Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencanangkan target produksi 1 juta barel minyak per hari (BOPD) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada tahun 2030. Angka produksi migas yang fantastis di tengah kondisi pandemi saat ini. Namun angka yang dianggap fantastis ini bisa terwujud dengan menerapkan teknologi dengan skema implementasi kegiatan secara ‘’fullscale’’.
(RIAUPOS.CO) – JIKA dilihat produksi migas dari wilayah kerja yang ada saat ini relatif menurun karena lapangan yang relatif tua. Upaya peningkatan produksi mendapat tantangan lebih kuat ketika terjadi pandemi Covid-19 dan berkembang pesatnya industri energi alternatif.
Hingga saat ini industri hulu migas masih memegang peran penting sebagai penggerak perekonomian nasional karena migas masih berkontribusi sebesar 54 persen dari total bauran energi saat ini. Bahkan migas diprediksi masih akan mendukung sebanyak 44 persen dari bauran energi pada tahun 2050 mendatang. Sampai tahun 2030 pemakaian energi fosil dalam bauran energi masih dominan, yaitu sekitar 40 persen, dan di tahun 2050 sekitar 36 persen. Untuk itu, perlu peningkatan produksi migas yang masif demi mendukung keberlanjutan energi tersebut.
‘’Dorongan bagi para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk kembali menggeliatkan kegiatan eksplorasi dan produksi migas sangat penting. Dengan adanya dorongan ini menunjukkan adanya semangat yang sama untuk memastikan bahwa industri migas Indonesia bisa bertahan di tengah pandemi Covid-19,’’ ujar Kepala Perwakilan SKK Migas Sumbagut Rikky Rahmat Firdaus kepada Riau Pos.
Investasi migas untuk eksplorasi membutuhkan biaya sangat besar. Bisa mencapai triliunan rupiah. Maka dari itu perlu fiscal terms yang aktraktif, regulasi, dan politik yang stabil. Saat ini Indonesia memiliki basin atau cekungan berpotensi migas sebanyak 128 basin. Sebanyak 20 basin sudah berproduksi, 27 basin di bor dengan penemuan, kemudian 13 basin di bor tanpa penemuan dan sisanya 68 basin belum dieksplorasi.
Tantangan eksplorasi sangat besar karena 70 persen cadangan migas berada di wilayah perairan. Salah satunya, biaya yang dibutuhkan mencapai 80-100 juta dollar Amerika dan tingkat pengembalian atau IRR rendah serta periode eksplorasi pendek.
Penerapan teknologi juga menjadi salah satu poin penting di sektor hulu migas. Semakin baru teknologi yang digunakan akan lebih efisien sehingga keekonomian menjadi semakin baik. Teknologi terbaru tentu akan mendukung eksplorasi migas Indonesia mulai dari teknologi dan alat pendukung pengeboran hingga metode produksi minyak lanjutan atau Enhance Oil Recovery (EOR) untuk meningkatkan produksi lapangan migas existing.
Dijelaskan Rikky, SKK Migas telah menyiapkan empat strategi untuk mengejar target produksi tersebut. Pertama, mempertahankan produksi-produksi yang sudah ada. Kedua, upaya percepatan sumber daya menjadi produksi. Ketiga, penerapan Enhanced Oil Recovery (EOR). Keempat, melakukan kegiatan eksplorasi yang masif.
‘’Keempat strategi tersebut saling terkait, sehingga semuanya harus memenuhi target yang ditetapkan. Selain kegiatan yang mendukung upaya peningkatan produksi, SKK Migas dan KKKS melakukan serangkaian kegiatan di 2021 untuk mengawal target jangka menengah dan jangka panjang demi mengejar visi 2030,’’ katanya.
Kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan pengeboran 43 sumur eksplorasi, survei seismik 2D sepanjang 3.569 Km, survei seismik 3D seluas 1.549 Km2, seismik vibroseismik 2D sepanjang 1.000 Km, full tensor gravity (FTG) open area di wilayah Papua sepanjang 67.500 Km, dan pseudo 3D seismic open area sepanjang 270.000 Km2 yang menjadikannya salah satu yang terpanjang di Asia Pasifik. Sementara, SKK Migas juga memperhitungkan kegiatan pengeboran di Wilayah Kerja (WK) Rokan sebagai poin penting untuk mengejar target lifting 2021.
Sejak 2020 dan seterusnya, SKK Migas memiliki “mantra” baru. Mantra tersebut adalah Massive, Aggressive, dan Efficient. Massive artinya peningkatan program, volume, dan peningkatan produksi harus ada dan signifikan. Aggressive yakni, berkolaborasi untuk mempercepat pekerjaan dan hasilnya. Sedangkan, Efficient adalah bisa mengefisiensikan pekerjaan sehingga dapat menambah pekerjaan lagi untuk menuju produksi yang besar.
Untuk bisa mencapai produksi 1 juta BOPD dan 12.000 MMSCFD diperkirakan diperlukan investasi sebesar 187 juta dollar Amerika. Tantangan industri migas antara lain rumitnya perizinan, tumpang tindih peraturan pusat-daerah, rezim fiskal, ketidaktersediaan data, hambatan di daerah operasi, kendala akuisisi lahan, proses monetisasi migas yang semakin lama dan ketakutan mengambil keputusan (kriminalisasi kebijakan). Sedangkan harapan di industri migas antara lain adanya kepastian hukum, ketersediaan dan keterbukaan data, fleksibelitas sistem fiskal, sistem perpajakan bersaing, insentif dan penalti.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menjelaskan tahun ini, pemerintah menargetkan produksi terangkut atau lifting minyak sebesar 705.000 Barel per hari (BOPD) dan lifting gas bumi sebesar 5.638 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 1,01 juta barel setara minyak per hari (BOEPD), sesuai yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Outlook lifting minyak (status Mei 2021), sampai akhir tahun diproyeksikan baru mencapai 682.000 BOPD. Artinya, pencapaian 96,73 persen dari target APBN tahun ini. Sementara untuk lifting gas bumi (status Mei 2021) diproyeksikan akan mencapai 5.527 MMSCFD atau 987.000 BOEPD atau sekitar 98 persen dari target APBN 2021.
“Berbagai upaya akan kami bahas dengan KKKS hingga akhir tahun, mudah-mudahan kita bisa mencapai angka 700.000 BOPD, tapi kita masih melihat outlook lifting minyak 682.000 BOPD bph sampai Desember 2021,” ujar Dwi melalui rilisnya beberapa waktu lalu.
Dwi membeberkan sejumlah kendala yang dihadapi SKK Migas dalam mengejar produksi tahun ini salah satunya karena laju penurunan produksi alamiah yang lebih cepat dan lebih tinggi dari prognosis di beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) atau produsen migas, sehingga ada gap produksi minyak 14.200 BOPD dan gas 7 MMSCFD, kemudian terjadinya kegagalan operasional produksi yang tidak direncanakan atau unplanned shutdown di beberapa KKKS, sehingga gap produksi 6.100 BOPD dan gas 90 MMSCFD. Tantangan lainnya adalah mundurnya eksekusi pengeboran, sehingga membuat gap produksi sebesar 3.900 bph dan gas 1 MMSCFD.
‘’Mundurnya jadwal operasi beberapa lapangan membuat produksi minyak berkurang 800 bph dan gas 1 MMSCFD sehingga, berkurang total 25.000 BOPD (barel per hari) dan gas sebesar 99 MMSCFD (juta standar kaki kubik per hari).
Agar produksi terjaga, lanjut Dwi, dengan menambah program kerja melalui pengeboran sumur workover dan well service. Melalui upaya ini, pihaknya berharap bakal meningkatkan produksi minyak sebesar 3.500 BOPD. Optimasi produksi dari penerapan teknologi dengan skema no cure no pay juga ditargetkan menambah produksi minyak 800 BOPD, memfasilitasi hambatan proyek atau debottlenecking dan pengurasan stok diharapkan bisa menambah produksi minyak 2.400 BOPD.
Blok Rokan
Blok Rokan merupakan salah satu blok minyak yang memberikan andil cukup besar terhadap pemenuhan energi nasional. Blok Rokan memiliki area operasi di lima kabupaten yakni Rokan Hilir, Rokan Hulu, Bengkalis, Siak dan Kampar serta di dua kota yakni Pekanbaru dan Dumai, terdapat 7 Polres, 16 Polsek dan 26 Pos Polisi. Rata-rata kontribusi Blok Rokan terhadap energi nasional sejak berproduksi tahun 1951 hingga 2020 sebesar 46 persen. Perpanjangan kontrak 2001-2021, lapangan produksi lebih kurang 80 lapangan besar dan kecil (beberapa lapangan besar berada di Minas, Duri, Kotabatak, Bekasap dan Bangko).
Sebelumnya, PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) telah memulai kembali pengeboran di Blok Rokan sebagai rangkaian transisi alih kelola ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada 29 Desember 2020 setelah memperoleh izin yang diperlukan. Langkah ini sebagai komitmen Chevron dalam menjaga tingkatan produksi jelang alih kelola ke PT Pertamina Hulu Rokan pada Agustus 2021 mendatang. Tentunya, akan sangat bermanfaat, baik bagi Pemerintah maupun operator berikutnya. Untuk diketahui, pemerintah SKK Migas menargetkan pengeboran kembali dapat dilakukan pada November 2020 dan baru terlaksana pada akhir Desember 2020. Dengan kondisi waktu yang terbatas, SKK Migas akan berusaha memaksimalkan investasi sebesar 154 juta dollar Amerika. Alih kelola Blok Rokan pada tanggal 9 Agustus mendatang dari PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) ke PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).
Teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR)
Untuk pertama kalinya enhanced oil recovery (EOR) di Minas akan diteruskan. SKK Migas menargetkan POD akhir tahun 2021 atau awal tahun 2022 dapat diusulkan oleh PHR dan disetujui oleh SKK MIGAS. Walaupun POD akan dilakukan setelah alih kelola ke PHR, tetapi sudah dipersiapkan dari sekarang.
‘’Teknologi EOR ini merupakan teknologi yang relatif baru, terutama di Minas menggunakan surfaktan. Tesnya sudah dilakukan oleh Chevron, sekarang fokus ke implementasi. Implementasinya kami mulai dengan yang relatif kecil, yang nanti tentunya akan masif ketika fullscale development dilakukan. Itu salah satu teknologi untuk memproduksi tambahan-tambahan produksi minyak. Dalam operasional banyak teknologi yang bisa digunakan untuk meningkatkan produksi,’’ sambung Rikky.
Lanjut Rikky, lapangan Minyak Minas ini merupakan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara yang telah menghasilkan lebih dari 4,6 miliar barel sejak pertama kali beroperasi pada tahun 1952. Uji coba injeksi surfaktan ini merupakan salah satu upaya berkelanjutan PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) dalam menambah cadangan minyak bisa diproduksikan di lapangan Minas yang saat ini merupakan proyek injeksi air terbesar di Asia Tenggara.
Di Blok Rokan sudah dua tahun tidak ada sumur pengembangan, tetapi terdapat peningkatan signifikan program kerja pada masa transisi dan setelah berakhirnya kontrak CPI, kami targetkan best effort-nya 192 sumur tergantung kepada ketersediaan material, peralatan dan lain-lain . Jadi, kalau pun nanti selesai 150 sumur, tetap jauh di atas dua tahun sebelumnya. Selanjutnya adalah penggunaan teknologi. SKK Migas sekarang sangat terbuka dengan teknologi, pengambilan keputusan yang tepat, dan menggunakan skema salah satunya no cure no pay. Penerapan production enhancement technology dengan skema no cure no pay atau performance based adalah salah satu terobosan SKK Migas untuk mendapatkan tambahan produksi minyak dan gas. Selain bertujuan mendapatkan tambahan produksi minyak dan gas, skema no cure no pay atau performance based juga memberikan dampak positif lainnya yaitu sebagai salah satu upaya meningkatkan kapasitas para penyedia jasa dengan diberikannya kesempatan untuk menerapkan teknologi terbaru yang mereka miliki dan sudah teruji dalam implementasinya baik di dalam maupun di luar negeri.
Sementara itu, Managing Director Chevron IndoAsia Business Unit & Presiden Direktur PT CPI Albert Simanjuntak mengatakan program pengeboran di Blok Rokan terus berjalan untuk menjaga tingkat produksi. Sejak dimulai akhir Desember 2020 lalu, hingga saat ini PT CPI berhasil mengebor 55 sumur, termasuk di antaranya 11 sumur konversi, dengan mengoperasikan enam rig pengeboran dan satu rig konversi. Proses pengadaan rig tambahan sedang berjalan untuk memenuhi target pengeboran 192 sumur di Blok Rokan oleh PT CPI dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada tahun ini.
”Kami terus berkoordinasi intensif dengan SKK Migas dan PHR agar program pengeboran dapat berjalan sesuai yang diharapkan. Kolaborasinya sangat solid karena semua pihak memiliki semangat dan komitmen yang sama,” ujar Albert.
Jika target dapat tercapai, maka akan menjadi puncak produksi baru bagi Indonesia karena produksi saat itu akan setara 3,2 juta barel per hari. Namun untuk mencapai target itu dibutuhkan perubahan mindset dan dukungan dari para pemangku kepentingan (stakeholders). SKK Migas akan melakukan monitoring intens terhadap tindak lanjut pada masing-masing KKKS dengan harapan terdapat implementasi konkrit dalam waktu dekat agar pola no cure no pay segera terlaksana.
Pencapaian target tersebut dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang baik. Salah satunya dapat menekan defisit perdagangan migas. Apalagi, dalam dua tahun terakhir, besarnya impor migas disebut menjadi beban dalam neraca dagang dan turut memperlebar defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).***
Laporan HENNY ELYATI, Pekanbaru