PUASA di bulan Ramadan memiliki misi untuk mendidik manusia memiliki kepribadian yang wara’, karena inti dari ibadah puasa adalah kemampuan untuk imsak (menahan diri) dari segala sesuatu yang membatalkan puasa dan yang menghilangkan pahala puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari.
Selama berpuasa kita dididik untuk mampu menahan diri dari segala sesuatu yang bernilai halal (makan, minum, dll) di luar puasa, apalagi yang haram. Sikap wara’ ini merupakan manifestasi dari keimanan seseorang kepada Allah dan hari akhir.
Salah satu hikmah beriman kepada hari akhir adalah tertanamnya sebuah keyakinan bahwa semua amal perbuatan kita sewaktu hidup di dunia akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt. Meskipun manusia mampu lolos dari pengadilan dunia, namun ia tidak akan mampu lolos dari pemeriksaan Allah di Yaumil Mahsyar (hari kiamat), di mana Allah tampil sebagai Qadhi Rabb Jalil (hakim tunggal) yang akan memeriksa sekecil apapun amal perbuatannya (Q.S. Al-Zalzalah: 7-8).
Dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dijelaskan, bahwa setiap manusia akan diperiksa satu-persatu dihadapan Allah, kecuali orang-orang yang wara’ karena Allah segan kepada mereka, menghormatinya, dan akan memasukkan mereka ke surga tanpa hisab. Hadis ini menggambarkan betapa istimewanya seorang hamba yang berpredikat wara’ dihadapan Allah. Siapakah mereka? Mereka adalah orang yang mampu menjauhkan diri dari segala sesuatu yang berstatus syubhat (hal-hal yang meragukan atau tidak jelas statusnya), apalagi haram.
Dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, manusia memiliki kecenderungan untuk mencari dan mendapat rezeki dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama. Prinsip menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan sering mewarnai kehidupan manusia, lebih-lebih tatkala mendekati lebaran (idul fitri).
Seorang ayah/suami, terkadang harus mencuri (termasuk korupsi) dan melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama demi untuk menyenangkan anak/isteri dalam merayakan Idul Fitri. Oleh karena itu, Allah memerintahkan kepada manusia untuk menikmati karunia Allah di muka bumi ini dengan cara yang halal dan baik (Q.S. Al-Baqarah: 168).
Sikap selektif yang ditunjukkan oleh Abu Bakar tersebut merupakan hakikat pribadi yang wara’. Sudah sepantasnya setiap kita meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga diharapkan akan lahir sosok yang bersih (clean), terutama para pemimpin negeri ini. Mampukah nilai wara’ seperti ini kita terapkan pasca bulan Ramadan yang akan datang? Wallahu A’lam.***