JAKARTA (RIAUPOS,CO) — Joko Anwar mungkin adalah sineas yang disegani dan punya reputasi paling diperhitungkan di dunia perfilman Indonesia saat ini. Meski demikian, harus diakui bahwa ada karyanya yang tidak layak diacungi jempol. Gundala salah satunya.
Gundala, yang aslinya merupakan tokoh komik karangan Harya Suraminata alias Hasmi, adalah karakter superhero pertama yang dihadirkan Joko di layar lebar sebagai pembuka rangkaian saga Jagat Sinema Bumilangit atau, istilah kerennya, Bumilangit Cinematic Universe.
Perlu diketahui bahwa ini adalah pertama kalinya Joko menggarap film bertema pahlawan super dengan kearifan lokal. Lepas dari adanya kesan bahwa penggarapan Gundala dan film-film superhero lokal berikutnya hanya mencontek apa yang sudah dilakukan Marvel dan DC, ide Joko untuk membangkitkan kembali para jagoan super karya anak bangsa yang sudah lama tertidur memang harus diapresiasi.
Dengan rekam jejaknya sebagai sutradara jempolan yang punya banyak karya apik seperti Janji Joni, Pintu Terlarang, Modus Anomali, A Copy of My Mind, dan Pengabdi Setan, adalah hal yang sangat lumrah jika para pecinta film Tanah Air berharap banyak pada Gundala yang mulai tayang 29 Agustus kemarin. Euforia masyarakat untuk menyaksikan Gundala sang Putra Petir yang diarahkan langsung dari sudut pandang Joko pun begitu besar.
Namun, pada akhirnya, sangat sulit untuk menyebut Gundala sebagai film yang bagus. Meski punya hype yang tinggi dengan jumlah penoton lebih dari 1 juta orang dan ikut serta dalam Toronto International Film Festival, harus diakui bahwa Gundala masih sangat jauh dari kata memuaskan.
Buang jauh-jauh pemikiran bahwa review ini ditulis berdasarkan perbandingan dengan film superhero sekelas Marvel atau DC. Pasalnya, kelemahan Gundala bukan cuma di teknologi CGI belaka, tapi di beberapa aspek dasar lainnya.
Gundala bercerita tentang seorang pemuda bernama Sancaka (Abimana Aryasatya) yang hidup di tengah penindasan dan ketidakadilan. Hidup Sancaka sudah sangat pahit sedari ia masih hijau. Ayahnya yang seorang buruh pabrik tewas dibunuh di depan matanya kala sedang melakukan demonstrasi. Ibunya hilang tanpa pesan apapun dan meninggalkannya sendirian. Kehilangan ayah dan ibunya membuat Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) harus menjalani hidup yang keras di jalanan.
Tumbuh menjadi dewasa dan bekerja sebagai seorang satpam di sebuah pabrik, Sancaka punya satu prinsip: tidak usah mencampuri urusan orang lain. Prinsip yang membuatnya berhasil bertahan hidup selama bertahun-tahun ini akhirnya ia langgar setelah melihat seorang wanita bernama Wulan (Tara Basro) tengah dianiaya oleh para preman pasar.
Perseteruan Sancaka dengan para preman pasar akhirnya membuatnya harus berurusan dengan seorang mafia kelas kakap bernama Pengkor (Bront Palarae) yang berencana untuk menciptakan sebuah generasi amoral di masa depan. Punya bekal bela diri mumpuni dan mendapatkan kekuatan super setelah tersambar petir, Sancaka kemudian menjelma menjadi Gundala.
Cerita yang ditawarkan Gundala sebetulnya cukup menarik karena kondisinya yang relevan dengan keadaan Indonesia. Sayang, eksekusinya terkesan terburu-buru dan cukup amburadul. Logika cerita di beberapa bagian pun tidak bisa ditangkap dengan baik karena banyaknya perpindahan adegan yang membingungkan.
Akting para aktor dan aktris yang kaku menjadi kelemahan Gundala yang berikutnya. Dialog yang dilakukan oleh Abimana dan beberapa lakon lainnya terasa datar-datar saja dan tidak greget sama sekali. Untungnya, masih ada sedikit unsur komedi dalam beberapa dialog yang cukup menghibur. Hanya Bront Palarae yang menunjukkan akting mumpuni sebagai antagonis utama film ini.
Penjiwaan Abimana sebagai Sancaka pun bisa dibilang kurang dalam. Motivasi Sancaka menjadi Gundala pun terkesan sangat tiba-tiba tanpa ada pertimbangan yang matang. Tak cuma itu, penjiwaan beberapa karakter lainnya juga kurang terbentuk.
Konflik antara Gundala dan Pengkor pun tidak terbangun dengan baik. Akhirnya, pertarungan Gundala melawan Pengkor dan para kroninya di penghujung film yang mestinya jadi adegan pamungkas jadi terkesan biasa-biasa saja.
Kelemahan berikutnya adalah adegan pertarungan yang ada di sepanjang film. Meski koreografinya cukup baik, pergerakan Sancaka dan musuh-musuhnya begitu lambat. Jika dibandingkan dengan film laga lokal seperti The Raid, adegan baku hantam dalam Gundala sangatlah tidak seru.
Banyaknya catatan merah di atas menunjukkan bahwa Gundala sebetulnya adalah film yang cukup mengecewakan. Namun, bukan berarti film-film Jagat Sinema Bumilangit berikutnya tidak punya harapan. Sebagai film perdana saga Jagat Sinema Bumilangit, rapor Gundala yang kurang memuaskan ini bisa menjadi PR buat Joko Anwar untuk memperbaiki kualitas film-film superhero besutannya yang akan datang.
Sumber: Jawapos.com
Editor: Erizal