Khatib Adat, Menjaga Zuriyat

Adalah tentang zakat, tentang mufakat, tentang hidup bermasyarakat, tentang yang baik untuk dihajat dan tentang segala larangan yang tak patut untuk dibuat. Itulah makna tersirat kalimat-kalimat yang terangkai dalam khutbah adat. Dijalankan sesuai adat. Diwariskan pada yang tepat. Dirapal dan dihelat demi menjaga zuriat.

 

- Advertisement -

(RIAUPOS.CO) – Di Desa Koto Mesjid dan Desa Pulau Gadang, Kenegarian Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, memiliki adat yang dilaksanakan setahun sekali. Adat tersebut yakni, Khatib Adat yang ditandai dengan Khutbah Adat. Karena isi khutbah berkait erat dengan berbagai hal dalam Hari Raya Idul Fitri, maka kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan halal bihalal Hari Raya Idul Fitri di kenegerian tersebut.

Sang Khatib yang ditunjuk bukan orang biasa. Ia adalah lelaki dewasa pilihan. Mengenakan jubah hitam dan surban hitam putih sebagai penutup kepalanya. Lelaki ini diarak dengan tradisi dan adat oleh seluruh masyarakat Desa Koto Mesjid dan Pulau Gadang bersama Ninik Mamak, seluruh Pucuk Suku, tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai dan bundo kanduang (sijompu) dari rumahnya ke lokasi acara. Lengkap dengan pakaian adat masing-masing.

- Advertisement -

Begitu juga para pemuda, anak-anak dan siapa saja yang ada di sana. Mereka menjadi saksi lahirnya Khatib Adat yang baru hari itu. Tiga jambau ponuoh bertutup kain hitam yang didulang sepanjang perjalanan dan jambaou pengiring lainnya, alunan suara dan musik dikiu gubano yang tinggi, orang tua, pemuda, anak-anak dan seluruh masyarakat berpakaian rapi, menambah meriah suasana hari itu. Semakin meriah ketika ratusan masyarakat lainnya telah menunggu di pelataran Masjid Alhijriiyah, tempat khatib adat dilaksanakan.

Pagi menjelang siang, iring-iringian Khatib Adat sampai di halaman masjid. Di depan masjid itu pula telah menjulang tiga bendera persukuan atau tonggue, yakni tonggue Domo, Pitopang, Piliang dan Melayu dengan warna yang berbeda-beda. Tonggue melambangkan betapa kuatnya persukuan dan adat dalam persukuan di kenegerian tersebut. Adat pula menjadi pengikat dan penjaga kehidupan bermasyarakat antara mereka. Tidak hanya dalam acara besar seperti Khatib Adat, tapi juga dalam realita kehidupan sehari-hari.

Sesampainya di depan pintu masjid, masuklah seluruh masyarakat yang ikut dalam iring-iringan ke dalam masjid. Mereka memang duduk di tempat yang sama di dalam masjid, tapi di posisi yang berbeda. Bagian paling depan masjid telah dibentang kasur bertutup kain panjang. Di sanalah duduk pucuk adat, alim ulama, cerdik pandai dan aparat pemerintahan. Mereka menghadap ke bagian belakang. Persis di hadapan mereka, duduklah seluruh pucuk ampek suku nan enam selo yaitu pimpinan seluruh suku dan perangkatnya serta Bundo Kandung. Di belakang barisan para pucuk suku ini duduklah seluruh masyarakat di kenegrian tersebut. Antara mereka yang duduk berhadapan itulah diletakkan tiga jambou ponuoh yang tertutup rapat.

Pucuk ampek suku nan anam baselo tersebut yakni, Paduko Sumarajo dari persukuan Suku Domo, Bandaro Rajo dan Paduko Rajo dari persukuan Suku Pitopang, Datuok Tumenggung dari persukuan Suku Piliang dan Rajo Bosau serta Penghulu Bosau dari persukuan Suku Melayu. Masing-masing pucuk suku tersebut didampingi oleh perangkat persukuan dan Bundo Kanduang.

‘’Daghi dusun ka satijo, sirawik pauncang kalam, disusun jaghi nan sapulua, somba sairiang dengan salam.’’ Kata-kata adat ini memecah keriuhan dalam masjid. Lalu menjadi hening. Acara Khatib Adat pun dimulai. Diawali dengan sambutan kepala desa, tokoh masyarakat, pucuk adat, Khatib Adat dan sebagainya.

Pena la pata dawek tabuang, abi la tenggang jo bicagho, ake ilang, pendapek la abi, kepada Allah kito mamintok. Dipanggang kumanyan putio, asap mambumbung kaudagho, nan iduik bakasi sayang, ia dapek basidawun samo-samo makan. Umu nak panjang, razoki nak mugha, dado lapang, iman batamba, mudah-mudahan mati dalam khusnul khotimah.

Lagi-lagi kata-kata adat itu menggaung. Kali ini khusus untuk memanggil Khatib Adat. Majulah seorang ustdaz yang disebut dengan bilal adat. Ia membacakan doa lalu memanggil Khatib Adat untuk naik ke atas mimbar yang terletak di tangah mesjid di samping kanan Bundo Kanduang dan membacakan khutbah adat. Khutbah dalam Bahasa Arab itu dimulai. Khatib Adat mengambil kertas gulungan  dari saku jubahnya, lalu membuka dan mulailah berkhutbah. Tidaklah seperti khutbah atau pidato biasa. Khutbah adat disampaikan dalam bentuk lagu. Mengalun dan mengayun. Mendayu-dayu. Bukan syair, bukan barzanzi, tapi memang lagu khusus untuk khotib adat. Lagu khutbah yang tak bernama.

Semakin lama, semakin panjanglah kertas putih bertuliskan pidato itu menjuntai dari tangan Khatib Adat, hingga ke ujung kakinya. Tiba-tiba Khatib Adat berhenti berkhutbah. Lalu berdirilah bilal adat menyampaikan doa. Setelah selesai, khutbah kembali dilanjutkan. Menjelang selesai, tiga ustaz mengiringi khutbah yang disampaikan Khatib Adat. Suara mereka jauh lebih tinggi. Melengking. Inilah yang disebut dengan Batu Aji. Suara ketiganya terus mengiringi suara Khatib Adat sampai khutbah yang dibacakan hampir dua jam itu benar-benar berakhir.

Begitu Khatib Adat selesai berkhutbah, dipanggillah pucuk suku persukuan Suku Domo untuk menyampaikan dan mengabarkan gelar apa yang diberikan kepada Khotib Adat. Gelar tersebut diberikan sesuai suku asal Khatib tersebut.

Proses Panjang
Terpilihnya Khatib Adat melalui proses panjang. Pelaksanaan KhAtib Adat juga dilaksanakan dengan proses sebagaimana mestinya sesuai dengan hukum dan aturan adat.  Proses ini berlaku untuk setiap khatib dari berbagai suku. Tidak ada yang membedakan, kecuali gelar yang diberikan kepada khatib bersangkutan.

Amri Ujar Datuk Paduko Simarajo pucuk persukuan Domo, menjelaskan, proses khutbah adat berjalan selama seminggu. Berawal dari siapa yang akan ditunjuk menjadi Khatib Adat sesuai permintaan masyarakat melalui pemuda. Pemuda kemudian menyuarakan kepada panitia pelaksana tentang nama yang diusung sebagai Khatib Adat.  Panitia lalu menyampaikan kepada calon khatib. Jika calon menerima, maka panitia dan pemuda datang ke rumah orang tua calon khatib  meminta restu atas kehendak masyarakat bahwa anaknya akan dijadikan calon khatib.

Ini juga yang dilakukan pemuda dan panitia ketika Khatib Adat terpilih menyatakan kesiapannya untuk menjadi Khatib Adat. Orangtua Khatib Adat keinginan itu. Lalu mereka mendatangi Mamak Khatib Adat. Dilanjutkan dengan pemberian nasehat oleh Mamak kepada orang tua Khatib Adat agar bisa memanggil Ninik Mamak berserta cerdik pandai suku mereka. Lalu orang tua memanggil siapa-siapa yang disuruh pucuk suku untuk dikumpulkan. Setelah kumpul, baru mereka bersepakat memberi izin kepada Khatib Adat untuk membacakan  khutbah adat.

Adalah tentang zakat, tentang mufakat, tentang hidup bermasyarakat, tentang yang baik untuk dihajat dan tentang segala larangan yang tak patut untuk dibuat. Itulah makna tersirat kalimat-kalimat yang terangkai dalam khutbah adat. Dijalankan sesuai adat. Diwariskan pada yang tepat. Dirapal dan dihelat demi menjaga zuriat.

 

(RIAUPOS.CO) – Di Desa Koto Mesjid dan Desa Pulau Gadang, Kenegarian Pulau Gadang, Kecamatan XIII Koto Kampar, memiliki adat yang dilaksanakan setahun sekali. Adat tersebut yakni, Khatib Adat yang ditandai dengan Khutbah Adat. Karena isi khutbah berkait erat dengan berbagai hal dalam Hari Raya Idul Fitri, maka kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan halal bihalal Hari Raya Idul Fitri di kenegerian tersebut.

Sang Khatib yang ditunjuk bukan orang biasa. Ia adalah lelaki dewasa pilihan. Mengenakan jubah hitam dan surban hitam putih sebagai penutup kepalanya. Lelaki ini diarak dengan tradisi dan adat oleh seluruh masyarakat Desa Koto Mesjid dan Pulau Gadang bersama Ninik Mamak, seluruh Pucuk Suku, tokoh masyarakat, alim ulama, cerdik pandai dan bundo kanduang (sijompu) dari rumahnya ke lokasi acara. Lengkap dengan pakaian adat masing-masing.

Begitu juga para pemuda, anak-anak dan siapa saja yang ada di sana. Mereka menjadi saksi lahirnya Khatib Adat yang baru hari itu. Tiga jambau ponuoh bertutup kain hitam yang didulang sepanjang perjalanan dan jambaou pengiring lainnya, alunan suara dan musik dikiu gubano yang tinggi, orang tua, pemuda, anak-anak dan seluruh masyarakat berpakaian rapi, menambah meriah suasana hari itu. Semakin meriah ketika ratusan masyarakat lainnya telah menunggu di pelataran Masjid Alhijriiyah, tempat khatib adat dilaksanakan.

Pagi menjelang siang, iring-iringian Khatib Adat sampai di halaman masjid. Di depan masjid itu pula telah menjulang tiga bendera persukuan atau tonggue, yakni tonggue Domo, Pitopang, Piliang dan Melayu dengan warna yang berbeda-beda. Tonggue melambangkan betapa kuatnya persukuan dan adat dalam persukuan di kenegerian tersebut. Adat pula menjadi pengikat dan penjaga kehidupan bermasyarakat antara mereka. Tidak hanya dalam acara besar seperti Khatib Adat, tapi juga dalam realita kehidupan sehari-hari.

Sesampainya di depan pintu masjid, masuklah seluruh masyarakat yang ikut dalam iring-iringan ke dalam masjid. Mereka memang duduk di tempat yang sama di dalam masjid, tapi di posisi yang berbeda. Bagian paling depan masjid telah dibentang kasur bertutup kain panjang. Di sanalah duduk pucuk adat, alim ulama, cerdik pandai dan aparat pemerintahan. Mereka menghadap ke bagian belakang. Persis di hadapan mereka, duduklah seluruh pucuk ampek suku nan enam selo yaitu pimpinan seluruh suku dan perangkatnya serta Bundo Kandung. Di belakang barisan para pucuk suku ini duduklah seluruh masyarakat di kenegrian tersebut. Antara mereka yang duduk berhadapan itulah diletakkan tiga jambou ponuoh yang tertutup rapat.

Pucuk ampek suku nan anam baselo tersebut yakni, Paduko Sumarajo dari persukuan Suku Domo, Bandaro Rajo dan Paduko Rajo dari persukuan Suku Pitopang, Datuok Tumenggung dari persukuan Suku Piliang dan Rajo Bosau serta Penghulu Bosau dari persukuan Suku Melayu. Masing-masing pucuk suku tersebut didampingi oleh perangkat persukuan dan Bundo Kanduang.

‘’Daghi dusun ka satijo, sirawik pauncang kalam, disusun jaghi nan sapulua, somba sairiang dengan salam.’’ Kata-kata adat ini memecah keriuhan dalam masjid. Lalu menjadi hening. Acara Khatib Adat pun dimulai. Diawali dengan sambutan kepala desa, tokoh masyarakat, pucuk adat, Khatib Adat dan sebagainya.

Pena la pata dawek tabuang, abi la tenggang jo bicagho, ake ilang, pendapek la abi, kepada Allah kito mamintok. Dipanggang kumanyan putio, asap mambumbung kaudagho, nan iduik bakasi sayang, ia dapek basidawun samo-samo makan. Umu nak panjang, razoki nak mugha, dado lapang, iman batamba, mudah-mudahan mati dalam khusnul khotimah.

Lagi-lagi kata-kata adat itu menggaung. Kali ini khusus untuk memanggil Khatib Adat. Majulah seorang ustdaz yang disebut dengan bilal adat. Ia membacakan doa lalu memanggil Khatib Adat untuk naik ke atas mimbar yang terletak di tangah mesjid di samping kanan Bundo Kanduang dan membacakan khutbah adat. Khutbah dalam Bahasa Arab itu dimulai. Khatib Adat mengambil kertas gulungan  dari saku jubahnya, lalu membuka dan mulailah berkhutbah. Tidaklah seperti khutbah atau pidato biasa. Khutbah adat disampaikan dalam bentuk lagu. Mengalun dan mengayun. Mendayu-dayu. Bukan syair, bukan barzanzi, tapi memang lagu khusus untuk khotib adat. Lagu khutbah yang tak bernama.

Semakin lama, semakin panjanglah kertas putih bertuliskan pidato itu menjuntai dari tangan Khatib Adat, hingga ke ujung kakinya. Tiba-tiba Khatib Adat berhenti berkhutbah. Lalu berdirilah bilal adat menyampaikan doa. Setelah selesai, khutbah kembali dilanjutkan. Menjelang selesai, tiga ustaz mengiringi khutbah yang disampaikan Khatib Adat. Suara mereka jauh lebih tinggi. Melengking. Inilah yang disebut dengan Batu Aji. Suara ketiganya terus mengiringi suara Khatib Adat sampai khutbah yang dibacakan hampir dua jam itu benar-benar berakhir.

Begitu Khatib Adat selesai berkhutbah, dipanggillah pucuk suku persukuan Suku Domo untuk menyampaikan dan mengabarkan gelar apa yang diberikan kepada Khotib Adat. Gelar tersebut diberikan sesuai suku asal Khatib tersebut.

Proses Panjang
Terpilihnya Khatib Adat melalui proses panjang. Pelaksanaan KhAtib Adat juga dilaksanakan dengan proses sebagaimana mestinya sesuai dengan hukum dan aturan adat.  Proses ini berlaku untuk setiap khatib dari berbagai suku. Tidak ada yang membedakan, kecuali gelar yang diberikan kepada khatib bersangkutan.

Amri Ujar Datuk Paduko Simarajo pucuk persukuan Domo, menjelaskan, proses khutbah adat berjalan selama seminggu. Berawal dari siapa yang akan ditunjuk menjadi Khatib Adat sesuai permintaan masyarakat melalui pemuda. Pemuda kemudian menyuarakan kepada panitia pelaksana tentang nama yang diusung sebagai Khatib Adat.  Panitia lalu menyampaikan kepada calon khatib. Jika calon menerima, maka panitia dan pemuda datang ke rumah orang tua calon khatib  meminta restu atas kehendak masyarakat bahwa anaknya akan dijadikan calon khatib.

Ini juga yang dilakukan pemuda dan panitia ketika Khatib Adat terpilih menyatakan kesiapannya untuk menjadi Khatib Adat. Orangtua Khatib Adat keinginan itu. Lalu mereka mendatangi Mamak Khatib Adat. Dilanjutkan dengan pemberian nasehat oleh Mamak kepada orang tua Khatib Adat agar bisa memanggil Ninik Mamak berserta cerdik pandai suku mereka. Lalu orang tua memanggil siapa-siapa yang disuruh pucuk suku untuk dikumpulkan. Setelah kumpul, baru mereka bersepakat memberi izin kepada Khatib Adat untuk membacakan  khutbah adat.

Follow US!
http://riaupos.co/
Youtube: @riauposmedia
Facebook: riaupos
Twitter: riaupos
Instagram: riaupos.co
Tiktok : riaupos
Pinterest : riauposdotco
Dailymotion :RiauPos

Berita Lainnya