewasnya 6 Laskar FPI

Setiap orang dapat dikenakan pasal 5 bilamana memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Seseorang dikenakan pasal 5 juga bilamana memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Sementara itu, untuk pasal 12 biasanya dikenakan kepada pegawai negeri, penyelenggara negara, advokat yang menjalankan tugas menangani perkara, hakim, dan unsur lainnya yang menerima suap.

Indriyanto pun menjelaskan kepada Luthfi soal pentingnya pemahaman Undang-Undang Tipikor. Menurutnya, sebagai seorang pimpinan KPK hal tersebut harus dipahami lantaran sangat penting dalam gelar perkara.

“Itu rata-rata perkara suap di sana, pak. Kalau sampai perdebatan keras di sana bisa bedakan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, perdebatan satu pasal bisa sampai enam jam. Kalau kita enggak paham bapak bengang-bengong jadi pimpinan,” ujar Indriyanto.

Baca Juga:  Pesan Airlangga di Kongres Ikhwanul Muballighin soal Pemulihan Ekonomi

Untuk diketahui, tujuh peserta capim KPK yang akan menjalani uji publik hari ini berasal dari latar belakang dan profesi berbeda. Mulai dari pengacara, jaksa, hakim, hingga dosen. Mereka di antaranya yakni, Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Johanis Tanak; advokat yang juga mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lili Pintauli Siregar.

Selain itu, ada akademisi Luthfi Jayadi Kurniawan; Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang saat ini sudah pensiun, M Jasman Panjaitan; hakim Pengadilan Tinggi Bali, Nawawi Pomolango; dosen Neneng Euis Fatimah; dan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Deslina

 

JAKARTA(RIAUPOS.CO)– Calon pimpinan (capim) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari unsur akademisi, Luthfi Jayadi Kurniawan mengaku tidak memahami perbedaan antara pasal penerima dan pemberi suap. Pernyataan ini dilontarkan saat Luthfi mengikuti tes wawancara dan uji publik capim KPK di Gedung Sekretariat Negara (Sekneg), Jakarta Pusat, Rabu (28/8).

Mulanya anggota panitia seleksi (pansel) capim KPK, Indriyanto Seno Adji menanyakan terkait pemahaman Luthfi mengenai Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Indriyanto pun menanyakan terkait perbedaan Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tipikor tersebut.

- Advertisement -

“Pasal 5 di UU Tipikor dan Pasal 12 di UU Tipikor, apa? 12 a, B, b kecil. Kalau enggak paham jangan dijawab,” tanya Indriyanto.

Luthfi pun langsung menjawab dengan lugas bahwa dia tidak memahami perbedaan antara pasal 5 dan pasal 12 Undang-Undang Tipikor. “Ya tidak. Saya tidak hapal,” jawab Luthfi.

- Advertisement -

Jika ditelisik, Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999 terkait pasal untuk pihak pemberi suap kepada penyelenggara negara. Ancaman hukumannya dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.

Baca Juga:  Penyidik Telah Kantongi Nama Tersangka Dugaan Kredit Macet di PT PER

Setiap orang dapat dikenakan pasal 5 bilamana memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.

Seseorang dikenakan pasal 5 juga bilamana memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Sementara itu, untuk pasal 12 biasanya dikenakan kepada pegawai negeri, penyelenggara negara, advokat yang menjalankan tugas menangani perkara, hakim, dan unsur lainnya yang menerima suap.

Indriyanto pun menjelaskan kepada Luthfi soal pentingnya pemahaman Undang-Undang Tipikor. Menurutnya, sebagai seorang pimpinan KPK hal tersebut harus dipahami lantaran sangat penting dalam gelar perkara.

“Itu rata-rata perkara suap di sana, pak. Kalau sampai perdebatan keras di sana bisa bedakan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, perdebatan satu pasal bisa sampai enam jam. Kalau kita enggak paham bapak bengang-bengong jadi pimpinan,” ujar Indriyanto.

Baca Juga:  Yayasan dan IKA YPPI Siap Berkontribusi untuk Madrasah

Untuk diketahui, tujuh peserta capim KPK yang akan menjalani uji publik hari ini berasal dari latar belakang dan profesi berbeda. Mulai dari pengacara, jaksa, hakim, hingga dosen. Mereka di antaranya yakni, Direktur Tata Usaha Negara pada Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung, Johanis Tanak; advokat yang juga mantan Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lili Pintauli Siregar.

Selain itu, ada akademisi Luthfi Jayadi Kurniawan; Mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang saat ini sudah pensiun, M Jasman Panjaitan; hakim Pengadilan Tinggi Bali, Nawawi Pomolango; dosen Neneng Euis Fatimah; dan dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron.

Sumber: Jawapos.com
Editor: Deslina

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

spot_img
spot_img
spot_img

Terbaru

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari