JAKARTA (RIAUPOS.CO) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP 65) mengecam agenda Revisi Undang-Undang Kejaksaan yang sedang digodok DPR.
Kontras dan YPKP 65 menilai Revisi UU Kejaksaan membentengi impunitas atau pembebasan dari hukuman terhadap terduga pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
"KontraS dan YPKP 65 mengecam revisi Undang-Undang Kejaksaan yang saat ini tengah dibahas oleh DPR," sebagaimana di Jakarta.
KontraS dan organisasi yang mewadahi korban 1965 itu menyoroti sejumlah pasal yang dinilai bakal menghambat penyelesaian HAM berat masa lalu.
Sejumlah pasal tersebut antara lain Pasal 30 C huruf b menyatakan Kejaksaan memiliki tugas dan kewenangan untuk ikut dan aktif dalam proses pencarian kebenaran dan rekonsiliasi perkara HAM berat dan konflik sosial tertentu.
"Pasal tersebut jelas bertentangan dengan Hukum Acara Pengadilan HAM Berat yang diatur dalam Undang-Undang 26/2000 yang menyatakan Jaksa Agung bertindak sebagai Penyidik dan Penuntut Umum perkara pelanggaran HAM berat," jelas KontraS.
Menurut KontraS dan YPKP 65, penyelesaian di luar Pengadilan HAM (non-yudisial), sebagaimana diatur dalam Pasal 47 UU 26/2000, dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Komisi ini dibentuk dengan undang-undang tersendiri dan tidak menjadi wewenang Kejaksaan.
Mereka menilai fungsi ganda kejaksaan dalam penyelesaian kasus HAM berat masa lalu yang bisa merekonsiliasi dan sebagai penegak hukum kontradiktif.
Mereka juga menilai keberadaan pasal ini bisa membuat Kejaksaan berpotensi memaknai hukum tidak sebagai sarana mengungkap kebenaran, melainkan memberikan pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar.
"Dapat memunculkan kompromi politik dalam proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ketimbang melakukan proses penegakan hukum melalui mekanisme proses peradilan," protes Kontras dan YPKP 65.
Pasal kedua adalah Pasal 30 C huruf k yang memberikan Kejaksaan wewenang untuk melakukan penyadapan di luar sistem peradilan pidana (SPP). Mereka menyebut penyadapan merupakan pembatasan terhadap hak konstitusional sehingga hanya bisa dilakukan dalam proses peradilan.
Selanjutnya, mereka menyoroti Pasal 30 B yang menjelaskan wewenang kejaksaan dalam intelijen penegakan hukum. Menurut mereka, dengan memiliki fungsi intelijen tidak bisa sekaligus melakukan eksekusi maupun penegakan hukum.
Pada pasal tersebut, KontraS dan YPKP 65 menemukan bahwa Kejaksaan berwenang "mengamankan" pelaksanaan pembangunan dan kebijakan hukum disebutkan berulang kali. Padahal, sebagai penegak hukum, menurutnya, korps Adhyaksa itu semestinya menegakkan dan mengimplementasikan hukum.
"Tanpa definisi yang ketat, 'pengamanan' hanya akan menjadi ruang penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hak asasi," tulis KontraS dan YPKP 65.
"Kami mendesak agar DPR tidak mendukung impunitas yang direncanakan secara sistematis oleh Pemerintah ini dan tidak menyetujui revisi pasal-pasal tersebut di atas."
Sebelumnya, Komisi III DPR RI resmi menyetujui pembentukan panitia kerja (Panja) revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia atau RUU Kejaksaan.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif mewakili Presiden Jokowi saat rapat di Komisi III DPR RI. Ia memandang bahwa salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam penguatan Kejaksaan adalah mengenai keadilan restoratif atau restorative justice.
Penguatan ini dilakukan melalui Revisi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Menurut pria yang akrab disapa Eddy menyebut saat ini telah terjadi perubahan paradigma hukum pidana.
Sumber: JPNN/News/CNN/Berbagai Sumber
Editor: Hary B Koriun