Selasa, 17 September 2024

Kereta Hijau

Rencana saya ini ditentang tuan rumah. “Untuk apa naik kereta api 54 jam. Naik pesawat saja, 3,5 jam,” ujar mereka.

Saya sudah lama punya impian: ke Xinjiang naik kereta. Melewati gurun yang maha luas. Atau ketika balik dari Xinjiang.

“Kalian saja yang naik pesawat. Saya bisa naik kereta sendirian,” jawab saya.

“Tidak bosan nanti?” tanya mereka.

- Advertisement -

“Saya bisa menulis di sepanjang jalan,” jawab saya lagi.

“Saya temani Anda. Meski dengan berat hati,” ujar Robert Lai. Teman Singapura itu.

- Advertisement -

Awalnya Robert juga menentang saya. Alasannya yang berbeda: kesehatan saya. Terlalu lelah. Setelah 10 hari keliling pedalaman Xinjiang pakai mobil.

Mereka tahu impian saya itu. Kami pun dibelikan tiket kereta. Dari Wulumuqi (ibu kota Xinjiang) ke Hangzhou.

Sebenarnya saya menyesal. Akhirnya. Apalagi teman Singapura saya itu.

Ternyata saya salah sangka. Saya kira saya akan naik kereta peluru. Yang sudah beroperasi sampai Xinjiang. Yang kecepatannya 350 km/jam itu.

Sesal kemudian tidak apa. Saya bisa segera move on. Saya berhasil menyembunyikan ekspresi kecewa. Terutama di depan Robert.

Justru Robert-lah yang kelihatan menekuk leher. Terlihat cemas di wajahnya. Tampak sangat kecewa di hatinya. Tapi tidak berani berkata-kata.

Baca Juga:  Dikti Alokasikan Rp54 Miliar untuk Relawan Covid-19

Tiba-tiba saja ia tertawa lebar: “Hahahaha… Enjoy live!” teriaknya. Membuat orang di stasiun itu melongo padanya.

Ia pun bisa move on –setengahnya.

Malam sebelumnya Robert ke supermarket. Membeli sprei, selimut, handuk, sikat gigi, antibakteri dan banyak lagi. Juga membeli bantal.

Ia tidak mau saya terinfeksi penyakit.

Mengapa saya dibelikan tiket seperti itu?

Rupanya tidak ada rute kereta peluru Wulumuqi langsung ke Hangzhou. Yang ada kereta lama. Kelas ekonomi. Yang warna hijau itu. Seperti yang selalu dinaiki Kim Jong-Un itu.

Bayangan saya: saya akan naik kereta peluru, di first class –yang kursinya seperti di pesawat kelas satu.

Bayangan saya yang lain: saya bisa mandi di situ. Bisa tidur dengan selimut tebal.

Saya pernah naik kereta peluru di kelas satu. Dua tahun lalu. Dari Hangzhou ke Shanghai. Saya masih ingat kecepatannya dan kenyamananya.

Dari Wulumuqi memang ada jadwal kereta peluru. Banyak. Tiap 15 menit. Ke banyak jurusan. Tapi, hanya saja, tidak ada yang jurusan langsung Hangzhou.

Padahal saya akan lebih senang seandainya naik kereta cepat meski rutenya putus-putus. Misal: ikut jurusan Lanzhou dulu. Lalu beli tiket lagi sambungnya: jurusan Chongqing. Sambung lagi jurusan Hangzhou.

Baca Juga:  Akhirnya Dwi Sasono Direhabilitasi, Hari Ini Dibawa ke RSKO

Untuk apa disesali.

Ya sudah.

Salah saya.

Tidak ngotot membeli tiket sendiri.

Saya pun dapat pelajaran berharga: Tiongkok ternyata tidak menghapus kereta lama. Meski sudah punya jenis kereta baru.

Saya pikir kereta ekonomi sudah dihilangkan. Sudah 10 tahun ini saya selalu naik kereta cepat. Saya lihat rakyat biasa pun sudah naik kereta peluru.

Memang jalur kereta cepat tidak ada yang menggunakan jalur kereta lama. Rel kereta cepat selalu dibangun baru, selalu eleveted (layang), lebih lurus, dan pakai listrik.

Untuk membuat lebih lurus itulah gunung-gunung diterobos terowongan. Laut, sungai dan rawa diatasi dengan jembatan.

Baru di Xinjiang ini saya tahu: rel kereta cepatnya tidak sama: tidak eleveted. Mungkin karena di Xinjiang toh hanya melewati gurun. Kalau sesekali ada persilangan, jalan mobilnya yang layang. Lebih murah.

Dengan hati yang disenang-senangkan kami pun naik kereta hijau itu. Saya pun tidak berusaha kaget melihat kondisi di dalamnya.

Saya pernah naik kereta seperti itu hampir 20 tahun yang lalu. Dari Wuhan ke Nanchang. Juga dengan Robert Lai.

Rencana saya ini ditentang tuan rumah. “Untuk apa naik kereta api 54 jam. Naik pesawat saja, 3,5 jam,” ujar mereka.

Saya sudah lama punya impian: ke Xinjiang naik kereta. Melewati gurun yang maha luas. Atau ketika balik dari Xinjiang.

“Kalian saja yang naik pesawat. Saya bisa naik kereta sendirian,” jawab saya.

“Tidak bosan nanti?” tanya mereka.

“Saya bisa menulis di sepanjang jalan,” jawab saya lagi.

“Saya temani Anda. Meski dengan berat hati,” ujar Robert Lai. Teman Singapura itu.

Awalnya Robert juga menentang saya. Alasannya yang berbeda: kesehatan saya. Terlalu lelah. Setelah 10 hari keliling pedalaman Xinjiang pakai mobil.

Mereka tahu impian saya itu. Kami pun dibelikan tiket kereta. Dari Wulumuqi (ibu kota Xinjiang) ke Hangzhou.

Sebenarnya saya menyesal. Akhirnya. Apalagi teman Singapura saya itu.

Ternyata saya salah sangka. Saya kira saya akan naik kereta peluru. Yang sudah beroperasi sampai Xinjiang. Yang kecepatannya 350 km/jam itu.

Sesal kemudian tidak apa. Saya bisa segera move on. Saya berhasil menyembunyikan ekspresi kecewa. Terutama di depan Robert.

Justru Robert-lah yang kelihatan menekuk leher. Terlihat cemas di wajahnya. Tampak sangat kecewa di hatinya. Tapi tidak berani berkata-kata.

Baca Juga:  Akhirnya Dwi Sasono Direhabilitasi, Hari Ini Dibawa ke RSKO

Tiba-tiba saja ia tertawa lebar: “Hahahaha… Enjoy live!” teriaknya. Membuat orang di stasiun itu melongo padanya.

Ia pun bisa move on –setengahnya.

Malam sebelumnya Robert ke supermarket. Membeli sprei, selimut, handuk, sikat gigi, antibakteri dan banyak lagi. Juga membeli bantal.

Ia tidak mau saya terinfeksi penyakit.

Mengapa saya dibelikan tiket seperti itu?

Rupanya tidak ada rute kereta peluru Wulumuqi langsung ke Hangzhou. Yang ada kereta lama. Kelas ekonomi. Yang warna hijau itu. Seperti yang selalu dinaiki Kim Jong-Un itu.

Bayangan saya: saya akan naik kereta peluru, di first class –yang kursinya seperti di pesawat kelas satu.

Bayangan saya yang lain: saya bisa mandi di situ. Bisa tidur dengan selimut tebal.

Saya pernah naik kereta peluru di kelas satu. Dua tahun lalu. Dari Hangzhou ke Shanghai. Saya masih ingat kecepatannya dan kenyamananya.

Dari Wulumuqi memang ada jadwal kereta peluru. Banyak. Tiap 15 menit. Ke banyak jurusan. Tapi, hanya saja, tidak ada yang jurusan langsung Hangzhou.

Padahal saya akan lebih senang seandainya naik kereta cepat meski rutenya putus-putus. Misal: ikut jurusan Lanzhou dulu. Lalu beli tiket lagi sambungnya: jurusan Chongqing. Sambung lagi jurusan Hangzhou.

Baca Juga:  Cek Kesehatan

Untuk apa disesali.

Ya sudah.

Salah saya.

Tidak ngotot membeli tiket sendiri.

Saya pun dapat pelajaran berharga: Tiongkok ternyata tidak menghapus kereta lama. Meski sudah punya jenis kereta baru.

Saya pikir kereta ekonomi sudah dihilangkan. Sudah 10 tahun ini saya selalu naik kereta cepat. Saya lihat rakyat biasa pun sudah naik kereta peluru.

Memang jalur kereta cepat tidak ada yang menggunakan jalur kereta lama. Rel kereta cepat selalu dibangun baru, selalu eleveted (layang), lebih lurus, dan pakai listrik.

Untuk membuat lebih lurus itulah gunung-gunung diterobos terowongan. Laut, sungai dan rawa diatasi dengan jembatan.

Baru di Xinjiang ini saya tahu: rel kereta cepatnya tidak sama: tidak eleveted. Mungkin karena di Xinjiang toh hanya melewati gurun. Kalau sesekali ada persilangan, jalan mobilnya yang layang. Lebih murah.

Dengan hati yang disenang-senangkan kami pun naik kereta hijau itu. Saya pun tidak berusaha kaget melihat kondisi di dalamnya.

Saya pernah naik kereta seperti itu hampir 20 tahun yang lalu. Dari Wuhan ke Nanchang. Juga dengan Robert Lai.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya

Terbaru

spot_img

Terpopuler

Trending Tags

Rubrik dicari