Jumat, 20 September 2024

Menakar Kemampuan Digital dan Media Literasi Kita

Tak bisa dipungkiri para selebritas media sosial telah berhasil memengaruhi opini publik daripada mencerdaskan pikiran rakyat. Perang buzzer ialah pemandangan umum setiap hari. Digital literasi tidak hanya berurusan dengan akses internet, tetapi juga tentang kemampuan menganalisis, pengetahuan untuk mencerna, dan memahami apa yang diakses (Hobbs, 2011). Begitu banyak konten yang berseliweran di dunia internet. Konten apa saja yang diakses atau dibaca masyarakat kita? Apakah kita sudah benar-benar bisa berbicara tentang Digital Literasi (DL) atau penggunaan instrumen Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di masyarakat kita saat ini? Apa tantangan utama yang dihadapi DL dan TIK? Apakah sudah ada prestasi di bidang DL di Indonesia? Apakah ada pusat resmi yang didedikasikan untuk DL di tengah masyarakat? Tulisan ini mencoba menjawab kelima pertanyaan di atas.

Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia dengan 260 juta jiwa pada tahun 2019. Menurut data Internet World Stats tahun 2019, sekitar 53 persen penduduk hadir di dunia online dengan pertumbuhan tahunan 7 persen hingga 23 persen (sumber:internetworldstats.com). Hal ini menempatkan Indonesia pada daftar enam besar negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak secara global. Basis statistik ini juga dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rentan terhadap pengaruh internet; bisa positif, cenderung negatif.

Status Digital Literasi

Pasar gawai di Indonesia sangat besar, bahkan lebih besar dari populasi manusia. Berdasarkan laporan The Conversation tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia menurut jenis kelamin hampir sama. Sekitar 52,5 persen pengguna internet adalah laki-laki dan 47,5 persen perempuan. Penggunaan internet didominasi oleh kelompok usia produktif 25-44 tahun (53,6 persen), disusul kelompok usia 45-54 (18 persen), dan di atas 55 tahun (10 persen). Internet terutama digunakan oleh orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap (62 persen), diikuti oleh 22 juta perempuan yang bekerja di rumah untuk keluarga, mahasiswa (10,3 juta atau 7,8 persen), dan siswa sekolah (6,3 persen) (sumber: theconversation.com).

- Advertisement -
Baca Juga:  Ratusan Pohon Bertumbangan

Lalu apa yang diakses pengguna internet di Indonesia pada internet? Menurut studi yang dilakukan sebagian besar pengguna internet online untuk berbagai tujuan. Tidak mengherankan, media sosial menarik sebagian besar pengguna. Sekitar 129,2 juta jiwa (97,7 persen) pengguna mengakses media sosial, sebanyak 128,4 juta jiwa (96,8 persen) menggunakan internet untuk hiburan, 127,9 juta jiwa (96,4 persen) mengakses konten berita. Sisanya mengakses konten pendidikan 124 juta pengguna, dan 121,5 juta untuk layanan publik, komersial 123,5 juta. (sumber: apjii.or.id).

Studi lain menemukan sebagian besar pengguna internet di Indonesia melihat internet sebagai media dengan kebebasan mutlak dan efektif untuk propaganda politik (sumber: jurnal.idu.ac.id)

- Advertisement -

Sejumlah besar pengguna media sosial di Indonesia gagal menganalisis kebenaran konten dan mudah tersiar oleh penyebaran ujaran kebencian dan hoaks. Tingkat digital literasi yang rendah di kalangan masyarakat menyebabkan pengguna internet terutama kaum muda mudah terpapar pornografi. Masalah tersebut disebabkan oleh lingkungan yang tidak tahu bagaimana menggunakan teknologi digital dengan bijak.

Walaupun pemerintah telah mengatur penyebaran hoaks pada media sosial sebagai tindakan kriminal, namun berita bohong dan hoaks sudah menjadi menu sehari-hari di media sosial seperti Facebook, Twitter, grup chat, dan halaman berita dalam jaringan (daring). Seringkali sulit untuk mengidentifikasi apakah sebuah berita itu asli atau palsu? Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pelaku hoaks dapat dijerat dengan hukuman maksimal enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar rupiah. Namun, survei dari Masyarakat Telematika Indonesia menunjukkan 92,4 persen berita hoaks sampai ke publik melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram (sumber: jurnal.idu.ac.id).  

Baca Juga:  Tim Unri Pantau Kualitas Air Kolam Ikan Patin di Koto Mesjid

Hal seperti inilah yang mendominasi bahan bacaan masyarakat kita saat ini. Secara umum masyarakat lebih cendrung mengonsumsi media sosial dari pada buku-buku bacaan. Sebagian besar waktu terkuras untuk mengakses media sosial dibanding membaca.

Bukan hanya hoaks, pornografi juga memprihatinkan. Pada tahun 2013, Yayasan Buah Hati Kita bekerja dengan 1.553 anak SD dari kelas 4 hingga 5. Mereka menemukan fakta yang mengejutkan bahwa 95 persen dari anak-anak tersebut pernah terpapar pornografi, baik menggunakan perangkat sendiri maupun milik orang tua (Rahmah, 2015).

Di satu sisi, meskipun penerapan TIK di Indonesia telah berkembang pesat, namun belum merata di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Ketimpangan digital masih terjadi di Indonesia. Jika digabungkan luas daratan dan perairan, maka total luas wilayah Indonesia adalah 8,3 juta kilometer persegi. Di wilayah yang begitu luas terdapat lebih dari 17.000 pulau baik besar maupun kecil yang membuat pembangunan infrastruktur komunikasi tidak merata. Tidak semua orang dapat menikmati Internet; terutama yang tinggal di daerah terpencil atau pulau-pulau terpencil. Jumlah pengguna internet terbesar terdapat di Pulau Jawa (65 persen) sedangkan sisanya tersebar di Pulau Sumatera (15,7 persen), Pulau Sulawesi (6,3 persen), Pulau Kalimantan (5,8 persen) dan sisanya Indonesia Timur di bawah 5 persen. Artinya, penerapan TIK masih perlu ditingkatkan di banyak wilayah Indonesia.

Selain tantangan geografis, masalah ekonomi juga menyebabkan internet tidak bisa diakses oleh semua orang (Hadiyat, 2014).

Murparsaulian – Menulis puisi, cerpen, esai budaya, dan dosen media produktif.

 

 

Tak bisa dipungkiri para selebritas media sosial telah berhasil memengaruhi opini publik daripada mencerdaskan pikiran rakyat. Perang buzzer ialah pemandangan umum setiap hari. Digital literasi tidak hanya berurusan dengan akses internet, tetapi juga tentang kemampuan menganalisis, pengetahuan untuk mencerna, dan memahami apa yang diakses (Hobbs, 2011). Begitu banyak konten yang berseliweran di dunia internet. Konten apa saja yang diakses atau dibaca masyarakat kita? Apakah kita sudah benar-benar bisa berbicara tentang Digital Literasi (DL) atau penggunaan instrumen Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di masyarakat kita saat ini? Apa tantangan utama yang dihadapi DL dan TIK? Apakah sudah ada prestasi di bidang DL di Indonesia? Apakah ada pusat resmi yang didedikasikan untuk DL di tengah masyarakat? Tulisan ini mencoba menjawab kelima pertanyaan di atas.

Indonesia merupakan negara terpadat keempat di dunia dengan 260 juta jiwa pada tahun 2019. Menurut data Internet World Stats tahun 2019, sekitar 53 persen penduduk hadir di dunia online dengan pertumbuhan tahunan 7 persen hingga 23 persen (sumber:internetworldstats.com). Hal ini menempatkan Indonesia pada daftar enam besar negara dengan jumlah pengguna internet terbanyak secara global. Basis statistik ini juga dengan jelas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia rentan terhadap pengaruh internet; bisa positif, cenderung negatif.

Status Digital Literasi

Pasar gawai di Indonesia sangat besar, bahkan lebih besar dari populasi manusia. Berdasarkan laporan The Conversation tahun 2017, jumlah pengguna internet di Indonesia menurut jenis kelamin hampir sama. Sekitar 52,5 persen pengguna internet adalah laki-laki dan 47,5 persen perempuan. Penggunaan internet didominasi oleh kelompok usia produktif 25-44 tahun (53,6 persen), disusul kelompok usia 45-54 (18 persen), dan di atas 55 tahun (10 persen). Internet terutama digunakan oleh orang-orang yang memiliki pekerjaan tetap (62 persen), diikuti oleh 22 juta perempuan yang bekerja di rumah untuk keluarga, mahasiswa (10,3 juta atau 7,8 persen), dan siswa sekolah (6,3 persen) (sumber: theconversation.com).

Baca Juga:  Tingkatkan Imunitas, Tetap Patuhi Protokol Kesehatan

Lalu apa yang diakses pengguna internet di Indonesia pada internet? Menurut studi yang dilakukan sebagian besar pengguna internet online untuk berbagai tujuan. Tidak mengherankan, media sosial menarik sebagian besar pengguna. Sekitar 129,2 juta jiwa (97,7 persen) pengguna mengakses media sosial, sebanyak 128,4 juta jiwa (96,8 persen) menggunakan internet untuk hiburan, 127,9 juta jiwa (96,4 persen) mengakses konten berita. Sisanya mengakses konten pendidikan 124 juta pengguna, dan 121,5 juta untuk layanan publik, komersial 123,5 juta. (sumber: apjii.or.id).

Studi lain menemukan sebagian besar pengguna internet di Indonesia melihat internet sebagai media dengan kebebasan mutlak dan efektif untuk propaganda politik (sumber: jurnal.idu.ac.id)

Sejumlah besar pengguna media sosial di Indonesia gagal menganalisis kebenaran konten dan mudah tersiar oleh penyebaran ujaran kebencian dan hoaks. Tingkat digital literasi yang rendah di kalangan masyarakat menyebabkan pengguna internet terutama kaum muda mudah terpapar pornografi. Masalah tersebut disebabkan oleh lingkungan yang tidak tahu bagaimana menggunakan teknologi digital dengan bijak.

Walaupun pemerintah telah mengatur penyebaran hoaks pada media sosial sebagai tindakan kriminal, namun berita bohong dan hoaks sudah menjadi menu sehari-hari di media sosial seperti Facebook, Twitter, grup chat, dan halaman berita dalam jaringan (daring). Seringkali sulit untuk mengidentifikasi apakah sebuah berita itu asli atau palsu? Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pelaku hoaks dapat dijerat dengan hukuman maksimal enam tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar rupiah. Namun, survei dari Masyarakat Telematika Indonesia menunjukkan 92,4 persen berita hoaks sampai ke publik melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram (sumber: jurnal.idu.ac.id).  

Baca Juga:  PCR Luluskan 332 Pendaftar PSUD tahun 2021

Hal seperti inilah yang mendominasi bahan bacaan masyarakat kita saat ini. Secara umum masyarakat lebih cendrung mengonsumsi media sosial dari pada buku-buku bacaan. Sebagian besar waktu terkuras untuk mengakses media sosial dibanding membaca.

Bukan hanya hoaks, pornografi juga memprihatinkan. Pada tahun 2013, Yayasan Buah Hati Kita bekerja dengan 1.553 anak SD dari kelas 4 hingga 5. Mereka menemukan fakta yang mengejutkan bahwa 95 persen dari anak-anak tersebut pernah terpapar pornografi, baik menggunakan perangkat sendiri maupun milik orang tua (Rahmah, 2015).

Di satu sisi, meskipun penerapan TIK di Indonesia telah berkembang pesat, namun belum merata di seluruh wilayah Indonesia yang sangat luas. Ketimpangan digital masih terjadi di Indonesia. Jika digabungkan luas daratan dan perairan, maka total luas wilayah Indonesia adalah 8,3 juta kilometer persegi. Di wilayah yang begitu luas terdapat lebih dari 17.000 pulau baik besar maupun kecil yang membuat pembangunan infrastruktur komunikasi tidak merata. Tidak semua orang dapat menikmati Internet; terutama yang tinggal di daerah terpencil atau pulau-pulau terpencil. Jumlah pengguna internet terbesar terdapat di Pulau Jawa (65 persen) sedangkan sisanya tersebar di Pulau Sumatera (15,7 persen), Pulau Sulawesi (6,3 persen), Pulau Kalimantan (5,8 persen) dan sisanya Indonesia Timur di bawah 5 persen. Artinya, penerapan TIK masih perlu ditingkatkan di banyak wilayah Indonesia.

Selain tantangan geografis, masalah ekonomi juga menyebabkan internet tidak bisa diakses oleh semua orang (Hadiyat, 2014).

Murparsaulian – Menulis puisi, cerpen, esai budaya, dan dosen media produktif.

 

 

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari