Bertahun-tahun Provinsi Riau dikenal sebagai daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Di permukaan buminya tumbuh tanaman sawit yang terluas di Tanah Air. Sedangkan di bawah permukaan terkandung minyak bumi yang tidak kalah banyak jumlahnya.
Laporan: SOLEH SAPUTRA (Pekanbaru)
BELAKANGAN stempel yang disematkan di Riau sebagai daerah yang kaya perlahan pudar. Hasil minyak bumi diprediksi tak lagi bisa jaminan utama pendapatan daerah di masa datang. Tanaman sawit yang terus mendapatkan kampanye negatif, karena dinilai tak ramah lingkungan, juga mempengaruhi harga buah kelapa sawit. Lalu, sektor apa yang bisa dikembangkan di Bumi Lancang Kuning jika dua primadona tersebut tak lagi menjanjikan?
Hal itu yang dibahas dalam webinar yang digelar MarkPlus.Inc yang didukung Riau Pos dengan mengangkat tema "Riau: Paska Minyak Bumi dan Sawit" yang dilakukan secara online melalui aplikasi zoom. Webinar tersebut diikuti Founder dan Chairman Markplus.Inc Hermawan Kartajaya, Gubernur Riau (Gubri) Syamsuar, Wakil Wali Kota Pekanbaru Ayat Cahyadi, Kepala Bank Indonesia Riau Decymus, Pj Sekda Siak Jamaludin dan Wakil Bupati Rokan Hilir Jamiluddin serta 250 lebih peserta lainnya.
Hermawan Kartajaya dalam pembukaan diskusi mengatakan, dengan kondisi saat ini Riau disarankan tidak terjebak dengan selalu mengandalkan sektor kelapa sawit dan minyak bumi. Pasalnya, dua sektor tersebut tidak bisa terus-terusan diandalkan karena akan habis pada masanya. "Riau masih punya potensi lain. Lahan yang masih cukup luas tersedia bisa menjadi salah satu modal. Sektor pertanian tanaman pangan misalnya, bisa lebih dikembangkan," katanya.
Untuk mengembangkan sektor baru tersebut, menurut Hermawan pemerintah daerah harus meningkatkan skill. Setelah itu, skill tersebut nantinya juga diturunkan kepada masyarakat sebagai eksekutor di lapangan. "Riau harus bisa bangkit. Jangan sampai terus-menerus terjebak di sektor minyak bumi dan sawit," ujarnya.
Hermawan juga menawarkan konsep pembangunan Dekade Indonesia 2030. Di masa sepuluh tahun dari sekarang itu, dia membaginya kepada tiga fase. Dua tahun pertama bagaimana untuk keluar dari pandemi dan pulih terpuruknya sektor ekonomi. Fase kedua tiga tahun berikutnya, fase pemulihan namun juga akan dipengaruhi dengan kehebohan jelang Pemilu 2024. Fase ketiga yakni lima tahun berikutnya, yakni masa untuk menuju Indonesia baru.
"Riau juga seharusnya punya visi ke sana, Riau baru," ujarnya.
Pembangunan yang ada sekarang, lanjutnya, juga harus mengarah ke sana. Seperi jalan tol harus dijadikan way out (jalan keluar) untuk maju.
Dari semua sektor pembangunan itu, Hermawan menggaris bawahi untuk berpikir ke depan dan meningkatkan level setiap sektor industri itu. Seperi sawit misalnya, bukan saja untuk pengembangan industri hilir, namun harus lebih jauh yakni services (jasa). Misalnya, produk dari industri hilir kelapa sawit di Riau itu juga dipakai dalam industri jasa. Misalnya, semua restoran di Riau menggunakan produk industri hilir dari kelapa sawit dari Riau. "Intinya harus berpikir ke depan," ujarnya.
Menyikapi hal itu, Gubri mengatakan, pihaknya sangat tertarik untuk mengembangkan sektor lain di samping minyak bumi dan sawit. Saat ini pihaknya sudah merasakan dampak dari terus turunnya harga minyak dunia yang berimbas pada dana bagi hasil ke daerah.
"Untuk kelapa sawit saat ini juga persaingan bisnisnya sudah semakin ketat. Belum lagi kampanye negatif tentang sawit juga berpengaruh terhadap harga jual CPO di pasar internasional," katanya.
Untuk itu saat ini, ujar Syamsuar, pihaknya sudah mulai melirik sektor lain untuk bisa dikembangkan. Di antaranya sektor pertanian. Dari sektor ini paling tidak ada empat komoditi yang bisa dikembangkan. Di antaranya padi organik, talas atau keladi, nanas dan kencur.
"Untuk padi organik daerah pengembangan yang dicanangkan yakni Kabupaten Pelalawan. Lahan yang sudah dikembangkan 6.741 hektare (ha) dengan produksi per tahun sebanyak 24.467 ton. Untuk potensi lahan yang masih bisa dikembangkan yakni seluas 18 ribu ha," jelasnya.
Kemudian untuk nanas, daerah pengembangan yakni Kabupaten Kampar, Siak, dan Dumai. Produksinya selama ini sudah mencapai 132 ribu ton. Kemudian kencur, daerah pengembangan Kabupaten Indragiri Hilir dengan luas lahan 20 ha, dan masih ada potensi 200 ha.
"Untuk nanas dan kencur selama ini sudah menjadi komoditi ekspor Riau. Negara tujuannya Malaysia dan Singapura. Dua jenis tanaman ini masih sangat menjanjikan jika terus dikembangkan," jelasnya.
Dari sektor perkebunan selain sawit, ujar Gubri, pihaknya saat ini juga sudah mulai melirik tanaman sagu dan kopi. Sagu mulai diminati masyarakat karena kadar gulanya yang rendah dan bisa menjadi sumber karbohidrat. Kemudian kopi yang potensinya juga bagus. "Dua jenis tanaman itu bisa tumbuh dengan subur di lahan gambut. Riau lahan gambutnya cukup luas," ujarnya.
Sementara itu Kelapa Bank Indonesia Riau Decymus mengatakan, untuk mendukung pengembangan sektor lain, Pemprov Riau harus melakukan pengembangan dan pembangunan infrastruktur pendukung. Salah satunya pelabuhan untuk keperluan ekspor.
"Riau harus punya pelabuhan utama untuk ekspor impor. Selama ini kan masih menggunakan pelabuhan di Sumatera Utara. Waktu tunggu ekspor juga cukup lama. Hal ini tentunya juga menyulitkan padahal komoditi di Riau sudah banyak yang diekspor," katanya.
Selain itu, lanjut Decymus, di era digital saat ini masih sangat minim sekali UMKM di Riau yang terhubung ke digital. Padahal salah satu cara pemasaran produk yang ampuh melalui digital. "Riau juga harus punya brand pariwisata. Menurut saya brand pariwisata yang bagus untuk Riau adalah religi. Dengan sasaran wisatawan dari negara tetangga dan juga Timur Tengah. Namun sarana pendukungnya juga harus dibangun," sarannya.
Khusus untuk sektor perkebunan kelapa sawit, menurutnya, strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan harga jual dengan meningkatkan produk turunan kelapa sawit. Saat ini produk turunan kelapa sawit di Riau baru 20 jenis.
"Produk turunan kelapa sawit di Riau masih minim dibandingkan Malaysia yang sudah mencapai 147 jenis. Untuk itu, ini perlu ditingkatkan lagi," katanya.***