JAKARTA(RIAUPOS.CO)-Meski sudah diketok palu, revisi Undang-Undang 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tetap saja menimbulkan polemik. Sejumlah kritik pun dilayangkan kepada DPR yang mengesahkan UU KPK tersebut.
Sebagian masyarakat bahkan menuduh pasal-pasal yang terkandung dalam revisi UU tersebut berpotensi melemahkan lembaga antirasuah ini. Salah satunya di Pasal 40 tentang Mekanisme Penghentian Penyidikan dan Penuntutan.
Terkait hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto angkat bicara. Menurut Wiranto, penghentian penyidikan dan penuntutan merupakan bagian dari penyelesaian penanganan perkara.
“Tujuannya memberikan kepastian hukum,” ungkapnya saat melakukan konferensi pers di Gedung Media Center Kemenko Polhukam, Medan Merdeka Barat No. 15 Jakarta Pusat, Rabu (18/9).
Artinya, KPK tidak akan lagi menggantung status seorang tersangka dalam kurun waktu yang tak terbatas.
Mantan Ketua Umum Partai Hanura ini menegaskan jika seseorang menjadi tersangka dan belum terbukti melakukan tindak pidana korupsi tetapi sudah meninggal, justru itu melanggar hak asasi manusia (HAM).
Nah, dengan pemberian kewenangan kepada KPK untuk dapat menghentikan penuntutan, merupakan bentuk penguatan untuk lembaga antirasuah.
Wiranto menambahkan, kewenangan itu semula hanya dimiliki Jaksa Agung. Tapi kini diberikan kepada KPK. Namun untuk jangka waktu penghentian sendiri saat ini masih dibahas.
“Satu tahun usulan pemerintah, mungkin dua tahun nanti kita lihat, pastikan. Tapi harus ada kepastian bahwa seseorang tatkala ditetapkan sebagai tersangka, harus diselesaikan dengan hukum,” ungkapnya.
Wiranto menegaskan langkah ini bukanlah melemahkan KPK. “Melainkan justru menempatkan KPK sebagai satu aparat penegak hukum yang humanis walaupun tegas tapi tetap memperhatikan HAM,” tutup Wiranto.
Editor :Deslina
Sumber: Rmol.id