JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Katowice Climate Package yang telah diadopsi pada COP 24 bulan Desember 2018 yang lalu, memberikan pedoman yang diperlukan agar Paris Agreement dapat dilaksanakan pada tingkat nasional. Katowice Climate Package memberikan harapan kepada Negara Pihak untuk dapat mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca nasional sebagaimana tertuang pada NDC negara-negara, termasuk Indonesia. Namun demikian, negosiasi pada COP 24 lalu masih menyisakan beberapa isu penting, yang harus disepakati oleh para Pihak pada COP 25 yang akan datang, yang dilaksanakan pada November 2019 dan bagaimana mempersiapkan dukungan dalam mengimplementasikan Paris Agreement tersebut.
Untuk menuju COP 25 UNFCCC, pada tanggal 17-27 Juni 2019, dilaksanakan Subsidiary Body for Implementation (SBI) dan Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) ke-50 di Bonn, Jerman. SBI dan SBSTA ke 50 membahas secara teknis beberapa isu penting bagi Indonesia dan yang akan menjadi pedoman dalam mengimplementasikan Paris Agreement di tingkat nasional, antara lain, mencakup:
a. Artikel 6 Paris Agreement yang mengatur antara lain mengenai mekanisme pasar
b. Adaptation Fund untuk dapat menjalankan mandate dibawah Paris Agreement dari mandate sebelumnya di bawah Protokol Kyoto
Selain itu, beberapa isu penting lainnya yang melengkapi Katowice Package atau mendukung implementasi PA, antara lain, meliputi:
- Referensi IPCC guideline dalam pelaporan penurunan emisi gas rumah kaca untuk menjamin transparansi, termasuk bentuk pelaporannya yang mengarah pada common tabular format atau summary table format untuk pelaporan kuantitatif.
- Technical Adapatation Process yang difokuskan pada pengalaman negara Pihak dalam mengakses pendanaan adaptasi
- Nairobi Work Programme mengenai dampak, kerentanan, dan adaptasi terhadap perubahan iklim
- TOR untuk mereview Warsaw Internasional Mechanism untuk loss and damage
- Review Perioda Kedua (Second Periodic Review) dari tujuan global jangka panjang sebagaimana tercantum di dalam Konvensi, untuk melihat pencapaian target global dan peranan sains dalam mendukung review tersebut. Proses ini dapat menjadi masukan bagi Global Stocktake
Dalam pembukaan pertemuan Bonn Climate Change Conference ini, Chair (Ketua) Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA), Paul Watkinson (Perancis) mengingatkan bahwa pertemuan SBSTA di Bonn dalam bulan Juni ini merupakan pertemuan ke-50. Angka 50 menyiratkan perlunya refleksi terhadap apa yang telah dilakukan.
Meskipun sudah terdapat banyak kemajuan sejak pertemuan SBSTA pertama pada tahun 1995, negara-negara di dunia belum juga berhasil menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Bahkan, sejak pertemuan pertama tersebut, konsentrasi CO2 di atmosfer yang diukur di Mauna Loa Observatory – seperti ditunjukkan dalam Keeling curve sebagaimana gambar 1– telah meningkat dari 359 parts per million (ppm) sampai 415 ppm dalam minggu-minggu terakhir. Konsentrasi gas rumah kaca lainnya juga meningkat secara signifikan dalam kurun waktu yang sama.
Karena itu, penting agar produk SBSTA dapat membantu negara-negara dalam aksi mitigasi dan adaptasi mereka, dalam hal ini agar terus-menerus dapat meningkatkan pemahaman kita mengenai basis ilmiah perubahan iklim, mobilsasi pakar, mendorong kerjasama antar berbagai pihak, serta mengembangkan perangkat yang dapat membantu pelaksanaan aksi dan meningkatkan ambisi.
Delegasi Republik Indonesia pada pertemuan SBI dan SBSTA ke-50 ini dipimpin oleh Ruandha Agung Sugardiman, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim selaku National Focal Point (NFP) to the UNFCCC dan Head of Delegation (HoD), dan alternate HoD Duta Besar Nurmala Kartini Pandjaitan Syahrir, Penasehat Menteri Bidang Perubahan Iklim dari Kemenko Kemaritiman, dan Duta Besar Yusra Khan.
Delegasi Republik Indonesia diwakili oleh berbagai Kementerian/Lembaga dan Pakar, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Luar Negeri termasuk KBRI Berlin, Kantor Utusan Khusus Presiden RI Pengendalian Perubahan Iklim, Sekretariat Kabinet, Kementerian Pertanian, KNI-WEC, dan Universitas Indonesia.(ADV)