Sekilas, replika kapal tongkang itu tampak seperti tengah mengambang di tengah laut melewati kerumuman orang yang memadati lokasi acara. Sesekali bergoyang, oleng. Bergerak pelan menunggu hembusan angin. Membawanya menuju ke sebuah daratan baru, sebuah penghidupan baru.
(RIAUPOS.CO) — Puluhan orang memanggul dengan bersemangat. Bagai dikomando, mereka berteriak, saling menggelorakan semangat dan berbagi kekuatan untuk dapat terus membawa replika Tongkang menuju tempat pembakaran di Jalan Perniagaan Ujung-Bagansiapiapi.
Adegan ini seolah menyuguhkan gambaran bagaimana beratnya medan yang harus dilalui pengelana dari Tiongkok untuk mencapai Bagansiapiapi pada masa silam.
Diperkirakan puluhan Tongkang berlayar melintasi perairan Cina, terombang ambing ke Selat Melaka yang merupakan jalur pelayaran terpenting di dunia, mereka menghabiskan hari demi hari di dalam Tongkang. Dari seluruhnya yang turut dalam migrasi itu, hanya satu Tongkang yang selamat. Selebihnya jahanam, nahas tenggelam di tengah lautan.
Setelah berhasil menepi di daratan, awak Tongkang bersumpah untuk tidak kembali lagi ke negeri asal. Bentuk kebulatan tekad itu mereka tunjukkan dengan melakukan aksi bakar Tongkang. Dipercayai, keberadaan patung Dewa di dalam Tongkang itu yang membuat mereka selamat, sehingga sebagai bentuk syukuran, peristiwa pembakaran ini diperingati setiap tahun.
Suasana yang emosional, penuh kebersamaan dan semangat selalu tertangkap saat memasuki hari puncak Iven Bakar Tongkang. Tahun 2019 ini, puncak Bakar Tongkang terjadi pada 19 Juni siang.
Sementara untuk rangkaian persiapan khusus telah dimulai terhitung 17 Juni. Pembawa tongkang rela berjalan beberapa kilometer di tengah terik dengan berjalan kaki. Padahal kendaraan untuk pengangkutan tersedia.
Perlakuan terhadap replika Tongkang memang merupakan hal istimewa, replika adalah ruh utama dari setiap perhelatan iven yang dilaksanakan sementara ritual lainnya hanya bersifat tambahan atau pelengkap saja.
Keriuhan telah dimulai dalam dua pekan belakangan, terlebih sejak replika Tongkang mulai dikerjakan. Jalanan yang menjadi rute untuk acara dibersihkan, lampu lampion dipasang oleh warga Tionghoa di sejumlah ruas jalan, spanduk dan banner Bakar Tongkang betebaran. Atraksi budaya berupa Tatung maupun Barongsai sesekali tampil di jalanan kota Bagansiapiapi. Vihara dan klenteng semakin dipercantik, sementara sejumlah vihara menggelar makan bareng terutama untuk yang datang dari luar daerah.
Salah seorang tukang Replika Tongkang A Ta beberapa waktu lalu menyebutkan untuk membuat tongkang harus memperhatikan berbagai hal mulai dari jenis kayu dan papan, termasuk kelengkapan lain. Panjang Tongkang sekitar 9 meter, kedalaman lebih dari 1 meter. Tongkang di keluarkan menjelang persiapan hari puncak berupa pembakaran Tongkang jika telah rampung untuk diletakkan di sisi kiri Klenteng Ing Hok King. Pembuatan Tongkang dikerjakan dalam jangka waktu lebih dari satu bulan.
Dari kisah tragis, mengenai pelarian dan pembakaran kapal, siapa kira ritual Bakar Tongkang kini menjadi salah satu kalender wisata Kementerian Pariwisata RI setiap tahunnya. Angka kunjungan wisawatan yang bombastis menjadi pertimbangan masuknya iven ini sebagai top event.
Berdasarkan penuturan tokoh setempat, Tan Guan Tio pada satu kesempatan menerangkan peristiwa pembakaran Tongkang menjadi titik tolak dari kedatangan masyarakat Tionghoa ke Bagansiapiapi. Migrasi besar-besaran terjadi karena kondisi konflik yang terjadi waktu itu. Upaya pencarian tempat baru merupakan pilihan yang terbaik namun tidak sedikit dari pelayaran yang dilakukan berakhir di tengah lautan atau hilang.