Masyarakat di Rantau Kampar Kiri, Kabupaten Kampar, selalu membesarkan adat dan tradisi dengan menjalankannya sebagai wujud perawatan. Sebaliknya, adat dan tradisi juga selalu membesarkan masyarakat tersebut. Salah satunya di Kenagarian Kuntu.
(RIAUPOS.CO) – KENAGARIAN Kuntu, secara administrasi negara telah dibagi menjadi dua desa; Desa Kuntu dan Desa Kuntu Darussalam. Antara keduanya dipisahkan oleh batas alam, yakni Sungai Subayang yang membentang di jantung wilayah ini. Sebuah jembatan besar atau yang dikenal dengan jembatan Kuntu, menjadi batas ril antara kedua desa. Meski dua desa, masyarakat tetap dalam satu kanagarian dengan ruh adat dan tradisi yang menyatu.
Rantau Kampar Kiri sendiri merupakan wilayah yang sangat luas. Dari abad 17, wilayah ini dipimpin oleh seorang raja dengan tempat bertahtanya di Gunung Sahilan. Tempat bertahta ini disebut dengan Kerajaan Rantau Kampar Kiri atau Kerajaan Gunung Sahilan. Kanagarian Kuntu sendiri menjadi bagian wilayah yang sangat penting bagi utuhnya Kerajaan Rantau Kampar Kiri. Sebab, di sinilah tinggalnya seorang kholifah dari empat kholifah yang merupakan pembesar kerajaan Rantau Kampar Kiri, yakni kholifah yang bertanggungjawab atas adat dan tradisi Rantau Kampar Kiri. Sedangkan tiga kholifah lainnya berada di Kanagarian Ujung Bukit (Tanjung Belit sekarang, red), Batu Songgan dan Ludai.
Sampai saat ini, Kerajaan Rantau Kampar Kiri menjadi salah satu kerajaan yang masih utuh di Riau. Utuh yang dimaksud adalah masih lengkap, baik perangkat kerajaan mulai dari raja, pembesar-pembesar kerajaan hingga masyarakat adat serta adatnya yang masih terjaga dengan baik. Adat dan tradisi masih sangat utuh.
Masuk ke wilayah Rantau Kampar Kiri, berarti masuk ke wilayah masyarakat adat. Bahkan Raja Gunung Sahilan yang masih bertahta hingga saat ini bergelar Raja Adat Raja Ibadat. Ini menunjukkan betapa agung dan besarnya peran adat di wilayah kerajaan ini. Seluruh adat dan tradisi sama dengan adat dan tradisi masyarakat Minangkabau. Sebab, secara teritorial, wilayah ini memang berbatas langsung dengan Povinsi Sumatera Barat atau berada di bawah kaki Bukit Barisan. Bahkan Kerajaan Rantau Kampar Kiri sendiri diyakini sebagai pecahan atau bergaris keturunan dari Sumatera Barat.
Kebesaran tradisi di Rantau Kampar Kiri, khususnya di Kanagarian Kuntu ditandai dengan masih utuhnya persukuan di tempat ini. Ada 16 suku yang terhimpun dalam dua suku besar. Pertama suku yang dipimpin oleh 10 datuk disebut juga dengan Datuk Sepuluh, dan kedua, suku yang dipimpin oleh enam datuk atau yang disebut Datuk Enam. 16 Datuk dengan 16 suku ini sangat berpengaruh di Kanagarian Kuntu. Datuk Sepuluh dipimpin Datuk Mudo sebagai Datuk Pucuk Nagori yang berkuasa di wilayah darat (nagari). Sedangkan Datuk Enam dipimpin oleh Datuk yang berkuasa atas wilayah sungai atau disebut dengan Datuk Antau.
Susunan Datuk Sepuluh tersebut yakni Datuk Mudo sebagai Datuk Pucuk Nagori, Datuk Baromban, Datuk Lelo Marajo, Datuk Penghulu Besar, Datuk Menggung Putih, Datuk Muhammad, Datuk Bagindo, Datuk Menggung Sakti, Datuk Malin Puti, dan Datuk Rajo Tonso. Sedangkan susunan Datuk Enam yakni, Datuk Sutan Jalelo sebagai Datuk Pucuk Antau, Datuk Besar, Datuk Ombang, Datuk Sutan Tanaro, Datuk Marajo, dan Datuk Mahudum.
Pulang Soko
Salah satu tradisi yang masih berjalan hingga saat ini adalah Pulang Soko, tradisi yang biasa wajib dilaksanakan oleh seluruh lelaki di Kanagarian Kuntu dan Rantau Kampar Kiri pada umumnya. Pulang Soko adalah rumah tempat pulang bagi setiap lelaki pada puasa Ramadan terakhir atau yang disebut dengan Puaso Bonsu. Saat inilah lelaki Rantau Kampar Kiri berkumpul dengan saudara-saudara sesukunya.
Tradisi Pulang Soko dimulai sejak sore pada Puaso Bonsu. Pulang pertama yang wajib adalah ke rumah orang tua. Jika orang tua sudah tidak ada, lelaki ini harus pulang ke rumah saudara perempuan. Rumah Soko sendiri bisa ditentukan rumah mana yang akan dituju. Artinya, bisa dipilih setiap tahun atau bisa berganti-ganti karena rumah saudara perempuan banyak. Jika satu keluarga lelaki semua sementara ayah dan ibu ibu tidak ada, dia akan pulang ke rumah sepupu atau saudara perempuan sesuku.
16 Suku 16 Surau
Persukuan di Kanagarian Kuntu bukan hanya ditandai dengan adanya 16 datuk saja, tapi juga dengan 16 surau. Artinya, setiap suku memiliki satu surau. Surau inilah yang selalu menjadi tempat berkumpul suku tersebut, termasuk berkumpul telah berbuka dan dilanjutkan dengan kegiatan berikutnya, yakni takbir keliling ke rumah saudara sesuku. Lagi-lagi rumah sepupu perempuan sesuku yang menjadi tujuan.
Saat berkumpul di masjid, seluruh lelaki ini akan duduk melingkar, tepatnya setelah salah salat isya berjamaah. Pada saat inilah datuk tertinggi di suku tersebut akan menyampaikan banyak hal, terkhusus tentang silaturrahmi dan takbir keliling tersebut. Diawali dengan permohonan maaf kepada anak kemenakan, bersalam-salaman dan pelepasan seluruh lelaki untuk takbir keliling. Dari masjid hanya ada satu rombongan yang dilepas oleh datuk tertinggi.
Jika rombongan terlalu banyak sementara rumah yang akan dikunjungi juga banyak, maka ketua rombongan akan membagi beberapa kelompok. Proses pembagian kelompok ini dilakukan sambil berjalan. Jika ada 20 rumah yang akan dikunjungi, maka dibagi menjadi 20 kelompok dengan ditentukan terlebih dulu rumah terakhir mana yang akan mereka kunjungi. Karena di rumah terakhir inilah akan dilaksanakan zikir dan doa bersama.
‘’Takbir ke rumah-rumah sepupu perempuan ini sudah dilaksanakn sejak nenek moyang kami dulu. Tujuannya mempererat silaturrahmi karena keluarga sesuku itu keluarga besar, biar saling kenal ini anak siapa, cucu siapa dan sebagainya. Mereka datang, bertakbir, maaf-maafan dan makan-makan. Di rumah terakhir nanti akan ada zikir bersama,’’ ungkap Tokoh Adat Kenagarian Kuntu, Kahirudi bergelar Datuk Mudo kepada Riau Pos di rumahnya.
Pada malam Idulfitri tersebut, tuan rumah atau saudara perempuan sesuku sudah menyediakan makanan yang akan disantap bersama. Mulai dari kue lebaran hingga makanan-makanan lainnya. Dulu, kata Datuk Mudo, makanan khas yang harus ada itu antara lain nasi kuning karena waktu itu masyarakat memang berladang. Jadi selain wujud dari silaturrahmi, takbir keliling ini juga bertujua untuk beramal atau bersedekah.
Sesuai dengan perkembangan zaman, nasi kuning sudah tidak ada lagi karena masyarakat Kanagarian Kuntu sudah tidak berladang lagi. Tapi makanan tradisional tetap masih ada. Antara lain, Kalamai, Kembang Loyang, Wajik, dan Kue Genta.
Layaknya merayakan sebuah hari kemenangan, maka masyarakat juga menyambutnya dengan penuh suka cita. Salah satunya dengan mengenakan pakaian serba baru. Tapi, kata Datuk Mudo, tidk ada pakaian khas yang diwajibkan yang harus dipakai kaum lelaki pada malam itu. Seperti biasa, pada umumnya mereka memakai sarung dan kupiah sebagaimana pakaian tradisi yang mereka pakai sehari-hari.
Selain makan bersama, malam takbir keliling ini juga ditandai dengan pembagian THR dari yang tua kepada yang muda atau dari saudara yang lebih mampu kepada saudaranya yang lain. ‘’Inilah wujud silaturrahmi dan kemeriahan pada malam takbir di Hari Raya Idulfitri. Semoga tradisi ini tetap bisa kami pertahankan sampai kelak,’’ sambung Datuk Mudo.
Malin yang Dijemput
Peran besar kaum lelaki di Kanagarian Kuntu tidak hanya pada saat malam takbir saja. Peran yang lebih besar juga terlihat saat pagi lebaran atau saat Salat Idulfitri. Pada waktu ini, seluruh suku bergabung dan memuliakan seorang lelaki yang berperan sebagai imam masjid atau yang bergelar Malin. Malin yang berasal dari suku Malin Puti ini dijemput secara khusus oleh seluruh datuk dan dubalang di setiap persukuan yang ada atau 16 suku.
Lagi-lagi, masjid menjadi awal tempat berkumpul sebelum melakukan kegiatan besar secara bersama-sama. Dalam proses penjemputan Malin ini, seluruh datuk dan dubalang berkumpul bersama setelah salat subuh. Malin serta dubalang dari Suku Malin Puti menunggu di surau suku Malin Puti dan menunggu jemputan.
Sementara itu, Khatib dan Bilal yang berasal dari Suku Mahudum, sudah melakukan aitivitas terlebih dulu. Mereka sudah berkumpul sejak awal dan berangkat bersama-sama menuju lapangan atau masjid tempat Salat Id dilaksanakan. Setelah Bilal dan Khatib sampai di masjid, baru dubalang dari suku Mahudum menjemput Imam dan seluruh datuk dari Suku Malin Puti. Iring-iringan rombongan yang mengantarkan Malin hingga ke lokasi salat Id ini diramaikan dengan takbir bersama. Maka, takbir menggema di sepanjang jalan menuju lokasi salat Id di pagi Idulfitri di Kanagarian Kuntu tersebut.
‘’Dubalang dari Suku Mahudum akan menyampaikan kepada Imam bahwa Bilal dan Khatib sudah menunggu. Setelah itu baru Imam diiring bersama-sama oleh seluruh dubalang dan datuk serta Ninik Mamak dari Suku Malin Puti tersebut. Untuk prosesi penjemputan imam salat Idulfitri atau Malin ini hanya ada di Kanagarian Kuntu. Di kanagarian lain di Rantau Kampar Kiri yang lain sudah tidak ada lagi. Inilah cara kami memuliakan seorang imam yang telah dimuliakan oleh Allah,’’ kata Datuk Mudo lagi.
Adat dan tradisi yang masih berlaku di Rantau Kampar Kiri diharapkan akan terus terjaga hingga anak cucu kelak. Kholifah Kuntu, Buyung Erizal yang membawahi persolan adat dan tradisi di Kerajaan Rantau Kampar kiri, menjelaskan hal ini.
‘‘Makanya Raja Rantau Kampar Kiri bergelar Raja Adat Raja Ibadat karena Rantau Kampar Kiri memang kuat dengan adat dan tradisinya. Semoga akan terus terjaga hingga kelak,’’ kata kholifah Kuntu. *
Laporan KUNNI MASROHANTI, Kampar Kiri