JAKARTA (RIAUPOS.CO) — Pemerintah dan DPR menyepakati dibentuknya Dewan Pengawas KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Lahirnya lembaga baru itu merupakan buah dari disetujuinya revisi Undang-Undang Nomor 30/2002 dalam sidang paripurna DPR, Selasa (17/9).
Dalam draft RUU KPK yang akhirnya disetujui dewan, Pasal 21 disebutkan bahwa KPK terdiri atas dewan pengawas yang berjumlah 5 orang, pimpinan KPK yang terdiri dari 5 orang, dan pegawai lembaga antirasuah itu.
Pengaturan dewan pengawas secara khusus disisipkan di antara Bab V dan Bab VI, yakni Bab VA Dewan Pengawas. Dalam Pasal 37A menyatakan lembaga itu dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tugas KPK, anggotanya 5 orang dengan masa jabatan 4 tahun dan dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Tugas dewan pengawas diatur dalam Pasal 37B, antara lain mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK. "Memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan atau penyitaan" bunyi poin 2 pasal tersebut.
Lingkup tugas lainnya dari dewan pengawas KPK adalah menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat mengenai dugaan pelanggaran etik oleh pimpinan dan pegawai, hingga mengevaluasi kinerja tahunan mereka.
Sejumlah syarat untuk menjadi dewan pengawas diatur pada Pasal 37D, antara lain berstatus WNI, tidak pernah dipidana penjara karena tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 5 tahun, usia minimal 55 tahun dan lainnya.
Mekanisme pemilihan dewan pengawas dilakukan oleh panitia seleksi, kemudian diangkat dan ditetapkan oleh Presiden RI. Namun ada pengecualian untuk anggota dewan pengawas pertama periode 2019-2023, sebagaimana diatur di Pasal 69A.
"Ketua dan anggota dewan pengawas pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia," bunyi ayat 1 pasal tersebut.
Pada ayat 2 diatur kriteria bahwa anggota dewan pengawas tidak terbatas pada aparat penegak hukum yang sedang menjabat dan telah berpengalaman paling sedikit 15 tahun.
Masih dalam pasal yang sama, pengangkatan ketua dan anggota dewan pengawas dilaksanakan bersamaan dengan pengangkatan pimpinan KPK periode 2019-2023.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Easter menyatakan kecewa dengan langkah DPR dan pemerintah mengesahkan Revisi Undang-Undang KPK. Sebab, poin-poin di dalam revisi itu sangat jelas melemahkan lembaga antirasuah.
Satu di antaranya, Lalola menyinggung tentang munculnya dewan pengawas setelah Revisi UU KPK. Menurut dia, pembentukan dewan pengawas ialah wujud pelemahan KPK.
"Terkait dewan pengawas, kami sudah lihat juga secara substansi, memang bisa jadi dipandang sebagai salah satu yang justru bisa menghambat kerja KPK," kata Lalola ditemui setelah menggelar aksi menolak Revisi UU KPK di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/9).
Menurut Lalola, dewan pengawas memiliki kewenangan besar setelah Revisi UU KPK. Dewan pengawas berwenang memberikan izin atau tidaknya penyidik KPK, ketika hendak menyadap seseorang.
Hal itu, lanjut dia, membuat pengusutan suatu perkara menjadi rumit. KPK perlu proses panjang sebelum mengusut sebuah kasus korupsi.
"Kalau bicara soal efektivitas kerja misalnya, itu justru akan memperlambat," terang dia.
Selain berwenang memberikan izin penyadapan, Lalola menyoroti tugas dewan pengawas untuk merestui penyitaan aset. Tugas itu membuat KPK tidak bergerak cepat menuntaskan perkara rasuah.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Menkumham Yasonna menyebut Revisi UU KPK bertujuan memperkuat lembaga antirasuah. Dari sisi penyadapan misalnya, pengusutan kasus korupsi bakal mengedepankan sisi penegakan HAM.
"Penyadapan paling lama dilakukan enam bulan dan dapat diperpanjang. Dimaksudkan untuk lebih menjunjung Hak Asasi Manusia," ungkap Yasonna saat Rapat Paripurna di Gedung DPR, Jakarta, Selasa.
Sumber : Jawapos.com
Editor : Rinaldi